Azkiel's Appa-! 28

100 14 1
                                    

Setelah menghabiskan weekend yang cukup seru meski dibeberapa kesempatan Appa dan Ibun terlihat sedang berdebat akan suatu hal, Azkiel merasa puas dengan keseruan diacara kemarin. Pasalnya anak dari teman-teman Appa asik semua, dia bermain lari-lari, berpetualang mencari keong ataupun kejar-kejaran hingga terjatuh. Ya, kini lututnya memar dan sakit, tapi tak apa yang penting Azkiel bahagia.

Dan saatnya untuk kembali ke kegiatan sekolah yang membosankan.

"Iel yang bener pake bajunya, masa pohon ada kumis kucingnya?"

Arin berseru marah, meski dalam hati dia tertawa meledek ketika melihat Azkiel yang berpenampilan aneh. Bocah gendeng mana yang memakai kaus dan celana cokelat tua dengan aksesoris daun menjuntai dari daun hingga ke kepala, ditambah pipi cemong karena garis hitam seperti kumis kucing.Apalagi bocah pendek itu kesusahan untuk bergerak karena bajunya yang ketat dan sempit, hingga lipatan perutnya tercetak jelas. Benar-benar penggambaran bocah gembul yang aneh.

"Ini tuh bagus tau!" Azkiel berseru, meski dia selalu membenarkan bajunya yang terangkat dan menampilkan pusarnya. Azkiel masih menahan dirinya karena menjadi bahan tertawaan teman-temannya. Tak apalah jika dia tidak menjadi Spiderman, jadi pohon juga adalah ide yang bagus.

"Iel bajunya sempit gak? Kurang gedean yaa bajunya?"

Jika saja Azkiel sudah pintar berkata sarkas mungkin ini jawaban Azkiel, "Menurut ente gimana? Apakah wajah saya terlihat riang gembira dan menari salsa dengan penuh suka cita?"

Tapi yang keluar adalah, "Gak papa Ibu Guru. Udah pas."

"Itu perutnya keliatan, Iel gak papa kalau pake baju yang seadanya dulu? Besok Ibu mau cari baju yang lain yang agak besar."

Azkiel mengangguk. Dia merasa tak enak jika menolak pemberian dari Ibu Guru, kata Ibun itu bukan hal yang baik. Jadinya Azkiel memasang senyum menawan saja, meski pusarnya bisa masuk angin karena dibelai-belai angin dari AC.

"Yauda gak papa. Kita lanjut latihan ya," kata Ibu Guru sambil menepuk tangannya memberi interupsi. Yang lain segera berkumpul mengambil posisi masing-masing sembari membawa kertas berisi teks dialog.

Azkiel yang menjadi pohon kini berdiri di belakang. Sambil sesekali menggaruk perutnya yang gatal dan mengelus bagian perutnya yang sedikit terbuka.

"Maaf kepala desa, kambingnya tadi lepas. Tadi udah aku ikat lehernya, udah aku kasih makan juga."

Arin membaca naskah dialog dengan nada seperti membaca puisi. Ibu Guru terkikik, dia juga mengoreksi ejaan dan nada Arin.

"Kok bisa terlepas?" suara Romi menyahut, dia berperan sebagai kepala desa.

"Aku gak tau pak."

"Gimana sih kamu kok disuruh jaga kambing satu aja bisa lepas?" Romi mulai marah-marah, dia membaca teks dialog dengan terbata-bata dengan lidah keserimpet.

Azkiel yang di belakang menguap. Dia bersandar di dinding kelas. Terlihat sangat jemu dan membosankan.

Pusing sekali harus membaca teks yang panjang itu, pikirnya.

Setelah beberapa kali latihan drama di dalam kelas, mereka sudah terlihat enjoy dengan peran masing-masing. Meskipun Azkiel tidak mendapat peran yang berarti, namun dari posisinya sebagai pohon, Azkiel menyimak segala dialog yang tengah diperankan.

"Haus ya," kata Arin setelah selesai latihan.

"Minumlah."

"Boleh minta es cokelat punya Azkiel gak?"

Azkiel yang tengah memegang cup es cokelat pun memandang esnya, lalu dipandangnya Arin yang wajahnya terlihat sangat ingin meminum minumannya.

"Bayar ya."

"Pelit!"

"Ya udah nih, buat Arin."

Arin berbinar. Masa bodoh dengan tabiatnya Azkiel yang dasarnya pelit, yang penting dia bisa merasakan es cokelat. Dan hey! Azkiel memberikan es cokelat yang masih penuh itu kepadanya secara cuma-cuma! Rejeki nomplok!

"Tapi Iel boleh kan minjem skuter listrik yang Arin bawa kemarin?" Bukan Azkiel namanya yang tidak menerapkan Simbiosis Mutualisme ahaha.

"Ya udah, kalau liburan bareng lagi nanti Arin minta tolong Papa buat bawa."

"OKE!"

***

22 juni 2024

Azkiel's AppaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang