Azkiel's Appa-! 05

576 43 8
                                    

Azkiel's Appa ~⁠♪

"Arin ngapain?" tanya Azkiel yang baru saja masuk kelas. Anak itu menaruh tasnya dan mendekat ke arah Arin. Badan kecilnya sedikit membungkuk, luka cambukannya sudah lumayan mengering meski masih sakit kala banyak bergerak. Setelah beberapa hari tidak masuk sekolah, akhirnya dia kembali menginjakkan kaki di kelas.

"Belajar." Arin membalikkan lembar bukunya. Dia sekilas melihat Azkiel dan sempat ingin bertanya perihal alasan bocah itu tidak masuk sekolah. Tapi, karena sebentar lagi bell masuk berbunyi, maka dia akan kembali fokus ke bukunya.

Pensil di selipan jari kanannya mulai bersiap untuk mencoret angka-angka. Anak kecil berbando ungu muda itu tampak serius dengan kegiatannya. Dengan perlahan dia mulai menghitung.

"Delapan, sembilan, sepuluh ... " Arin menghitung menggunakan kesepuluh jarinya dan berhenti sejenak ketika jarinya tak muat menghitung angka selanjutnya. Anak itu menatap Azkiel yang tengah diam memperhatikannya.

"Iel, minjem tangannya," katanya membuat Azkiel mengangkat dan melihat kedua tangannya. Azkiel kembali menatap Arin.

"Dibalikin gak?"

"Iya nanti dibalikin."

"Jangan dicopot tangannya."

"Ish, pinjem dulu!" Arin menarik tangan Azkiel dan membuka jarinya agar menjadi lima. Arin kembali membuka sepuluh jarinya dan menghitung dari awal. Dan sekarang dia melanjutkan ke jari Azkiel.

"Sebelas, dua belas, tiga belas, lima be--"

"Salah itungnya," sela Azkiel. "Habis tiga belas itu enam belas! Arin aneh!"

"Emang iya?"

"Iya!"

Arin diam sejenak dan menghitung ulang lagi dalam hati. Seakan tersadar akan sesuatu, anak itu melotot pada Azkiel. "Salah tau! Habis tiga belas itu empat belas! Iel sok pinter, ih!"

"Kan Iel emang ngomong gitu. Tadi Arin bilang lima belas bukan empat belas. Yang sok pinter siapa?!" Azkiel ngegas. "Dasar Arin pendek, bodoh, sok pinter, jelek lagi!" Azkiel berlalu begitu saja setelah mengatakan hal itu. Arin cemberut di tempat.

Hah, omongan Azkiel benar-benar menyakitkan. Bisa bikin orang jadi insecure. Arin sebal.

Btw bocah itu sangat manipulatif sekali yaa.

Arin memicing sebal ke arah Azkiel yang berjalan dan duduk di kursinya. Mengeluarkan buku gambar dan pensil warna. Pasti mau gambar Spiderman, pikir Arin.

Arin tak peduli apa yang sedang dikerjakan oleh Azkiel. Bocah itu kembali melanjutkan menghitungnya.

Saat tengah asik mewarnai, suara bel masuk terdengar. Membuat semua anak duduk di tempat ketika Ibu Guru datang masuk sembari mengucapkan salam.

"Selamat pagi!"

"Pagi!"

"Hari ini ulangan matematika ya."

Azkiel mendengkus. Baru saja masuk sudah ulangan saja. Menyebalkan.

"Gak mau ah, Bu!" seru mereka kompak.

"Soalnya kayak PR yang Ibu kasih kemarin. Gampang, kok. Nanti yang bisa dapat nilai 100, Ibu pajang ulangan kalian di papan harapan!"

"Terus yang gak dapat nilai seratus mau diapain, Bu?" Azkiel bertanya.

"Ibu jadikan kertasnya sebagai bungkus cabai atau gak gorengan, lumayan. Hahaha."

Jidat Azkiel mengkerut. "Gak usah dapat nilai seratus aja, deh, kalau begitu."

Azkiel's AppaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang