Azkiel's Appa-! 07

492 42 15
                                    

Azkiel's Appa ~⁠♪

"IELLLLL JANGAN! IELLLL, IH! HUAAAA MAMAAAA!"

Azkiel tertawa kecil saat melihat Arin yang berlarian. Arin histeris dan berteriak heboh membuat yang lain mengalihkan pandangan dari pekerjaan mereka yang sedang mewarnai di taman sekolah. Arin sempat tersandung tali sepatunya sendiri, menggubrak di tanah dan kembali berlarian. Arin menangis, memanggil Sang Mama.

Tatapan yang lain kini jatuh ke arah Azkiel yang tertawa kencang. Bocah itu sedang memegang ulat bulu berwarna hijau. Arin takut ulat bulu, geli katanya. Maka dari itu Azkiel nekat mengambil ulat itu dengan tangannya dan menyodorkan tepat di depan Arin. Berniat menjahili bocah itu.

Reaksi dari Arin pun mampu membuat Azkiel terhibur. Melihat Arin nangis karena ulahnya, dia jadi senang. Senang banget malah.

"BU GURU! LIHAT IEL, NOH! MEGANG ULAT BULU!"

Kini Arin datang dengan Ibu Guru di belakangnya. Bocah perempuan itu mengadu. Menunjuk ke arah Azkiel yang berjongkok sambil memencet ulat bulu gemuk dan besar itu dengan telunjuknya.

Arin menatap Azkiel horror. Bocah perempuan itu mengernyit jijik. "Ulatnya jijik! Bikin geli! Iel JOROK!"

Azkiel menoleh dengan wajah polos. Tangannya masih memencet ulat yang terasa kenyal. "Lho, kenapa? Ulatnya cantik tau. Lihat!"

"IELL!"

Arin berteriak. Azkiel tertawa.

Ibu Guru melotot. Dengan cepat dia menarik lengan Azkiel yang tengah asik bermain ulat daun. Lalu dibuangnya ulat itu membuat Azkiel berseru kesal.

"Yah! Kok dibuang sih?!"

"Gatal, Iel. Sini ikut ibu cuci tangan." Ibu Guru mengarahkan Azkiel menuju keran. Dicucinya tangan bocah lima tahun itu sembari menegurnya, "Iel, jangan suka mainin ulat. Gatal. Nanti tangan Iel bentol-bentol, mau?"

Azkiel kini menghadap Ibu Guru. Membiarkan kedua tangannya dikeringkan lewat sapu tangan. bocah itu menerawang, tampak berfikir. "Emangnya ulat itu bikin gatal?"

"Iya, bulunya kalau kena tangan bisa bikin gatal terus jadi bentol-bentol. Iel jangan main ulat lagi."

Azkiel membulatkan mulut dan mengangguk. "Kalau main ulat tanah boleh?" tanyanya dengan wajah polos. Membuat Ibu Guru tersenyum karena tatapan Azkiel yang terlihat antusias.

"Emangnya ada ulat tanah?" tanya Ibu Guru.

"Ada! Yang hitam itu loh, geal-geol kalau dikasih garam, seperti kesurupan." Azkiel memperagakan badannya bak cacing kepanasan. "Tapi dia kurus, engga gemuk seperti ulat tadi."

"Itu cacing, bukan ulat tanah," kata Arin.

Arin datang. Bocah perempuan berusia satu tahun lebih tua dari Azkiel itu menatap Azkiel sebal. "Iel jorok. Suka main serangga, jijik!"

"Suka-suka. Kalau kata Ante Shena, Arin itu alay! Lebay! Masa sama ulat aja takut, takut tuh sama Tuhan."

Ibu Guru tertawa. Azkiel ini benar-benar bocah ajaib. Setiap perkataan yang keluar dari mulut Azkiel pasti selalu membuatnya tercengang. Bocah itu mudah sekali untuk meniru dan mengikuti sekitarnya. Meski sedikit takut karena pengaruh lingkungan yang bisa saja membuat bocah itu jadi nakal dan tidak sopan. Tapi sejauh ini Azkiel tidak pernah mengatakan hal buruk. Ah, setidaknya kalau dia tak mendengar kata-kata kasar dari tantenya, siapa lagi kalau bukan Shena.

Arin melotot. Bocah yang lebih tinggi dari Azkiel itu berdecak kesal. Wajahnya memerah sehabis menangis gara-gara dikerjai Azkiel tadi.

"Bukan takut. Tapi geli."

Azkiel's AppaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang