Detikan yang dihasilkan dari jarum panjang di sebuah arloji pun berputar cepat tanpa disadari. Detik berganti ke menit hingga ke jam, menghasilkan desah malas sekaligus kesal bagi orang yang tengah menunggu. Cuaca terik serta cerah dapat menghasilkan panas yang menguar sebagai udara. Seringkali diselingi oleh asap sebagai perwujudan sisa-sisa pembakaran dari knalpot kendaraan yang berlalu lalang. Hari ini rasanya gerah sekali bertepatan dengan Sang surya merangkak menuju sumbu tegak, yang dimana hal itu mampu membakar kulit dan kepala dengan sinarnya.
Dua bocah kecil beda gender saling duduk bersisian. Menikmati makanan ringan yang dibelikan oleh si bocah kecil gembul dalam senyap. Hanya suara decapan yang keluar saat mereka mengunyah makanan. Sesekali terdengar suara dengkusan sebal karena jemputannya tak kunjung datang.
"Lama!"
Tatapan mata Arin berubah tajam. Rahangnya mengetat dengan ekspresi tertekuk yang menggambarkan bahwa bocah perempuan itu sudah terlalu jemu. Mereka sudah sejam duduk menunggu, tapi para orang tua yang seharusnya menjemput belum menampakkan hidungnya juga. Tau begini lebih baik menunggu saja di ruang guru. Enak ada ac, bikin adem.
Tapi mana ada guru yang masih menetap jam segini. Mereka pasti
sudah pulang sejam yang lalu."Sabar," sahut si gembul dari arah kiri. Terdengar santai berbanding terbalik dengan Arin yang sudah muak dengan kata itu.
Arin mencebik. "Sabar, melulu! Capek tau! Arin, kan, pengin tidur siang! Ngantuk!"
"Sabar."
"Gak bisa sabar! Azkiel udah ngomong itu udah dua puluh kali!"
Azkiel yang tengah memeluk tas merahnya, mendongak. Memperhatikan wajah Arin yang memerah, entah itu karena panas matahari atau sedang emosi.
"Harus sabar, dong. Orang sabar nanti disayang pacar," ujar Azkiel. Wajahnya lempeng sekali. Tampak begitu tenang, seolah-olah sudah terbiasa dengan situasi seperti ini. Bertentangan dengan Arin yang kelabakan seperti cacing ditaburi garam.
"Arin gak punya pacar!"
"Omblo, ya? Kasihan. Sabar aja dulu, nanti juga dapet pacar ... atau Arin mau jadi pacar Iel?"
Arin refleks menoleh dengan ekspresi horor. Mulutnya menyeringai penuh rasa jijik. Perkataan Azkiel begitu menakutkan ditelinganya. Apa? Jadi pacar Azkiel? Oh, tidak! Bisa-bisa Arin kena Hipertensi karena sering emosi menghadapi kelakuan Azkiel yang jahil dan nakal.
Lagipula mana mau dia pacaran dengan bocah gembul menyebalkan macam Azkiel? Hih! Enggak banget, deh! Arin, kan, maunya dapat pacar yang romantis, baik, penyayang, pengertian. Kalau Arin habis makan terus ada cabe nyelip di gigi, si pacarnya nanti akan membantu membersihkannya dengan sapu tangan, atau gak mereka candle light dinner romantis di Menara Eiffel. Eh, jangan jauh-jauh ke Perancis, deh! Ke Tugu Monas aja gak pa-pa. Asalkan bersama ayangie yang dicintainya nanti, Arin bakalan senang sekali.
"Kalau Arin jadi pacar Iel, nanti dijajanin cilok, deh. Tapi besok-besoknya Arin jajanin Iel susu coklat, roti goreng, nasi uduk sama siomay, ya! Jadi mau jadi pacar Iel, gak?"
"Gak!" Arin menolak mentah-mentah.
"Kalau sekarang, mau?"
"Gak!"
"Kalau besok, mau?" tanya Azkiel.
"Gak ... mau!"
"Kalau besok-besoknya lagi?" tanya Azkiel masih tak menyerah.
"Enggaaaak!"
"Besoknya besok besok lagi, deh."
"Dibilang gak mau, ya, gak mau! Gimana, sih?!" Arin melotot.
KAMU SEDANG MEMBACA
Azkiel's Appa
General FictionStart 25 Februari 2020 - Repbulished 02.10.2023 NOTE ! "krn sebelumnya tidak ada prolog, trs aku tambahin prolog jd mempengaruhi viewer sm vote ya per-chapter ya. jd ngacak gitu ehehe. tp ga berpengaruh sih, yg penting alurnya tetap rapih." ❝Besar n...