"Periksa kawasan, amankan barang bukti dan lucuti semua senjata yang mereka punya. Usahakan jangan ada baku tembak, yang terpenting barang bukti."
Pria yang berseragam sama di sebelahnya menoleh. Memperhatikan sang komandan lapangan yang tengah memberikan instruksi dan senantiasa mengamati sekitar dengan saksama. Mereka sedang memantau situasi dan kondisi sesuatu dari kejauhan. "Ndan, gimana kalau mereka melawan?"
Sang komandan lapangan memalingkan wajah ke anak buahnya, terlihat datar tanpa ekspresi. Matanya tajam dan mengintimidasi. Lalu dia kembali menoleh dan menatap lurus ke depan. "Tembak. Jangan sampai mati, jika keadaan genting. Bunuh."
"Tapi, kita--"
"Kita diperbolehkan membunuh musuh jika keadaan terdesak. Kalau gak mau dibunuh, ya, membunuh." Komandan lapangan yang berpangkat Brigadir Jenderal itu berucap. Nadanya begitu tenang bagai air tak beriak. Tubuhnya masih tetap pada posisi siaga lalu mata elangnya menatap satu persatu para anggota. "Paham?"
Para anggota mengangguk, mau tak mau mereka harus mengikuti arahannya. Lagipula ini adalah misi penyergapan para mafia narkoba yang memasuki wilayah Indonesia dan juga ini tentang pertaruhan nyawa. Jika mereka gagal dalam misi, otomatis mereka akan pulang tanpa membawa hasil atau bahkan pulang tanpa nyawa.
"Paham, Ndan!"
"Berpencar!"
Mereka yang bersenjata lengkap dengan seragam tempur melekat di tubuh kekar masing-masing, kini bergerak cergas namun tetap berhati-hati dengan senjata laras panjang yang sudah siap menembakkan amunisi jika ada penghalang. Pendengaran serta penglihatan mereka sangat waspada terhadap sekitar, takut-takut ada peluru yang melesat jika mereka lengah barang sedikit pun.
Bayangan kini sejajar dengan badan mereka, pertanda bahwa matahari perlahan merangkak dan mencapai titik rotasi tepat di atas kepala. Cuaca terik namun sedikit tersamarkan oleh pepohonan tinggi yang menjulang dengan cabang-cabang ranting berdaun lebat. Keadaan cukup sunyi di tengah hutan belantara yang menjadi perbatasan antara dua negara, Indonesia-Malaysia.
Pergerakan mereka begitu senyap. Dengan seragam yang mampu berkamuflase dengan sekitar membuat mereka sedikit samar dalam bayang.
Sebelum mereka bergerak lebih cepat dan sigap dari sebelumnya, bahu Angga ditepuk dari sebelah kanan. Ternyata Harun yang menepuk, teman baiknya itu mengulas senyum tipis lalu berkata, "Kita harus pulang dengan selamat. Gue gak mau mati duluan sebelum nikah sama perawan."
Angga menaikkan sudut bibirnya, balik menepuk-nepuk bahu Harun. "Gue juga."
"Lo udah kawin, woi! Gue belum!"
Angga terkekeh. "Perawan gue lagi hamil. Bentar lagi gue jadi bapak. Itupun ... kalau dimisi ini gue selamat. Ya kalau enggak, depan nama gue ada gelar Almarhum."
"Hush! Kalau ngomong." Sepatu Harun menginjak kaki Angga dengan keras, membuat Angga refleks mengarahkan senjatanya pada temannya itu. Harun memekik dan yang lain ikut menodongkan senjata pada Angga.
"Gerak dikit, dada lo bolong." Angga membidik tepat di dada kiri temannya. Harun mematung seketika.
Harun terkejut. "Woi, anying!"
Angga terbahak. Dia tersenyum sampai mata pada rekannya dan mengatakan, "Canda, gaes." Lalu wajahnya berubah sepersekian detik menjadi datar dan sorot matanya tajam. "Balik ke posisi!"
"Kita akan mengepung. Kopral Dimas jadi penembak jarak jauh jaga-jaga kalau ada musuh pengecut yang main dari belakang. Serka Betra dan Serka Adi bertugas amankan barang bukti dan sisanya bantu mereka menghalau mafia itu. Paham?!"
"Siap, paham!"
"Berpencar!"
Mereka kembali bergerak. Tetap waspada dan siaga. Memecah keheningan hutan dengan derap kaki yang cukup tenang. Tidak berisik atau bahkan membuat kegaduhan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Azkiel's Appa
General FictionStart 25 Februari 2020 - Repbulished 02.10.2023 NOTE ! "krn sebelumnya tidak ada prolog, trs aku tambahin prolog jd mempengaruhi viewer sm vote ya per-chapter ya. jd ngacak gitu ehehe. tp ga berpengaruh sih, yg penting alurnya tetap rapih." ❝Besar n...