"Iel dianterin siapa itu?"
Gumam Arin penasaran kala melihat seorang pria yang berada satu mobil dengan Azkiel. Pria berkaos hitam polos itu duduk di belakang kemudi, sedangkan Azkiel sendiri dipangku oleh wanita yang dia tau itu adalah Ibun. Arin tak bisa melihat jelas wajah pria itu, terlihat samar dikarenakan kaca mobil yang menghalang. Tapi dapat dipastikan kalau pria itu terlihat tampan, meski jarak pandang sedikit mengecoh penglihatan.
Tak lama kemudian, Azkiel turun dari mobil sembari menggenggam jari kelingking Ibun. Wajah putih bocah itu terlihat memerah dengan senyum yang terus merekah. Pipi bulatnya tertarik begitu lebar diiringi kekehan kecil dari mulutnya. Entah ada sesuatu yang lucu atau mungkin bocah itu gila, yang pasti Azkiel terlihat senang sekali.
Rasa-rasanya Azkiel sedang dilanda kebahagiaan. Dan Arin sendiri tak tahu kebahagiaan apa yang dirasakan oleh bocah gembul bernama Azkiel itu.
"Siapa tuh?"
Arin berjinjit sembari memegang ujung tali tasnya. Berusaha melihat wajah pria itu dengan perasaan kepo tingkat akut. Tapi sedetik kemudian dia langsung mendesah kecewa, ketika mobil Azkiel terlebih dahulu tancap gas sebelum dia berhasil melihat wajah pria itu.
"Iel itu siapa?"
Tanya Arin penasaran. Baru kali ini dia melihat Azkiel diantar oleh orang lain selain Ibun dan Shena. Apa benar itu sopirnya Azkiel? Tapi masa iya berparas rupawan, badan tegap serta berisi?
Azkiel yang melangkah riang tiba-tiba menghentikan langkahnya. Wajahnya tampak berseri-seri dengan senyum lebar yang menarik kedua pipi tembamnya. Dia mendongak, membalas tatapan Arin yang lebih tinggi darinya. "Itu Appanya Azkiel."
"Oh, Arin kira tadi itu sopir Iel."
"Enak aja! Bukanlah."
"Tumben," kata Arin. "Biasanya Iel gak pernah, tuh, dianter Appa. Kok sekarang dianter Appa?"
"Kepo banget, sih," balas Azkiel. Dia menatap Arin tak suka. "Emangnya cuma Arin doang yang disayang sama Papanya, Iel juga lah. Anak baik begini mana mungkin gak disayang. Lagian Iel udah gak nakal-nakal lagi sekarang."
"Serius itu Appanya Iel? Gak ketuker, kan?"
"Iya lah."
"Tampan begitu, tapi kok anaknya ..." guman Arin sengaja menggantung. Dia melihat bocah gembul dan pendek di depannya dengan sedikit mengernyit. Tatapannya jelas-jelas sedang melakukan penilaian. "Jelek begitu, ya? Pendek lagi."
Azkiel sabar saja dibilang jelek. Padahal seharusnya yang jelek disini adalah Arin. Lihat bocah perempuan itu! Selalu saja memakai dasi dan bando yang warnanya kelihatan norak! Belum lagi memakai gelang banyak-banyak, yang sangat berisik ketika benda itu saling bergesekan. Dasar norak!
Tapi berhubung Azkiel udah tobat dan mau jadi anak baik, ya sudahlah. Ditahan saja dulu hujatannya, kalau sudah keterlaluan, mungkin dia secara sukarela menghujat Arin yang selalu saja berlaga sok.
"Kata Ibun, Iel masih Kicil makanya pendek begini. Nanti kalau Azkiel besar kakinya tinggi, kayak bambu-bambu di pinggir jalan. Lihat aja, pas besar Arin bakalan pendek dari Iel!"
"Arin yang bakalan lebih tinggi dari, Iel!"
Azkiel tak menggubris. Dia kembali melangkahkan kaki menuju pintu kelas yang jaraknya tinggal beberapa meter lagi. "Udah ah, gak mau berantem. Ribut nanti, Arin menangis. Iel jadi males."
"Kan, biasanya Iel suka berantem. Kenapa sekarang jadi males?"
"Suka-suka, dong. Lagian Iel sekarang pecinta damai. Gak suka berantem-berantem. Nakal udah gak jaman."
KAMU SEDANG MEMBACA
Azkiel's Appa
General FictionStart 25 Februari 2020 - Repbulished 02.10.2023 NOTE ! "krn sebelumnya tidak ada prolog, trs aku tambahin prolog jd mempengaruhi viewer sm vote ya per-chapter ya. jd ngacak gitu ehehe. tp ga berpengaruh sih, yg penting alurnya tetap rapih." ❝Besar n...