Gawat! Arin terlanjur suka dengan Soobin, si duda anak satu yang ditinggal sang mantan istri untuk mengejar karirnya sebagai aktris ternama.
Tapi siapa sangka, anak Soobin itu ternyata Odi, si buntalan berduri yang sudah diadopsinya selama kurang l...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Pagi yang berbeda, namun kembali terjebak dalam posisi yang sama, Arin mengawali paginya dengan rasa panas pada pipinya yang semakin menjalar ke seluruh area wajah.
Semalam, dirinya tidak sengaja langsung tertidur bersama Soobin begitu selesai menata barang belanjaan. Untungnya, mereka berdua sempat mampir pada salah satu restoran untuk makan malam. Jika tidak, entahlah, mungkin pagi ini mereka sudah tidak bertenaga untuk sekedar bangun tidur karena kelaparan.
Merasakan napas Soobin yang halus menyapu dahinya dengan lembut, Arin mendongak. Soobin terlihat sangat damai saat tertidur. Terlebih saat pandangan matanya fokus pada bibir lelaki itu, bibirnya sangat lucu menurut Arin.
Saat jemarinya menyentuh bibir lelaki itu, Arin langsung teringat saat mereka menggelar pesta pernikahan sederhana beberapa hari yang lalu itu. Arin membayangkan saat Soobin melumat bibirnya dengan intens. Tiba-tiba saja Arin menelan ludahnya dengan payah.
Tangannya langsung bergerak turun saat Soobin menggeliat pelan. Mencari posisi terbaiknya, lalu kembali lelap dalam tidur. Arin tersenyum melihatnya. Dengan sigap, Arin melingkarkan tangannya untuk memeluk lelaki itu.
"Milikku, lelaki ini milikku," ucapnya dalam hati sambil tersenyum senang. Terlebih saat Soobin juga memeluknya balik.
Beberapa menit masih betah dalam posisi yang sama, Arin malah semakin menenggelamkan wajahnya. Wangi Soobin selalu menjadi favoritnya. Wangi maskulin yang membuatnya begitu betah untuk terus menghirupnya tanpa kenal lelah.
"Engh, pagi.." ucap Soobin serak. Arin membuka matanya saat mendengar suara lelaki itu.
"Pagi," balasnya singkat. Walau begitu, senyum bahagia tidak pernah lepas dari bibirnya.
Keduanya sama-sama tersenyum. Saling menyalurkan kehangatan pada satu sama lain dengan pelukan yang semakin mengerat di antara deru napas yang hampir selaras.
Sebenarnya, mereka sama-sama malu. Tapi rasa suka yang baru bermekaran itu berhasil menerobos pertahanan diri masing-masing. Sebisa mungkin menyembunyikan rasa malu tersebut ke balik setiap inci kulit hingga akhirnya sama-sama tersembunyi samar dan keduanya bisa berpura-pura leluasa melakukan semuanya.
"Aku.. harus buat sarapan, Soobin." Arin semakin melebarkan senyumnya karena Soobin malah menariknya mendekat. Benar-benar mengikis jarak yang masih terisi ruang hampa. Satu-satunya penghalang hanyalah pakaian yang mereka gunakan saat itu tentunya.
"Geurae, cepat pergi atau aku akan menarik kamu untuk tidur lagi nanti."
Mendengar ancaman Soobin, Arin langsung bergerak melepaskan diri dari lelaki itu. Jujur saja, bukannya tidak mau, tapi Arin hanya takut jika dia tidak bisa melepaskan diri lagi setelahnya. Sudah ia beritahu berkali-kali, bukan? Dia sangat betah berlama-lama dengan kewangian tubuh Soobin. Bukanlah hal yang sulit baginya untuk segera jatuh dalam dekapan lelaki itu.
Soobin tertawa kecil, dia harus segera menyusul Arin yang ada di dalam kamar mandi. Mengganggu lalu menggoda gadis itu menjadi kebiasaan barunya akhir-akhir ini.
"Soobiiiin!!" teriak Arin saat Soobin melingkarkan lengannya dengan erat pada perutnya yang rata.
*
"Nanti pulang jam berapa?" Disela-sela kegiatan mengunyahnya, Soobin bertanya pada Arin yang sibuk bermain ponsel.
"Seperti biasa, kenapa?"
"Mau mampir ke kantor lagi?"
"Aniya! Aku mau bersih-bersih rumah nanti siang. Jangan menyuruh aku ke sana lagi, ya." Soobin tertawa mendengarnya. Arin memang tipe gadis yang blak-blakkan mengenai apapun. Jika tidak setuju dengan sesuatu hal, maka dengan tegas dia akan menolaknya.
"Iya, iya. Kalau begitu aku berangkat, ya. Nanti hati-hati kalau mau berangkat kerja, pulangnya juga. Langsung pulang ke rumah, kalau mau sesuatu bilang padaku, nanti aku belikan atau tunggu aku pulang kerja."
"Iyaaaaa tuan Soobin yang bawel. Cepat sana berangkat, nanti kamu terlambat."
"Eh, tunggu dulu. Coba ambilkan tas kerjaku." Dengan patuh, Arin segera melaksanakan perintah dari Soobin.
"Kenapa? Ada yang kamu lupakan?" Ucap Arin menyerahkan tas berwarna hitam tersebut pada Soobin.
"Aniya, aku mau memberikan janjiku kemarin. Ini," ucap Soobin menyerahkan dua buah kartu kepada Arin.
"Eh? Dua?"
"Ne, satu kartu kredit, satunya lagi kartu debit biasa. Gunakan dengan baik. Aku masih akan memberimu uang tambahan setiap bulannya, jadi jangan ragu untuk pakai kartu-kartu itu, ya. Pin kartunya akan aku beritahu lewat chat nanti. Dan juga, jangan lupa kirimkan nomor rekening milikmu sendiri. Aku berangkat, ya."
Arin masih mematung memandangi kartu pemberian Soobin. "Arin?" Panggil lelaki itu karena ia tak kunjung mendapati respon dari sang istri.
"Arin? Hei? Kenapa?"
"Eh? Tidak, tidak apa, he he."
"Kurang, ya? Seadanya dulu, ya. Bulan depan aku janji akan berikan uang tambahan untukmu."
"Ani, ani, ini cukup, sangat cukup. Maaf, aku tadi terlalu senang kamu memberikan ini padaku. Terima kasih, ya, suamiku."
Sekarang ganti Soobin yang terdiam. Kedua pipinya terasa bersemu hangat. Panggilan sayang dari Arin ternyata mampu membuat hatinya berdesir hebat. Sekarang, rasanya dia tidak ingin berangkat bekerja. Menghabiskan sepanjang hari bersama Arin sepertinya terasa lebih menyenangkan untuk dilakukan.
"Rasanya, aku tidak mau berangkat kerja hari ini. Bolehkan aku membolos saja?" Arin sedikit terdorong kebelakang saat Soobin memeluknya sedikit erat.
"Tidak bisa. Aku juga akan kerja, kamu tidak akan ada teman nanti." Arin balas mengusap rambut Soobin. Lelaki itu memejamkan matanya.
"Kamu juga membolos saja."
"Andwae, tidak boleh, Soobin. Sudah sana berangkat." Dengan sekuat tenaga Arin berusaha melepaskan pelukan mereka.
Cup!
Satu kecupan singkat mendarat pada bibir Arin, gadis itu membulatkan kelopak matanya. Soobin kini sudah menatapnya dengan lekat.
Cup!
Kali ini, Soobin melumat bibirnya cukup intens. Tidak lagi sekedar memberikan kecupan singkat, kali ini Soobin berusaha membuat bibirnya sendiri menyelinap diantara bibir tipis Arin. Arin sendiri hanya terdiam, ia bisa melihat jika lelaki itu memejamkan matanya sekarang.
"Aku berangkat, ya."
Saat Soobin sudah melepas pagutannya, Arin segera berjalan menyusul Soobin yang tengah mengenakan sepatu pantofel hitamnya.
"Hati-hati," ucap Arin sambil melambai pada lelaki itu. Melihat sosok Soobin yang sudah tidak terlihat lagi, Arin langsung meraba dadanya. Degup jantungnya membuat gadis itu merasa sedikit takut.