22

79 11 1
                                    

Klik! Pintu apartemen terbuka, Soobin yang langsung masuk ke dalam apartemennya sedikit bingung saat tidak mendapati sosok Arin sejauh matanya dapat menjangkau pandangan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Klik!

Pintu apartemen terbuka, Soobin yang langsung masuk ke dalam apartemennya sedikit bingung saat tidak mendapati sosok Arin sejauh matanya dapat menjangkau pandangan. Bahkan hingga dirinya telah selesai mengganti sepatu pantofel hitam dengan sandal rumahan, sosok wanita itu juga tak kunjung terlihat. Padahal tidak sekali dua kali dia memanggil-manggil namanya. Mungkin saja dia sedang istirahat di kamar tidur, batin Soobin yang kini berjalan menaiki tangga menuju kamar sembari menenteng tas kerjanya.

“Arin?” serunya untuk yang kesekian kali, masih belum ada jawaban. Kini ia sampai pintu kamar tidurnya. Dengan perlahan tangan kanannya yang bebas segera membuka gagang pintu dan kini terlihat wanita yang menjadi objek pencariannya sedang berbaring menyamping pada ranjang besarnya. Wanita itu membelakangi pintu, dan sepertinya tidak menyadari kedatangannya disana.

“Arin? Kamu tidur?” Soobin masih menggenggam tas kerjanya. Sedangkan tangan kanannya lagi-lagi digunakan untuk mengguncang bahu Arin dengan pelan.

“Soobin?” Arin langsung berbalik saat merasakan sentuhan teramat lembut pada bahunya. Soobin tentu saja mengira jika wanita itu tertidur hingga tidak sadar bahwa dirinya sudah pulang. Sedangkan kenyataannya, Arin tetap terjaga sejak ia pulang dari tempat bekerjanya siang tadi. Ia tidak menyadari kehadiran Soobin karena terlalu larut dalam pikirannya sendiri. Memikirkan nasib dirinya sendiri dan juga jabang bayi yang kini terus tumbuh menempel tenang di dalam rahimnya. Nah, benar bukan? Lagi-lagi dia memikirkan hal itu. Dia harus sesegera mungkin memberitahu Soobin tentang hal itu.

“Kamu sakit apa, hmm? Sudah makan belum?” Soobin dengan telaten mengusap rambut panjangnya yang kini sedikit kusut pada beberapa bagian. Mungkin karena terlalu sering berbaring, pikir Soobin santai.

“Aku..aku mau ke dokter. Ayo kita ke dokter, Soobin.” Soobin tersenyum manis, sangat amat manis bahkan. Tapi Arin sendiri tidak terpengaruh dengan hal itu sekarang. Meski biasanya dia akan sangat menyukai senyum lelaki itu, terlebih jika cekungan pada pipinya sampai terlihat, Arin akan sangat menikmati keindahan suaminya itu.

“Oh, oke, oke, tapi ganti baju dulu, ya? Masa ke dokter mau pakai piyama pendek begini?” Soobin menunjuk celana piyama pendek yang dikenakan Arin dengan dagunya. Ia juga membantu Arin agar segera bangun dari posisi rebahannya. “Klinik yang kita kunjungi saat kamu terkena flu dulu itu, ya?” Arin dengan cepat menggeleng. Soobin mengernyitkan dahi setelahnya.

“Aku tidak mau ke klinik itu, ayo kita ke dokter kandungan, Soobin.”

“Eh?!” kedua alis Soobin sukses terangkat sempurna, namun tangannya masih setia berada di bahu sang wanita, terus berusaha membantunya terbangun dari posisi tidur itu. Dengan pikiran yang mulai berkecamuk tidak tentu arah, Soobin masih tetap berupaya membantu istrinya itu untuk duduk pada ranjang dengan posisi yang tepat. Ia yakin Arin hanya berusaha menipunya dengan lelucon klasik.

"Eiih, seolma. Sudah, ayo ganti baju dulu. Katanya mau ke dokter." Soobin masih tetap mengira bahwa wanita itu menipunya.
"Aku hamil."


Demi Odi yang seringkali marah setiap kali dimandikan, Soobin yang awalnya kukuh menolak fakta jika istrinya itu berkata jujur mulai memikirkan segala kemungkinan yang benar-benar terjadi. Terlebih setelah melihat air mata Arin yang mengalir lambat menuruni kedua pipi putihnya itu. Lagi-lagi hatinya terasa diiris dengan kejam dari dalam tubuh.

Blugh!

Tas kerjanya senantiasa ikut meluruh dari genggamannya, terjun bebas pada lantai marmer mengkilap hingga menimbulkan bunyi dentum yang jelas.

"Jinjja? Na jinjja? Jangan bercanda, Arin." Terlihat jelas jika Soobin menertawakan lelucon Arin. Walau sebenarnya dia sendiri khawatir akan hal itu.

"Aku sungguh-sungguh, lihat ini," ucap Arin sembari melemparkan kantung kresek berisi beberapa testpack. Soobin segera menangkapnya. Memeriksa semua alat berbentuk pipih yang sedikit tebal itu dengan acak. Dan pupil matanya melebar. Soobin tentu saja menarik kesimpulan yang sama dengan Arin. Istrinya itu hamil.

"Yaaa, Arin-ah.." ucap Soobin sedikit girang. Berbeda dengan Arin yang malah menangis tersedu-sedu di dalam dekapan Soobin sekarang.

"Yaaa, gomawo, chagi-yaa. Neomu gomawoyeo." Soobin masih terus mendekap Arin di dalam rengkuhan hangatnya.

"Lepas! Kenapa kamu malah terlihat senang, hah? Kenapa kamu malah bahagia begitu?!" Tangisan Arin semakin menjadi-jadi. Bahkan hampir saja meraung-raung jika Soobin tidak dengan segera mendekapnya lagi.

"Shhhtt, tenang dulu. Tentu saja aku senang, karena.. entah Soobin atau Arin kecil yang ada disana sekarang, tapi dia hadir diantara kita. Dia juga ingin hidup bersama kita, Arin. Apa kanu tidak senang dengan hal itu?"

Arin menggeleng cepat, namun semakin lama gerakannya semakin melambat. Air matanya sudah bercucuran deras membanjiri pipi putihnya yang kini kian memerah. Menangis ternyata juga bisa membuat pipi merona walau pada kenyataannya itu karena Arin yang menggosoknya terlalu sering.

"Shiro, nan shiroyeo. Aku belum bisa, aku belum siap. Tolong jangan begini, Soobin, jangan," racau Arin sambil berusaha memberontak di dalam dekapan sang suami. "Ayo kita ke klinik. Dia mungkin masih terlalu kecil. Kita bisa....."

"Shhht, aniya, tenang dulu," Soobin segera memotong ucapan Arin. Sebab dia tau, kalimat yang akan keluar selanjutnya akan sangat menyakiti dirinya sendiri juga jabang bayi yang masih tenang di dalam perut sang istri. "Tenang dulu, Arin. Jangan berkata begitu. Nanti dia dengar kalau ibunya sedang sedih, loh."

Soobin tetap mencoba menenangkan Arin yang semakin terisak. Walau di dalam hatinya juga merasa terkejut dan tidak percaya, tapi memang semua itu terbukti dengan banyaknya alat yang menunjukkan dua garis tersebut. Termasuk dalam kesalahan dan takdirnya sendiri jika jabang bayi itu hidup sekarang.

"Kita coba dulu, ya? Kita sama-sama belajar. Kita belajar cara merawatnya, kita bekerja untuk mencukupi kebutuhannya, semuanya, hmm?"

Dalam dekapannya, ia masih merasakan jika Arin tetap menggelengkan kepalanya. Kali ini sedikit lemah, tidak sekuat sebelumnya. Mungkin wanita itu sudah terlalu lama menangis.

"Aku takut, aku tidak begitu mahir dengan anak. Aku juga belum ingin punya anak. Tolong, Soobin, sekali ini saja, kumohon."

"Arin, tenang dulu. Coba pikirkan lagi, dia ada pasti karena kita sendiri, bukan? Aku sendiri tidak tau bagaimana bisa, tapi mungkin ada kesalahan dengan cara kita selama ini. Mungkin saja aku pernah memakai pengaman yang rusak, bukan? Kita hanya berhubungan sekali saat tidak memakai pengaman. Itu saat pertama kalinya kita melakukan hubungan badan. Jadi pasti ada yang salah dengan salah satu atau dua pengaman yang lainnya."

"Beberapa kali, kamu tidak pakai pengamanan beberapa kali. Tidak ingat yang kedua atau entah yang keberapa itu, hah? Saat kita sama-sama melepas penat dengan meminum soju hingga habis beberapa botol setelah kamu pulang kerja itu? Pasti malam itu kamu juga tidak pakai pengaman."

Soobin kini terdiam. Mencoba mengingat secuil ingatan yang baru saja dibuka oleh Arin. Dan tentu saja, dia ingat dengan semua itu.

"Ah, be-benar. Kamu benar. Aku lupa tidak memakai pengaman saat itu, mian. Tapi tetap saja. Aku tidak mau kamu melepaskan bayi ini. Dia anak kita, sayang, aku mohon. Biar bagaimanapun juga, dia hadir karena kelalaian kita berdua. Karena keteledoran kita. Jadi kita yang harus bertanggung jawab padanya. Dia tidak bersalah, dan kita juga tidak mungkin mengorbankan anak kita karena kita tidak siap merawatnya."

Arin tetap menggeleng, kali ini benar-benar teramat pelan. Soobin lagi-lagi mengusap puncak kepalanya dengan lembut. Juga dengan usapan pada punggung si wanita yang kian menghangat. Setelahnya, Soobin berusaha kembali merebahkan Arin pada ranjang yang sama. Kali ini ia malah ikut merebahkan dirinya. Kembali mengusap punggung dan sesekali menciumi ubun-ubun sang istri dengan penuh sayang.

"Mau, ya? Besok kita ke dokter, kita periksa sudah berapa lama dia didalam sana, ya?" Arin kini mulai terdiam. Tidak menggeleng namun tidak juga mengeluarkan sepatah kata atau kalimat pun. Dan Soobin tetap saja merengkuh tubuh yang seolah semakin rapuh tersebut dengan penuh kehangatan.

"Kamu sudah makan malam belum?" Soobin akhirnya memulai kembali pembicaraan, setelah lima menit keduanya sama-sama berdiam fisik dan obrolan. Sedikit khawatir jika Arin akan tertidur setelah lama menangis. Setelahnya, Soobin langsung merasakan jika Arin kembali menggeleng lemah.

"Belum? Kita pesan makan saja, ya? Tidak usah masak dulu." Arin tetap terdiam, begitu juga dengan Soobin. Soobin hanya meraih ponselnya di dalam saku jas kerjanya, ya, dia belum berganti pakaian sejak sampai pada apartemennya setengah jam yang lalu. Sebelah tangan yang menjadi bantal untuk kepala Arin tidak bisa bergerak bebas, alhasil dia berusaha keras mengoperasikan ponselnya hanya dengan tangan kanannya yang bebas. Pilihannya jatuh pada bubur dan sup rumput laut. Hanya itu yang bisa dipikirkannya untuk orang yang sedang mengandung. Pikirnya, itu adalah makanan yang sehat. Dan bukannya makanan yang pedas dan mengandung banyak pewarna atau semacamnya.


"Tempo hari, saat selesai berhubungan, kupikir aku masih mendapat siklus bulanan, loh. Sampai sekarang aku masih berpikir ada yang salah dengan alat-alat itu."

Soobin tertegun sejenak. Akhirnya Arin kembali mengeluarkan suaranya. Yah, walaupun setelahnya dia dibuat kebingungan harus merespon seperti apa untuk pernyataan wanita itu.

"Kamu yakin?"

"Tentu. Aku juga sempat merasa sedikit nyeri pada perutku. Biasanya aku juga sakit perut saat sedang dalam siklus bulanan. Rasanya perut bawahku akan sangat nyeri."

"Aku bukannya mau membesarkan hatimu. Tapi kalau memang alat itu yang terbukti tidak efektif, artinya dia tidak ada, bukan? Tapi kenapa aku malah sedih, ya?"

Arin langsung mendongakkan kepalanya menatap Soobin. Walau dalam posisi sama-sama tertidur, tetap saja dia harus mendongak demi bisa menatap wajah pria itu. "Kenapa kamu malah terlihat gembira? Aku setengah mati berpikir jika alat itu yang salah, tapi kamu malah berpikir sebaliknya."

"Aku bukannya langsung menerima semua ini. Toh, aku sama-sama terkejutnya dengan kamu. Tapi semuanya juga sudah terjadi, sayang. Aku hanya sangat merasa kasihan jika dia kita lenyapkan, padahal dia ada juga karena kecerobohan kita berdua, bukan? Orang tuanya sedikit payah, ya? Ha ha."

Arin sedikit tersenyum kecil, namun ia kembali terdiam, tidak ingin menjawab perkataan Soobin. Karena semakin dipikirkan, ucapan lelaki itu memang benar semata. Dia harusnya tetap waspada. Walau salah satu diantara mereka sudah melakukan pencegahan, setidaknya dia juga harus melakukan hal yang sama.

Lima menit tanpa obrolan kembali, kini ponsel Soobin yang bergetar menjadi satu-satunya pengisi suara selain alat pendingin ruangan tentunya. Soobin segera beranjak meninggalkan ranjang. Berpamitan jika akan mengambil pesanan lebih dulu, karena rupanya itu panggilan dari kurir makanan pesan antar.


TBC.

MENIKAH (✔️)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang