20

105 9 0
                                        

“Pagi, sunbae-nim

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

“Pagi, sunbae-nim.”

Arin tersenyum menanggapi sapaan salah satu senior di tempat kerjanya. Minggu kesekian setelah pernikahannya dengan Soobin. Sejauh ini berjalan dengan baik-baik saja. Dan tentunya Arin sendiri merasa sangat beruntung menerima tawaran lelaki itu sedari awal. Salah satu pengaruh baik itu adalah bagi pekerjaannya. Tahu sendiri bukan, jika dia memiliki saingan di tempat bekerjanya itu. Dan ia semakin berhasil membuat sang saingan semakin terbakar kedengkian semenjak ia mengumumkan pernikahannya dengan Soobin.

Contoh kecilnya adalah, Soobin yang rela berangkat siang agar bisa mengantarnya bekerja. Lalu saat pulang, pria itu akan mengirim salah satu supir kantornya untuk menjemput sang istri agar mampir ke kantor atau sekedar langsung mengantarnya ke rumah. Alasannya sederhana, dia tidak mau Arin kelelahan karena harus bekerja selagi mengurus dirinya dan juga rumah di saat yang sama. Sungguh, Arin sangat merasa diratukan karena sikap suaminya itu.

“Hari ini dijemput lagi tidak?” Yuqi yang sudah menunggu di luar ruang rekaman langsung bertanya pada Arin. Membicarakan kehadiran Yuqi, kedua sahabat itu semakin memperbanyak waktu bersama semenjak Arin resmi pindah ke bangunan apartemen yang sama dengannya.
“Tidak, aku melarang Soobin supaya tidak menjemputku hari ini.”

“Berarti nanti jadi, kan?”

“Tentu,” jawab Arin terlihat sama-sama antusiasnya seperti Yuqi. Beberapa hari yang lalu, keduanya telah merencanakan agenda bersama. Seperti berbelanja baju baru di distrik sebelah, mengecat rambut, hingga mencoba mengunjungi kafe baru yang menawarkan menu dan event menarik bagi pengunjungnya. Dan semoga saja semuanya bisa terlaksana dalam hari yang sama. Tentu saja itu didukung dengan Arin yang yakin Soobin tidak akan pulang sebelum dia menyelesaikan semua jadwalnya lebih dulu, sebab, suaminya itu sudah lebih dulu meminta ijin untuk pulang terlambat selama beberapa hari karena banyaknya pekerjaan dan rapat yang menantinya. Dia memiliki proyek besar kali ini, demikian kata Soobin sendiri.

“Aku tunggu di kafe sebelah, ya. Aku malas sekali menjawab pertanyaan dari orang-orang yang selalu bertanya tentang Soobin.”

“Tentu, nanti kalau sudah selesai akan langsung aku susul.” Demikian kata Yuqi mengiyakan ucapan sang sahabat. Maka setelahnya, Arin langsung keluar dari dalam studio dan pergi meninggalkan kantor setelah lebih dulu memberikan sidik jarinya pada alat absensi perusahaannya, seperti biasa.

Aman. Dia sudah memberi tanda bahwa dirinya masuk dan keluar dari kantor sesuai jadwal. Maka setelahnya dia segera berjalan meninggalkan bangunan megah itu sesegera mungkin. Dia tidak akan membiarkan para junior dan karyawan perusahaan lainnya mengganggu waktu pulangnya hanya demi pertanyaan tentang Soobin.

Langkah kaki yang terus berjalan mantap sukses membawa tubuh Arin hingga sampai pada kafe minimalis yang ada di depan persimpangan tempat bekerja gadis itu. Entah ada angin apa sebelumnya, kafe itu terlihat sedikit lebih ramai daripada biasanya. Maka dengan langkahnya yang santai, Arin langsung saja menuju meja pemesanan lalu bergerak menuju salah satu kursi kosong di pojok ruangan. Ia hanya menginginkan ketenangan sekarang. Setidaknya sampai Yuqi menyusul dirinya disana nanti.

Sepuluh menit telah berlalu, americano dingin pesanan Arin akhirnya selesai dibuat. Baru saja ia mengambilnya dari meja pemesanan, juga dengan kembali mendaratnya bantalan duduk gadis itu, namun ia malah dikejutkan dengan sebuah gerakan yang ditimbulkan dari orang yang baru saja mendaratkan dirinya pada kursi kosong dihadapan Arin.

Lantas, gadis itu mendongakkan kepalanya demi bisa melihat siapakah gerangan seseorang yang berani mengambil tempat bagi Yuqi tersebut. Karena sangat tidak mungkin bagi sahabatnya itu untuk bisa langsung datang. Padahal setengah jam saja belum terlewati sejak kepergiannya dari kantor tersebut.

Wah. Sialan. Ingin rasanya Arin segera berlari menjauh dari sana secepat mungkin. Orang yang paling dihindarinya sudah menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. Wajahnya sedikit berbeda dari biasanya, namun Arin masih bisa melihat keantusiasan di dalam manik bola mata gelapnya.

“Syukurlah, aku bertemu denganmu disini. Tadi aku mampir ke kantormu, tapi kata mereka kau sudah pulang. Kupikir tidak akan bisa bertemu denganmu hari ini.”

Arin menelan ludahnya, sedikit kepayahan. Tiba-tiba saja ice americano-nya terasa begitu pahit. Pahit yang benar-benar  pahit tidak hanya untuk lidahnya saja. Atau itu hanya ilusi yang dirasakannya saat melihat wajah Jihyuk sudah menatapnya dengan penuh kebinaran. Ya, orang di hadapannya saat ini adalah Jihyuk, cinta pertamanya yang bertepuk sebelah tangan itu.

“Eh? Ada apa mencariku sampai ke kantor segala? Kamu kan bisa menghubungi aku kalau memang butuh sesuatu.”

“Ariiin? Kamu pura-pura lupa? Aku sudah beberapa kali menghubungi kamu. Jika tidak beralasan sibuk, kamu malah akan mengabaikan setiap pesan-pesanku. Selalu begitu selama beberapa minggu belakangan ini.”

Arin terdiam. Tangan kanannya semakin kuat mencengkeram cup kopinya.

“Apa ada yang mengganggu dirimu? Atau kamu sedang ada masalah? Ceritakan padaku, aku tidak keberatan jika memang bisa membantu dirimu.” Dengan cepat, Arin menggelengkan kepalanya. Jihyuk semakin kebingungan melihat tingkah gadis itu.

“Aku.. aku baik-baik saja. Tidak ada yang perlu kamu khawatirkan, kok.”

“Lantas, kenapa kamu selalu menghindari semua pesan-pesanku? Aku beberapa kali mengajakmu keluar, aku hanya ingin saran dari kamu, Arin. Persis seperti yang kamu lakukan dulu. Aku akan sangat memakluminya jika memang kamu sedang ada sesuatu hal yang harus diselesaikan.”

“Yang harus diselesaikan itu adalah hubungan kita. Ah, maksudku hubungan tanpa timbal balik yang tidak menguntungkan diantara kita.” Arin berkata ketus, tapi sejujurnya di dalam hati dia menahan rasa sesak dan gugup yang besar.

“Ap-apa maksudmu?”

Arin tersenyum miring sebelum menjawab ucapan Jihyuk. “Jujur saja, selama ini kamu hanya menganggap aku sebagai tempat berlabuh dari segala masalahmu, bukan? Aku sudah cukup bersabar dari segala hal yang selalu kamu tunjukkan padaku. Kamu selalu berlari padaku setiap kali kamu mendapat masalah di tempat kerjamu. Kamu juga akan langsung menghubungi aku setiap kali kamu tengah mengalami perselisihan dengan kekasih yang sangat kamu bangga-banggakan itu. Setidaknya sekali saja tolong lihat aku sebagai seorang teman.”

Arin sengaja mengeraskan suaranya. Kini, beberapa pengunjung kafe mulai memperhatikan mereka berdua.

“A-Arin?”

“Cukup, aku memang tidak akan pernah paham isi hatimu. Jadi sebaiknya kita sudahi pertemuan kali ini. Dan aku tidak berjanji apakah ini akan menjadi pertemuan terakhir kita atau tidak.”

“Apa maksudmu?!”

“Aku sudah menikah.”

Entah demi apapun yang perlu dipertaruhkan, tapi Arin bisa melihat wajah terkejut Jihyuk yang sangat kentara itu. Terselip sedikit rasa senang di dalam dada Arin sendiri.

“Jangan bercanda! Aku tidak akan mempercayai ucapanmu kali ini, Arin.”

“Terserah kamu percaya atau tidak. Aku bahkan tidak membutuhkan validasi darimu untuk hal sederhana ini.” Senyum kemenangan terlihat sangat tipis pada bibir Arin. Namun tentu saja itu hanya membuat Jihyuk semakin merasa tersudutkan. Jihyuk yang sudah berdiri hendak meraih pergelangan tangan Arin yang bebas di atas meja.

“Permisi, apa kalian sedang ada masalah? Bisakah kalian menyelesaikannya diluar kafe? Kami tidak ingin membuat pelanggan yang lainnya merasa terganggu.” Jihyuk hanya mendenguskan napasnya dengan berat saat seorang pekerja kafe tersebut menegurnya. Lalu dengan berat hati, lelaki itu segera meninggalkan kafe tersebut tanpa sepatah katapun terucap. Arin merasakan dadanya langsung kosong, beban yang mengganjal disana sudah hilang dalam sekejap.

“Apa anda tidak apa-apa, nona?”

“Nde, gwaenchana-yo. Terimakasih sudah membantu mengusirnya.”


TBC.

MENIKAH (✔️)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang