Spicy Level: 23

15.3K 1.3K 120
                                    

Dating a 'Luki Asmara' is probably one of the most difficult thing to do. Bahkan lebih sulit dari 'Mencoba memahami seorang perempuan yang sedang dilanda sindroma PMS'.

Tadi, setelah makan siang, sebelum berangkat untuk sif malam, Luki memperingatkan untuk tidak mengirimkan pesan-pesan vulgar atau pesan lain yang tidak penting. Katanya hari ini dia memulai rotasi IGD, sehingga akan banyak orang di sekitarnya yang tanpa sengaja melihat isi chat atau mendengar pembicaraan via telpon. Namun, kekasih Gadis itu tidak memberitahu sejauh apa batasan 'tidak penting' sehingga Gadis kebingungan memilah pesan seperti apa yang bisa dikirimkan.

Apakah 'Semangat jaga malemnya!' termasuk tidak penting?

Sepertinya itu penting. Gunanya agar Luki tahu bahwa Gadis ingin pria itu bersemangat bekerja di tengah situasi yang mungkin tidak menyenangkan—pasien membludak, rekan kerja yang tidak kooperatif, pasien tidak sadar yang rewel, dan masalah teknis lain selama di rumah sakit—dan agar pria itu tahu bahwa ada seorang wanita cantik di rumah yang akan senantiasa menyemangatinya.

Apakah 'Jangan lupa makan!' penting?

Tentu saja! Meskipun Gadis sudah menyiapkan bekal makanan—nasi putih, tumis sayur, ayam goreng dari salah satu resto fast food, dan snack buah-buahan serta teh citrus dalam termos—kalau tidak diingatkan, Luki pasti akan melewatkan jadwal makan. Sejak jaman koas dulu, Luki sering kelupaan makan karena sibuk. Padahal Gadis tahu bagaimana Laddi selalu mengirimkan makanan seperti jadwal katering yang nyaris tidak pernah terlambat barang sedetik pun. Begitu pekerjaannya selesai, pria itu akan tertidur lalu begitu bangun ia akan mengeluh kelaparan dan mengganggu orang-orang di sekitar.

Bagaimana dengan 'I love you!' dan 'I miss you!'? Itu pesan penting! Kalau tidak mengirimkannya, bisa saja Luki tidak tahu bahwa di rumah ada seorang wanita yang mencintainya dan merindukannya dengan amat sangat sampai rela menunggu hingga sif malamnya berakhir.

Berarti tidak masalah mengirim pesan-pesan itu, 'kan?

"Jadi lo belum nikah?"

Suara Tristan membuyarkan lamunan Gadis yang sedang memainkan sedotan stainless dengan memutarnya dalam gelas berisi es jeruk.

"Oh, right. Yeah ... I mean nope. Gue belum nikah," jawab Gadis yang sadar bahwa dia sedang bersama Tristan yang duduk di hadapannya dan mengenakan scrubs merah maroon. Seperti janji mereka di chat malam sebelumnya. Mereka bertemu usai jam kerja Tristan di puskesmas agar Gadis bisa mengambil print out hasil pemeriksaan VCT lalu melanjutkan obrolan di luar—yang ternyata, Tristan memilih warung bakso yang tidak jauh dari puskesmas.

Gadis menoleh pada si Abang Bakso yang berdiri membelakangi mereka, bertanya-tanya kapan makanan akan tersaji karena perut Gadis mulai berbunyi akibat melihat pelanggan yang duduk di samping mereka sudah menyantap hidangan sejak tadi. "Lo sendiri gimana? Udah nikah? Atau jangan-jangan udah punya anak?"

"Gue gini-gini aja. Sibuk sama Covid sampe nggak ada waktu untuk mikirin jodoh," terang Tristan sambil menekuk lengannya di atas meja. "Lo kerja di mana sekarang?"

Satu alis Gadis terangkat. "Bukannya udah gue kasih tau, ya? Waktu pertama kali lo nge-chat gue."

"Oh, ya?" Tristan tertawa sambil mengeluarkan ponselnya. Dibukanya kembali kolom chat mereka berdua dan digulirnya layar ponsel untuk mencari percakapan yang dimaksud. "Oh, I see. Nggak kerja, ya? Kenapa, Dis? Nggak sayang gelar dokter lo?"

"Awalnya berhenti karena Covid. Pap asked me to stay at home—"

"Pap siapa?" sela Tristan kebingungan.

"My father—Bokap gue. Beliau khawatir gue sakit, jadi disuruh di rumah aja. Lagian bokap gue udah berumur dan rentan ketularan, kasian kalo nanti kena dari gue."

When The Food Is Too SpicyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang