Luki berdecak di depan cermin wastafel, menggeleng pelan, lalu menatap pantulan dirinya yang terlihat ... menyedihkan.
This will be his starting point.
Setelah pergumulan panjang tadi—setidaknya untuk hari ini saja dia hampir satu setengah jam berada di ruang rapat bersama tim manajemen RS ULILA—akhirnya permohonan resign yang dia ajukan disetujui dan dalam dua bulan dia tidak lagi bekerja di rumah sakit yang telah mempekerjakannya sejak lulus itu. Sehabis ini dia harus mencari pekerjaan di rumah sakit lain atau kembali mengisi di klinik sambil mempersiapkan diri untuk melanjutkan sekolahnya.
Semoga saja rencananya berjalan tanpa hambatan yang berarti dan ada celah yang bisa dia pakai untuk mempersiapkan pernikahan.
"Damn!" desis Luki sambil menyugar rambutnya. Topik satu itu selalu berhasil membuat kepalanya sakit, tetapi mau bagaimana lagi?
Dia tidak bisa terus menunda dan tidak memberikan kepastian apa-apa kepada Gadis. Atau pada Gideon Abrahms, ayah Gadis. Atau pada seluruh keluarga Abrahms yang tersebar di mana-mana.
Meskipun dirinya dan Gadis telah membicarakan, secara bertahap, mengenai rencana ke mana mereka mau membawa hubungan mereka. Serta bagaimana Gadis mengatakan bahwa ia tidak keberatan menunggu ... he knows that it's all talk.
Luki tahu siapapun yang mengatakan bersedia menunggu pasti memiliki sisi dalam diri mereka yang mengharapkan mereka tidak harus menunggu. Because waiting sucks!
Dia tahu, kok. Menunggu itu menyebalkan. Dia pernah merasakan menunggu Gadis mau bicara lagi dengannya dan hal terakhir yang terjadi adalah wanita itu pergi meninggalkannya.
Benar kata Laddi, "jangan salahin perempuan kalo kita malah berpaling. Yang kita cari itu pembuktian, bukan janji manis."
Dan nyatanya ada yang lebih buruk dari sebuah janji manis; sebuah ketidakpastian.
"She'll be furious," gumam Luki seraya mengeluarkan ponselnya. Berniat menghubungi Gadis dan terperangah melihat puluhan chat dari kekasihnya tersebut. Semua pesan yang masuk dikirim dalam satu kali enter untuk setiap kalimat.
Menandakan bahwa Luki dalam masalah besar.
"Abey?"
Alih-alih membaca satu per satu chat yang menumpuk, Luki malah langsung menekan fitur telpon begitu menyadari ada pengulangan nama 'Abey' beberapa kali dalam chat Gadis. Benda pipih itu dia tempelkan ke telinga, berdering.
Menunggu kekasihnya mengangkat di seberang sana, dia berjalan keluar toilet.
"Dok Ganteng!" sapa Sultan yang langsung merangkul bahu Luki. Sang perawat membawa dua map berlogo rumah sakit yang tampaknya berisi hasil rontgent. "Perasaan hari ini lo libur, Dok. Ngapain ke sini? Kangen sama aku atau mau jadi supporter Bebeb Pri?"
"Ada urusan sama manajemen. Buruan balik ke IGD sana, Bang. Nanti disemprot Mak Juni."
"Lagi panas di IGD, Dok," lapor Sultan sebelum merangkul Luki lebih erat. "Bebeb Pri lagi berantem sama Nanda. Tau nggak karena apa?"
Luki menggedikan bahunya.
"Si Nanda nyolong stempel Bebep Pri, terus jualan surat sakit buat pasien isoman. Nanti selesai pelayanan Dok Pri disuruh menghadap manajemen."
Luki mengangkat satu alisnya. Telpon tidak diangkat, jadi dia mencoba menelpon ulang. "Kok bisa ketauan?"
"Lo tau kan, Dok? Si Nanda itu diem-diem sering praktek di klinik dekat sini dan ngaku dokter? Nah, semua pasien yang antigennya reaktif sama si Nanda dibuatin surat sakit buat dua minggu. Stempelnya pake SIP Dok Pri ... habislah itu si Bebep. Ada perusahaan yang konfirmasi ke Dok Pri dan tembusannya sampe ke manajemen." Sultan menggeleng takjub. "Gue tau si Nanda dulu cita-citanya jadi dokter dan nggak kesampean karena nggak ada duit, tapi parah amat, ya? Masa sampe ngaku dokter terus ngobatin pasien."
KAMU SEDANG MEMBACA
When The Food Is Too Spicy
Чиклит[Completed] [21+] [Chicklit / Romance / Medicine] [Konten eksplisit sudah dihapus] Start: 01/04/2022 Finish: 11/09/2023 🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞 "Jangan ngeliatin gue kayak gitu!" "Kayak apa?" "Kayak ... kayak lo kenal gue luar dalem!" "Lucu, ya? We slept tog...