Spicy Level: 31

16.1K 1.3K 111
                                    

🔞🔞🔞

Warning:

Mentioning of abortion

🔞🔞🔞


Ada kerutan yang begitu dalam di kening Luki ketika dia menatap secangkir teh dan segelas susu panas di atas konter. Dalam genggamannya, wadah berisi gula sudah dalam keadaan terbuka dan sendok ada di tangan kanannya, tetapi Luki tidak bisa mengingat apakah dia sudah membubuhi gula pada dua minuman itu atau belum.

Kalau sendoknya saja sudah dia pegang, bukankah artinya dia sudah menambahkan gula?

Oh, benar juga.

Gadis tidak pernah suka susu yang diberi gula dan hanya menyukai tambahan madu sebagai pemanis.

Ya, ya, benar. Madu ... di mana terakhir kali dia menyimpannya? Kenapa di lemari penyimpanan bumbu masakan tidak ada? Di kulkas pun tidak ada?

Where the hell is that fucking honey!?

"Shit!" desis Luki sambil mengkertakan gigi. Tangannya semakin erat menggenggam sendok dan semakin erat dan erat dan perlahan benda itu membengkok. Dengan kasar Luki melempar sendok itu ke wastafel lalu meletakan tangannya di atas konter. Sengaja dia menekan—bermaksud ingin menghentikan tremor pada tangannya yang semakin tidak terkendali.

He's losing it.

And he's about to throw everything on his sight.

Dan keinginan itu begitu saja lenyap ketika suara derit meja bergeser menyadarkannya.

"Hei," sapa Gadis dengan senyum kecil di bibir pucatnya. "Lo mau makan apa malam ini?"

Luki membuang muka, menghindari tatapan Gadis yang membuat dadanya semakin berkecamuk. "Tadi gue udah beli. Madu terakhir ditaro mana, ya?"

"Nih, di sini. Tadi pagi gue pake untuk olesan roti," ujar Gadis seraya mengeluarkan wadah berisi madu dari dalam tempat penyimpanan selai, lalu membuka tudung saji untuk melihat makanan yang Luki maksud.

Luki sendiri mencoba menarik napas dan mengendalikan diri. Minimal, agar tremor di tangannya bisa berhenti karena dia harus membawa dua minuman itu ke meja untuk menyajikannya. Dengan mata terpejam serta beberapa kali tarikan napas, akhirnya Luki menghampiri ke meja makan.

Mereka berdua diam saja selama Luki menyiapkan minuman. Hanya terdengar bunyi denting peraduan antara sendok dan permukaan cangkir.

"Mau lanjut ngobrol?" ajak Gadis ragu-ragu. Matanya sedang memperhatikan tangan Luki. "Gue yakin masih banyak hal yang harus kita omongin dan gue baik-baik aja, Luk."

"Kalo dipaksain, lo bisa capek."

"Gue baik-baik aja, Luki," ulang Gadis dengan penekanan. Wanita itu mengambil alih sendok serta cangkir teh di meja. Ia cicipi masing-masing minuman dan menggeleng pelan ketika menyadari ada yang tidak beres dengan dua minuman tersebut.

Tentu saja gerakan Gadis jauh lebih cekatan dan terorganisasi. Tidak ada gemetar seperti orang yang tidak makan berhari-hari dan tidak menimbulkan bunyi gemerisik.

"I'm sorry for earlier, it was so ... not me. Kayaknya emang obat paling ampuh untuk stres itu harus nangis yang benar-benar nangis, terus kecapekan, terus minum susu hangat." Gadis mengerutkan hidungnya dan menampakan giginya ketika tersenyum. "It'll be okay, Luki. It's been almost five years now. Besides, you're here to hug me, right?"

When The Food Is Too SpicyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang