Spicy Level: 39

10.8K 961 15
                                    

Dia tidak serta-merta menutup pintu begitu keluar dari kamar.

Dari celah pintu, dia masih memperhatikan sosok yang terlelap di tempat tidur dan begitu sudah yakin bahwa tidak ada yang berubah, dia pun menutup pintunya.

"So," mulainya setelah menempelkan ponsel di telinga, melangkah menuju ruang tengah. "What makes you think it's OK to call me now?"

"Because I know you will be there to hear whatever dumb things I say. Isn't that what friends are for?"

Luki tersenyum masam.

"A friend," tegas Luki sambil menyugar rambutnya. "Not your personal customer service."

"Jadi gue nggak boleh nelpon, nih?"

"Dibilang nggak boleh pun, lo nggak akan dengar omongan gue, 'kan? Udah to the point aja mau cerita apa."


✿✿✿


Mereka akhirnya memutuskan pindah ke aplikasi Zoom untuk menyelamatkan telinga Luki dari suara Abey. Juga dengan alasan mereka ingin melihat wajah masing-masing setelah lama tidak berjumpa.

Suara yang Luki dengar masih terdengar sama dengan suara yang terakhir kali didengarnya beberapa tahun silam. Hanya sedikit berbeda karena speaker tablet yang Luki gunakan dan sepertinya di seberang sana Abey sedang flu. Suaranya sengau.

Kalau dari segi penampilan ... apa lagi yang berbeda?

Luki pun mulai berpikir.

Mengingat-ingat kenangan lama kala mereka—dirinya dan Abey—sering bertemu, menghabiskan waktu seperti muda-mudi bodoh, dan berbagi cerita.

Dan yang dimaksud berbagi cerita ini adalah 90% porsinya Abey bercerita, 9% menyangkal apapun yang Luki sarankan, dan 1% sisanya jatah Luki bersuara. Termasuk berkomentar sekenanya, memberi saran, dan mengeluh bahwa dia sudah bosan dengan cerita itu-itu saja.

Oh, ya.

Benar juga.

Ada yang berubah dari penampilan Abey.

Dibandingkan saat dulu masih mengajar di ULILA, penampilan wanita yang lebih tua beberapa tahun di atasnya itu tampak lebih ... bebas—jika itu memang cara mendeskripsikan yang baik dan benar.

Kalau dulu dia tampak dewasa, anggun, dan para koas pria menyebutnya 'The Hot Mommy' (yang kemudian mereka akan tertawa sambil menyerukan 'Breastfeed me, Mom!'), sekarang dia tampak seperti turis yang sedang berlibur di negara orang.

Tipikal penampilan khas warga Amerika yang sering ditampilkan di film luar negeri.

" ... and after that, you know exactly what happened, Luki. I wrote you a letter with full explanation. Don't tell me you can't read my letter because of my handwritting, it's perfectly written!"

"Gue belum baca surat lo," jujur Luki sambil memandang sebuah paket besar dikelilingi beberapa paket kecil di tengah ruangan. Melihat dari posisinya yang masih terbungkus dan ditata rapih, pasti itu paket miliknya. Mungkin Gadis memisahkannya. "Ada di dalem paketnya, 'kan? Nanti kalo ada waktu gue baca, deh."

"I'm truly disappointed. First, you didn't reply to my messages, didn't pick up any calls, and you haven't opened the packages ... YET!?"

"Masih untung nggak gue buang."

"Oh, c'mon!" seru Abey tidak terima. "Sesibuk apa sih jadwal jaga lo? Masa sama sekali nggak ada waktu untuk buka paket? Orang-orang kalo ada paket justru senang and willing to spend time despite being busy and all."

Luki mendengkus sambil memutar mata. "Too bad I'm not the normal 'orang-orang'."

Di seberang sana Abey tampak tidak menanggapi dengan serius. Ia tertawa. Sudah maklum dengan segala respon balik dari Luki. "Anyway, because you haven't seen it, gue spoiler aja, ya? Isinya tuh ada satu amplop surat-surat yang gue tulis when I was bored—"

Dengan pasrah akhirnya Luki mendengarkan dan menjadi yakin bahwa paket paling besar dalam ruangan itu merupakan kiriman dari Abey. Selagi mendengarkan, pria itu pun mulai bosan. Matanya memandangi semua kekacauan bekas paket Gadis.

Potongan lakban dan bubble wrap tergeletak di mana-mana. Kardus bekas pembungkus pun masih menumpuk di samping sofa, tetapi sudah tersusun menjadi satu.

Entah apa lagi dan berapa banyak yang sudah dibelanjakan kekasihnya itu.

" ... bilang katanya mau liat paper lo. Hopefully, kalo mereka tertarik sama penelitian lo waktu skripsi, mereka bisa pertimbangkan untuk nerima lo. Makanya gue butuh file .pdf-nya dan gue harap semuanya udah di-translate—"

"Hold on!" Luki memotong. Satu alisnya naik. "Nerima gue ke mana?"

Abey tampak terkejut, tetapi ekspresinya kembali normal dengan cepat. "Kebiasaan, ya? Kalo gue cerita nggak pernah lo dengerin. Sibuk sendiri sama dunia lo. Mikirin apa, sih?"

Tangan Luki menyentuh layar tabletnya, melihat jam di sudut kanan dengan mata menyipit, lalu menggedikan bahu. "I don't know. Hampir jam 4 dan biasanya di jam segini orang normal lagi tidur, bukan dengerin curhat."

Pria itu mengusap wajahnya.

"Listen, Bey. I'm kinda tired and sleepy now. Langsung ke intinya aja, deh." Luki menekan nada bicaranya, "how's your treatment? Is everything okay?"

Ada jeda panjang yang membuat Luki bingung.

Apakah koneksinya begitu buruk hingga layar tampak freeze atau memang lawan bicaranya yang terdiam. Namun, akhirnya dia tahu yang kedua adalah jawabannya.

Entah apa yang membuat wanita itu memilih diam.

Mungkin karena usaha pengalihan topik yang ia lakukan berhasil Luki patahkan. Mungkin juga karena ia tidak menyangka Luki masih ingat alasan utama wanita itu pergi ke Amerika dan memintanya untuk bungkam bila ditanya.

Bagaimana mungkin bisa dilupakan?

Luki melihat berkas milik wanita itu sebelum akhirnya ia putuskan untuk pergi ke Amerika.

Luki yang membujuknya untuk mengabari Robyn dan membicarakan semuanya secara dewasa.

Luki pula yang kala itu melepas kepergiannya di bandara Soekarno Hatta.

Dan Luki juga yang sejak kepergian Abey terus berharap akan datang kabar baik.

"Bey," panggil Luki pelan. "You're okay, right? Everything went well according to your plans, right?"

Jawaban itu cukup lama meluncur dari mulut lawan bicaranya.

Semuanya diawali dengan gelengan pelan satu kali, lalu kepalanya menunduk begitu dalam, dan gelengan pun semakin kuat. Seakan-akan sosok yang ada di seberang layar sana tidak ingin menerima kenyataan yang terjadi dan berupaya mengusirnya dari hidupnya.

Akhirnya Abey mendongak dan samar-samar terdengar isak tangis yang membuat Luki merasakan rasa tidak nyaman di perutnya.

"Yeah, yeah ... I'm okay now. I'm still the old me. Nothing has changed, Luki."

"Lo nelpon gue karena tau gue pasti akan dengar semuanya, Bey. Just tell me, what had happened?"

Satu tarikan napas panjang sebelum Abey menjawab, "they said everything is useless so they decided to take them all."


---------------


When The Food Is Too SpicyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang