Spicy Level: 4

20.7K 1.6K 26
                                    

Ayunan tangan terakhirnya mendorong tubuh Luki mencapai dinding kolam. Perlahan pria itu mendongak, mengeluarkan wajahnya dari permukaan air. Satu tarikan napas panjang, lalu pria itu mengembus perlahan. Kedua tangannya menyugar rambut yang jatuh menutupi kening sebelum menyapu air dari wajah. 

Pukul 9 pagi.

Begitu angka yang tertera pada layar ponsel yang dia letakan di tepi kolam sebelum pria itu memanjat naik dengan menggunakan kedua lengan sebagai tumpuan. Tepat begitu kedua kakinya memijak, ponselnya berdering.

Langkahnya tegas, tapi penuh perhitungan ketika berjalan menepi. Jangan sampai karena terburu-buru menjawab telpon—yang belum tentu sebuah panggilan penting—dia harus mengalami cedera akibat terpeleset. Sekilas dia melirik layar ponselnya.

Laddi A. Calling.

Senyum di wajahnya merekah melihat nama adiknya tertera di layar. Lebih cepat dua hari dari perkiraan, tapi akhirnya sang adik menghubunginya. Tadinya Luki yakin adiknya baru akan sadar dan menelpon sekitar 1-2 minggu kemudian.

"Good morning, Sister!" sapanya ceria sembari merenggut handuk dari sandaran kursi. Dia duduk di tepi sambil mengusap wajah dan rambutnya dengan gerak asal-asalan. "Tumben banget pagi-pagi nelpon."

"Mas Luki! Kok Bi Yuyun disuruh pulang kampung?"

Ah, here it comes ... the deadly phone call.

Luki pernah ditanya oleh orang yang kebetulan berada di sebelahnya ketika menerima telpon dari adiknya, "kuping lo nggak sakit?" dan jujur saja bentakan adiknya baik melalui telpon ataupun live, tidak ada bedanya. Mungkin ada sedikit perbedaan. Versi via telpon jauh lebih intens karena langsung menembus telinga. Namun, hal itu tidak lagi mengganggunya. Saking seringnya diomeli, telinga Luki seperti sudah membangun sound system peredam suara otomatis.

Semenjak menikah dan tinggal dengan pria brengsek yang kebetulan adalah sahabat Luki sejak masa sekolah, adiknya jadi jarang mengomel. Frekuensi harian berubah jadi mingguan dan akhir-akhir ini jadi bulanan. Hanya setiap adiknya datang untuk sekadar mampir atau untuk memastikan kakaknya yang bebal masih hidup dan tidak overwork.

Kadang momen diomeli seperti ini membuat rindu.

Luki tertawa.

"Kusuruh pulang," jelas Luki apa adanya. Tidak ada nada penyesalan ataupun rasa sungkan dari gaya berbicaranya.

Dia membiarkan handuk masih tersampir di kepala saat tangannya meraih termos kecil lalu menuangkan cairan coklat bening ke mug. "Kalo ditunda nanti-nanti, keburu kampungnya Bi Yuyun di-lockdown, Lad. Itu aja buat pulang terpaksa nebeng sama sodaranya yang tinggal di Pulogadung, soalnya kalo naik kereta dimintain surat ini-itu. Travel pun udah seharga kereta. Lagian itu kemauan Bi Yuyun sendiri, bukan aku yang nyuruh pulang."

"Bohong banget."

Tawa Luki pecah tepat sebelum dia menyesap teh hangatnya. Untung mugnya baru menempel di bibir.

"Tanya sendiri sama Bi Yuyun sana, mana pernah aku ngusir dia ... " Luki menyesap tehnya " ... eh, pernah, deh. Dua kali. Waktu dia bangunin pas aku pulang jaga sama waktu kamu nyuruh dia supaya aku ikut kerja bakti. Oh, nggak! Udah sering ternyata, Lad."

Di seberang sana adiknya terdengar mendengkus.

"Terus Mas Luki di rumah gimana? Siapa yang bangunin kalo shift pagi? Makannya gimana?"

"Kan bisa seduh Popmie, Lad."

"Jangan ngawur, Mas!" tukas Laddi yang berhasil membuat Luki meringis. "Kondisinya lagi gawat begini, makan jangan sembarangan. Vitamin yang aku stok di lemari diminum? Sisa berapa butir?"

When The Food Is Too SpicyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang