Spicy Level: 59

12.8K 941 54
                                    

Luki terperanjat hingga punggungnya membentur pintu ketika seorang pria menyambutnya begitu dia keluar kamar. Kakinya langsung lemas, nyaris merosot karena tidak kuat dengan kejutan yang diberikan.

"Ngagetin ...," desisnya dengan gigi mengatup sambil mengusap dada yang berdebar kencang.

"Maaf, Tuan." Pria itu mundur beberapa langkah. Sadar diri kehadirannya sudah mengejutkan si pemilik rumah.

"No, it's ... it's okay." Sambil mengatur napasnya, Luki mencoba berdiri tegak dengan sisa rasa lemas akibat terkejut tadi. "Saya emang gampang kaget. Silakan dilanjutkan bersih-bersihnya."

Pria itu mengangguk lalu kembali membersihkan pajangan di dinding, sementara Luki berjalan dengan awas. Dia masih belum terbiasa melihat ada begitu banyak orang asing di rumahnya. Padahal semalam, sepulang jaga, dia sudah terkejut satu kali, tetapi pagi ini masih juga belum terbiasa.

Seharusnya pemandangan ini bukan lagi hal aneh. Dulu, sebelum ada Laddi, Luki pernah hidup di rumah dengan begitu banyak staf. Sampai-sampai, begitu bertemu Laddi dan memilih tinggal terpisah dengan ibu tirinya, dia harus belajar melakukan semuanya sendiri. Rasanya dia harus membiasakan diri lagi karena sepertinya para pekerja yang dikirim oleh Gideon Abrahms akan menjadi pekerja permanen di tempatnya.

But ... is it really necessary?

Rumahnya kan tidak sebesar itu sampai harus mengutus begitu banyak orang. Rumahnya juga berada di area yang agak jauh dari jalan raya, sehingga debu tidak pernah jadi masalah serius. Selama ini Bi Yuyun bisa mengurus rumah itu sendirian hanya dengan bantuan robot vacuum (yang secara spesial dibeli atas permintaan Bi Yuyun karena teracuni video viral di sosmed).

" ... okay, this is good enough. Pastiin aja dulu dia maunya iced or hot or maybe he wants different drinks."

Suara Gadis mulai terdengar ketika Luki memasuki area dapur. Pria melongok untuk memastikan dia tidak mengganggu.

"Oh, iya. Selama di Jakarta kalian tinggal di mana?"

Pria yang kemarin memperkenalkan diri sebagai head chef—yang namanya tidak bisa diingat oleh Luki—menjawab dengan penuh hormat, "kami diberikan satu unit apartemen di Jakarta Barat, Miss."

"Masing-masing dapat kamar sendiri, 'kan? Bukan asrama atau sekamar rame-rame?"

"Tentu, Miss."

"Pak Haikal ini tinggal bersama istri dan anaknya yang baru lahir, Miss." Yang lebih tua dan merupakan seorang asisten melaporkan sambil tersenyum.

"Oh, ya? Congratulations! Umur berapa anaknya?"

Pak Haikal—pria yang lebih tua dan menjabat sebagai head chef—tersipu malu. "Awal bulan depan genap dua bulan."

Gadis terlihat meletakan sendok yang sedang dipegangnya lalu menjabat tangan Pak Haikal. Tawanya begitu riang mendengar kabar suka cita dari salah satu pekerjanya.

Pelan, Luki berdeham.

"Dis, bisa bicara sebentar?" tanya Luki saat perhatian orang-orang kini tertuju padanya.

Panggilan Luki itu membuat Gadis menoleh dan senyum semringah langsung terukir di wajah wanita itu. "Good morning, Love. Tunggu sebentar, ya?"

Wanita itu kemudian kembali fokus pada dua pekerja di depannya. "Okay, here's the deal. From now on, aku mau makan malam disiapin sebelum jam 6. Setelah itu kalian berdua boleh pulang. Take your time, terutama Pak Haikal harus dampingi istri, 'kay?"

"Maaf, Miss. Nanti makanannya tidak segar dan—"

Tangan Gadis terangkat dan ia menggeleng pelan. "Nggak masalah, bisa dipanasin, kok. Nanti aku yang hubungi Pak Billy. I think that's all, you both can go now. Istirahat dulu aja, nanti kupanggil kalo butuh sesuatu."

When The Food Is Too SpicyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang