Spicy Level: 58

8.7K 893 54
                                    

"Ya, Allah! Bapak!! Nggak mungkin ... ini pasti bohong, 'kan? Bapak saya, Dok! Tolong bapak saya!"

Dari kejauhan Gadis menyaksikan seorang anak perempuan menangis histeris usai mendengar berita yang dibawa oleh dokter jaga. Entah apa yang disampaikan oleh si dokter jaga, tetapi kalau melihat dari respon si anak perempuan, Gadis yakin itu adalah berita buruk.

Dan menyaksikan adegan itu membuat Gadis tersadar akan masalahnya sendiri.

Saat ini Gadis duduk di sebuah petak bunga yang dicor di pelataran parkir rumah sakit tempat Mahesa bekerja. Mereka terpaksa memilih rumah sakit yang lebih jauh karena hanya tempat Mahesa bekerja yang masih menerima pasien non-COVID dan masih melayani kebutuhan tindakan operatif.

Untuk berjaga-jaga seandainya dibutuhkan tindakan operatif untuk dua orang yang Gadis bawa ke rumah sakit itu.

Mahesa dan si penjual bakso—yang belakangan Gadis ketahui bernama Pak Rojali—sedang diperiksa oleh dokter jaga, sementara Gadis diminta menunggu di pelataran parkir yang kini berubah fungsi menjadi ruang tunggu untuk keluarga pasien. Sudah lebih dari sepuluh menit Gadis menunggu dan belum ada kabar dari dokter atau perawat yang tadi menangani Mahesa atau Pak Rojali.

Suara tangisan perempuan tadi masih bisa terdengar berbaur dengan bisik-bisik bising keluarga pasien lain. Mendengarnya membuat Gadis iri karena saat ini dia pun ingin menangis keras. Ingin berteriak dan mengeluarkan semua rasa frustrasinya. Perasaannya benar-benar campur aduk dan semua yang terjadi hingga detik ini sekarang menjadi satu misteri besar dalam kepalanya; of all times, why now?

"Kak," panggil Laddi yang kemudian menyerahkan ponsel pada Gadis. "Mas Luki."

"I can't talk right now."

Laddi tersenyum mengerti, tetapi ia tidak menyerah. Ponsel yang ia pegang diberikan ke dalam genggaman Gadis. "Kalo nggak mau ngomong, dengerin aja."

Pasrah, Gadis akhirnya menempelkan ponsel di telinga.

Hanya untuk mendengar Luki menegur dengan nada meninggi.

"Lagi genting kayak gini kenapa hape lo nggak bisa dihubungin, sih?"

Ponsel itu dijauhkan dari telinga dan Gadis memaksa agar Laddi mengambil kembali ponsel tersebut, tetapi Laddi enggan. Adik Luki itu menggeleng sebelum berbisik mau mencari minuman lalu berjalan menjauh.

"... berita sepenting ini malah nyuruh Pak Billy yang ngomong ke gue. Hape lo ke mana? Lo ikut jatoh juga sampe nggak bisa pegang hape?" cecar Luki. Rupanya pria itu masih menyerocos panjang lebar dan nada bicaranya masih sama. "Dis? Halo? Kenapa diem aja? Gue nanya, nih."

"You're done?" Gadis balik bertanya ketika Luki terdiam dan suara di seberang sana diisi oleh suara bising monitor. Satu tangan yang senggang kini menyugar rambutnya. "Just ... go back doing your job."

Gadis mematikan panggilan lalu menatap sebal pada ponsel milik Laddi. Bibirnya mengerucut, menahan tangisnya yang benar-benar sudah membasahi seluruh permukaan bola mata. Padahal sejak tadi dia sudah berhasil menahan agar tidak menangis di tengah gempuran peristiwa emosional, tetapi bentakan Luki memecah pertahanannya. It's weird.

She's so disappointed to be yelled at.

But she knows Luki didn't do it because he's a bad person. Luki hanya khawatir mengenai keadaan yang menimpa mereka.

And she's happy knowing someone actually care.

Tidak berselang lama, Gadis yang kembali menekan kontak Luki menggunakan ponsel Laddi.

Satu kali dering, di seberang sana langsung menjawab.

"Alright, I'm sorry. Gue panik dan nggak bisa mikir," akunya dengan suara gemetar. "I didn't even know what to do ... I failed to help Mahesa dan gue nggak tau harus ngapain pas ngeliat Pak Rojali kesakitan."

When The Food Is Too SpicyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang