Spicy Level: 45

11.8K 1K 103
                                    

Abey tertawa sambil mengibaskan tangannya. "Listen here, Mr. Strict. I was quarantined for two days until they let us—me and the other non-reactive PCR people–go home. Apparently, lagi banyak penerbangan kedatangan dan mereka out of empty space untuk karantina. Nggak semua, sih. Yang dibolehin pulang hanya mereka yang punya rumah yang layak untuk dijadiin tempat karantina. Sisanya memilih cari hotel sendiri."

"Terus kenapa ke sini? Bukan ke rumah lo yang layak untuk dijadiin tempat karantina?"

Abey tertawa lagi.

"Kalo kuncinya ada, sejak awal gue udah pulang ke sana. Sayangnya, yang pegang kuncinya sepupu gue. Selama di Amerika, dia yang ngebersihin rumah gue. Now she's living with her family in Bandung."

"Emang nggak ada orang lain yang bisa lo tumpangin?"

"Kenapa sih, Sa? Kayaknya lo nggak suka gue nemuin Luki, deh. I just want to say 'hi' to my bestfriend, ask him if it'll be okay to stay for couple of days until I can contact my cousin. Setelah gue dapetin kunci rumahnya, gue pindah," jelas Abey sambil mengangkat satu tangan setinggi wajahnya. "I swear I have no bad intention. Gue tau kok tentang Gadis. Luki told me everything and I'm happy for him."

Laddi mengembuskan napasnya dan hanya bisa menggeleng mendengar dua orang dewasa berdebat karena topik 'menumpang'. Dia tidak bisa menyalahkan Abey yang menganggap berita bahwa 'Luki tinggal sendiri' adalah lampu hijau untuk menumpang, terlebih di tengah pandemi seperti sekarang mencari penginapan akan sulit. Di sisi lain dia juga tidak menyalahkan Mahesa dan sifat tegas serta protektif pria itu. Laddi tahu Mahesa sama seperti dirinya. Mengkhawatirkan Luki yang tinggal sendiri dan terlalu cuek dengan sekelilingnya.

Kalau dibiarkan, bisa-bisa rumah ini dijadikan rumah singgah untuk semua teman-teman Luki dan entah apa yang akan terjadi selanjutnya.

Sekarang saja kakak kandung Laddi itu pulang dalam keadaan luka-luka, bagaimana nanti?

"Udah jam segini," gumam Laddi setelah melihat jam di ponselnya. Dia menatap makanan di meja makan yang sudah disiapkan untuk makan malam. Dengan bantuan Mahesa (dan sedikit bantuan dari Abey untuk menata meja) akhirnya Laddi bisa memasak dan menyiapkan makanan yang layak untuk lima orang. Tinggal mengabari kakaknya dan Gadis yang sejak tadi belum keluar kamar.

"Aku ngabarin Mas Luki sama Kak Gadis dulu, ya?" ujar Laddi setelah meletakan pitcher berisi air di meja.

"Bilang aja kita makan duluan, Lad. Mereka bisa nyusul."

Laddi mengangguk dan segera menuju kamar Luki. Setelah mengetuk dua kali dan tidak ada jawaban, dia membuka pintu; nihil. Kakaknya dan Gadis tidak ada di sana.

Dia pun beralih ke kamar Gadis.

Namun, begitu hendak mengetuk pintu, suara keras pada permukaan kayu di hadapannya membuatnya terkesiap.

"W, wait—Luki, slow down!!"

Mata Laddi melotot takjub pada pintu yang kini terdengar seperti dipukul dari dalam dan kini pintu itu tampak bergetar. Seperti diguncangkan sengaja oleh siapapun yang berada di balik pintu.

"Mas—" suara Laddi pun tersekat di ujung lidahnya ketika suara itu semakin jelas.

Suara desahan, erangan, dan seruan-seruan berkonotasi nakal yang tidak pernah dia duga akan didengar dari mulut kakaknya. Atau dari mulut kekasih kakaknya.

Laddi pun mundur selangkah.

Wajahnya memerah dan tidak peduli betapa keras usahanya menutup telinga, suara itu tetap bisa terdengar.

" ... I'm close! O, oh! Luki, please! Hug me ... I'm coming—"

Laddi berputar dan berlari meninggalkan area kamar Gadis. Dengan wajah terbakar, dia menghampiri Mahesa dan Abey yang sudah berganti topik membahas kebijakan KEMENKES mengenai COVID-19.

When The Food Is Too SpicyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang