Mencair?

295 25 5
                                    

42.

Udara dingin mulai terasa sangat dingin malam ini. Lima belas menit lalu Alesha telah bebas dari jeratan tali yang mengikatnya, dan itu karena Fadzi juga Tiara yang sangat tepat waktu menyelamatkannya. Karena itu Alesha sangat berterimakasih sekali dengan mereka. Alesha tidak tau lagi akan nasibnya jika mereka telat satu detik saja datang kesini. Alesha tidak bisa membayangkannya, betapa hancurnya dirinya nanti, betapa kotornya dirinya nanti. Alesha tentu tidak mau itu terjadi. Tuhan masih baik kepadanya. Tuhan telah berbaik hati mengirimkan sosok manusia yang ia kirimkan untuk menyelamatkankannya dari nasib buruk.

Lantai yang dingin. Mereka masih di tempat ini, di gubuk tepat Alesha disekap. Mereka memutuskan untuk beristirahat malam ini disini. Mereka tidak mungkin untuk pulang malam-malam seperti ini. Apalagi saat mengingat jarak yang sangat jauh itu membuat Tiara beberapa kali mengidik ngeri. Jadi lebih baik mereka beristirahat dulu malam ini.

Penyekap itu? Cowok misterius itu sudah aman terkurung pada salah satu ruangan itu. Pintu ruangan itu pun telah Fadzi kunci. Tak cukup disitu, Fadzi juga mengganjal pintu itu menggunakan lemari yang cukup besar agar penyekap itu tidak lolos begitu saja.

Ya. Memang bodoh. Mana ada penyekap yang di sekap balik. Tapi ini nyata. Berkat Fadzi, kecerdasan cowok itu sangat bisa diandalkan. Juga kebodohan cowok misterius itulah yang membuat Fadzi dengan mudah mengerjainya.

Hembusan nafas berat meluncur pada pernafasan Alesha. Dingin. Hawa di rumah tua ini benar-benar beda. Apalagi rumah ini berada di tengah-tengah hutan. Tidak ada kehangatan yang tercipta di tempat ini.

Cewek itu menggosok-gosokan kedua telapak tangannya karena merasa kedinginan. Sekarang ini sudah sangat malam tapi sedari tadi Alesha belum memejamkan matanya sama sekali. Berbeda dengan Tiara dan juga Fadzi yang sudah tertidur sejak tadi. Tiara yang tergeletak tidur di lantai, Fadzi yang tidur agak jauh dari mereka dengan posisi bersender di dinding. Tidur mereka sangat terlihat tidak nyaman, Alesha pun merasakan itu.

Alesha belum bisa memejamkan matanya. Hingga saat ini cewek itu masih memandangi ponselnya, memandangi chat-nya dengan Gibran yang masih belum dibalas hingga sekarang. Kemana cowok itu? Kenapa cowok itu mendadak tidak peduli kepadanya?

Pesan terakhir yang dikirimkan Gibran masih terngiang-ngiang di kepalanya. Hampir saja Alesha kembali meneteskan air matanya.

Jangan ganggu gw.

Alesha menyerah. Ia menghela nafasnya berat, menantikan ponselnya lalu memasukannya lagi pada tas.

Dia terdiam cukup lama. Melihat keadaan sekitar yang gelap. Cahaya pada ruangan ini cukup redup. Alesha mengedarkan pandangannya. Lalu sekarang ini pandangannya terpaku pada Fadzi yang tertidur dengan posisi duduk lumayan jauh darinya. Alesha bisa melihat jelas luka-luka memar dan juga darah yang belum kering pada wajahnya. Ia meringis pelan.

"Ck! Bikin ngeri aja sih...," Gumam Alesha. Cewek itu langsung mencari benda yang bisa ia gunakan di dalam tasnya.

Setelah ditemukan Alesha menggenggam erat obat merah dan juga kapas itu. Benda itu memang selalu ia bawa kemanapun. Setelah meyakinkan dirinya barulah Alesha beranjak lalu dengan pelan berjalan menghampiri Fadzi.

Alesha duduk tepat di samping Fadzi. Dari jarak sedekat ini Alesha malah bisa lebih jelas melihat luka di wajah cowok itu.

"Ini karena gue." Pandangannya beralih menatap obat merah, kapas, juga air mineral yang masih tersisa.

"Fadzi. Lo pernah nolongin gue dua kali. Pertama, saat gue keujanan dulu.. gue hampir aja ketabrak mobil. Tapi lo dateng dan nyelamatin gue." Alesha mendongak menatap wajah Fadzi.

"Sekarang. Lo nolongin gue lagi." Alesha tersenyum. "Ternyata Lo baik Fad," Alesha mulai membuka tutup dari air mineral itu lalu meneteskannya pada kapas. Sebelum ia mengobati dengan obat merah, Alesha lebih dulu membersihkan luka yang belum mengering itu agar tidak menyebabkan infeksi.

GIBRAN ALGHAFRITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang