Modus

388 24 0
                                    

SERTAKAN VOTMEN!

45.

Hamparan angin malam yang dingin menerpa wajah seorang cewek yang duduk di atas pembatasan Rooftop, di tengah kegelapan malam yang hanya disinari lampu-lampu apartemen yang terjejer rapi di sekitarnya. Dia hanya sendirian.

Sepotong kaca kecil yang ia letakan di telapak tangannya. Melihat wajah memarnya pada pantulan kaca kecil itu, dia menghela nafas berat. Banyak pemikiran-pemikiran aneh yang berkerumun di dalam isi kepalanya.

Memar dipipinya pun semakin terlihat keunguan karena belum sempat ia obati.

Fikirannya kacau saat ini.

"Kenapa semuanya jadi gini?"

Cewek dengan ciri khasnya. Hijab fasmina hitam yang selalu melekat rapi di kepalanya. Ia mengangkat pandangannya, membiarkan angin malam yang begitu berembus menerpa permukaan kulitnya.

Saat ia menutup matanya. tiba-tiba ia merasakan tangan seseorang berada pada pundaknya. Ia langsung membuka matanya, lalu berbalik. Memastikan seseorang itu.

Lelaki itu tersenyum hangat. Sedangkan Alesha mendengus lalu memutar kembali pandangannya seperti semula.

"Yuk balik ke dalem. Disini dingin, gak baik buat kesehatan." Kata cowok itu dengan nada yang begitu tenang.

"Yang seharusnya ke dalem itu lo, Gibran. Lo masih sakit ngapain keluyuran gak jelas?" kata Alesha ketus.

Dahi Gibran berkerut. "Jelas kok. Karena tujuannya kan, lo. Jelas benget malah. Dari sini aja udah keliatan kalo lo masa depan gue,"

"Ngarep lo!"

Gibran terkekeh kecil. Dia memilih ikut naik ke atas bembatas Rooftop, lalu duduk di dekat Alesha. Memerhatikan wajah Alesha dengan lekat.

"Engga salah kan gue punya harapan?" katanya bertanya.

Alesha yang semula memalingkan wajah pun menoleh. Masih dengan wajah kesalnya. "Gak salah. Cuma harapan lo itu mustahil buat terkabul."

"Masih belum percaya sama kalimat, Kun fayakun?" katanya, tidak terdengar seserius tadi.

"Astagfirullah Gib!" Alesha mengangkat tangan kanannya untuk diletakan di kening cowok itu. "Lo sakitnya parah banget ya?"

Gibran tersenyum jahil. Dia mengambil tangan Alesha dari keningnya lalu ia genggam. "Parah banget. Tapi masih bisa di sembuhin kalo ada obatnya."

Dahi Alesha mengerut. "Oh ya? Apa tuh obatnya?"

"Lo."

Kerutan semakin terlihat jelas pada keningnya. "H-hah?"

"Peluk boleh gak?" tanyanya dengan binar mata yang penuh harap.

"Dih modus banget!" ketus Alesha.

"Yaudah. Biarin aja gue mati karena belum nemuin obatnya," ucap Gibran. Menurut Alesha cowok dihadapannya ini semakin aneh. Ia yakin bahwa penyakit cowok itu bukan pengkakit biasa.

"Dih! Yaudah!"

"Yaudah apa?"

"Gue peluk."

"Yaudah sekarang. Kenapa diem?"

"I-iya sabar!" dengan ragu Alesha pun mulai mendekat. Lalu memeluk cowok itu, ia menyenderkan kepalanya di dada bidang cowok itu.

Dia langsung merasakan detak jantung cowok itu yang teratur. Seketika jiwanya langsung merasa tenang. Ia merasa kembali menemukan kehangatannya.

"Obat dari segala obat. Gak bakal bisa menyembuhkan penyakit gue. Karena obat yang paling terbaik dari segala obat adalah seorang Alesha Gifani yang sangatttt Gibran Alghafri sayangiii."

GIBRAN ALGHAFRITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang