Bab 04 Strategi Baru

68 4 0
                                    

"Apakah jasad Brama akan dikebumikan malam ini juga?" tanya seorang kepala pimpinan dari kelompok masyarakat.

"Pak, kalau sudah dimandikan, alangkah lebih baiknya kita segera lakukan," ujar komandan A. U. Pane.

"Komandan, apakah kita tidak segera meninggalkan kampung ini. Karena, tadi saya mendengar beberapa ucapan yang keluar dari mulut para tentara sekutu," sambar Arjuna.

Lalu, Topan pun menatap sahabatnya, kemudian dia angkat bicara. "Apa yang kau dengar, Arjuna?"

"Mereka akan mencari orang-orang yang masih tersisa di wilayah ini. Kalau memberontak, mereka akan membunuh. Jika kita tidak memberontak, akan menjadi budak mereka," pungkas Arjuna dengan nada suara sangat lirih.

Mendengar ucapan itu, para masyarakat pun menarik napas berat. Namun, di luar tempat persembunyian mereka masih ada yang lainnya. Beberapa tentara didikan Belanda, akan tetapi sedikit berbeda jalur ketika hendak menuju lokasi.

Tempat memang dibagi menjadi beberapa bagian, agar dapat mengecoh pergerakan lawan, dan tidak mati dalam satu area lokasi.

Kabar para sahabat yang ada di luar barak pun tidak tahu, mereka seakan tidak mau berkunjung ke tempat Arjuna tinggal, lokasi yang saat ini telah menjadi incaran penjajah.

"Kalau saran saya, kita akan tinggalkan tempat ini. Ya, malam ini juga, Komandan," ujar Arjuna.

"Tidak bisa, Arjuna! Kita belum tahu pasti di luar sana bagaimana situasinya. Rakyak kita masih banyak, mereka tidak mungkin ikut para penjajah itu." Komandan A. U. Pane pun mencetuskan sebuah pendapatnya.

Dari samping kanan, Topan mengelus pundak sahabatnya yang masih sangat emosi tingkat tinggi. Keadaan Arjuna menjadi sangat overload jika sudah membahas para penjajah yang tiba hari ini. Namun, semua harus dipikirkan secara matang jika hendak melangkah.

Apabila salah dalam mengambil keputusan, nyawa menjadi taruhan dan komandan A. U. Pane tidak mau kalau hal itu terjadi. Mereka pun mendadak bergeming setelah perdebatan panjang. Kemudian, kepala dari pimpinan masyarakat bersuara lagi.

"Maaf saudara, apakah kita tetap akan mengebumikan jenazah Brama? Soalnya, kalau ditunda, tidak baik untuk arwahnya." Ustaz Arifin pun berujar.

Seketika Komandan A. U. Pane membuyarkan lamunan, dia menatap mantap jasad yang hanya dibungkus dengan kain seadanya. Mereka tidak punya kain kafan putih, karena tidak sempat untuk keluar dan mencari pakaian yang layak dan seharusnya dipakai umat muslim ketika meninggal dunia.

Malam dengan rintik hujan, cahaya dimar ublik pun bergerak ke sana dan ke mari tertiup angin. Udara di luar barak sangat dingin, merayap lubang pori-pori dan menambah kesedihan di bumi pertiwi.

Arjuna dan Topan membawa jenazah sahabat mereka, dibantu dengan masyarakat yang sengaja menginap di sebuah barak para tentara. Mereka pun bergerak menuju ke samping pemukiman, kemudian meletakkan jasad itu di atas bumi semesta.

Dengan alat sederhana, Arjuna dan Topan pun menggali tanah dan membuat lubang. Meskipun tidak rata dan cantik, tetapi sudah cukup untuk menjadikan rumah terakhir sang sahabat.

Tidak berapa lama, Komandan A. U. Pane datang dan membawa air di dalam sebuah botol. Perlahan, masyarakat yang berusia paruh baya turun ke dalam lubang, mereka pun menantikan jasad yang akan diangkat oleh Arjuna dan Topan.

Setelah jenazah telah sampai di liang lahat, mereka pun menumpahkan tanah hingga membentuk makam untuk Brama di sana. Menggunakan nissan yang terbuat dari botol kaca, kemudian ditancapkan untuk pembeda antara posisi kepala dan kaki.

Air yang tadinya telah dibawa oleh komandan, disiram ke batu nissan sejurus pada posisi kaki. Mereka pun berdoa dan memohon agar almarhum Brama dapat diterima di sisi Allah SWT.

Perlahan, orang-orang yang menggerompak di lokasi pemakaman pun beringsut satu persatu. Tinggallah Arjuna dan Topan, mereka masih menjongkokkan badan seraya menatap makam tersebut.

Dari belakang badan, Topan menyentuh pundak sahabatnya. "Arjuna, ikhlaskan Brama. Semua manusia akan kembali ke sana, tidak terkecuali."

"Pan, kau enggak tahu betapa sakitnya perjuangan kami dulu. Kau hanya anak baru di sini, tidak dengan kami yang dari kecil bersama."

Mendengar ucapan itu, Topan menarik napas berat. "Aku paham apa yang kau rasakan, Jun. Bukan karena aku adalah anak baru di sini, tetapi lebih kepada perjuangan kita memang belum berakhir. Di mana Arjuna yang dulu aku kenal?"

"Arjuna yang kau kenal sudah mati, Pan," pungkas lelaki berusia dua puluh enam tahun itu.

Mereka berdua pun bergeming, terpaan gerimis mampu membuat basah sekujur tubuh. Baju yang mereka pakai sudah tiga hari tidak dicuci, basah karena keringat, kering akibat panas.

Menjadi anggota militer bukanlah hal yang diimpikan saat itu, karena paksaan dari bangsa Belanda, mereka pun harus mau dan tidak ada penolakan. Sebelum penguasa yang memiliki julukan Kincir Angin itu tiba di Kota Tanjung Balai, hidup mereka aman dan nyaman.

Semua berubah menjadi suram ketika pergantian orang asing yang sangat cepat lewat jalur laut. Tanpa bisa menjawab, karena bumi pertiwi juga lagi menangis.

"Arjuna, kita kembali lagi ke barak. Karena besok akan mencari makanan di hutan," ajak Topan.

Tanpa menjawab, Arjuna membangkitkan badan seraya bergeming di samping sahabatnya. Topan pun menoleh, lalu dia menatap mantap orang yang paling berjasa pada hidupnya, membawa dari pesisir Pantai Perupuk, Batu Bara.

"Jun, kau adalah orang satu-satunya yang paling baik saat ini aku punya. Orangtua kita sudah entah ke mana rimbanya," celetuk Topan sekenanya.

Arjuna pun mengangguk, lalu dia menjawab, "kalau orangtuaku telah tiada. Mereka meninggal ketika adanya penyerangan antara penduduk Tanjung Balai dan pasukan tentara Belanda."

Sembari berjalan, mereka pun bercerita masa lalu.

"Berarti, kau sudah pernah melihat orangtuamu?" tanya Topan.

"Aku sudah pernah lihat mereka, tetapi pada saat usia delapan tahun, mereka tewas dan aku tinggal sama tante. Akan tetapi, semua sama. Tante dan pamanku juga tewas karena kekejaman penjajah," papar Arjuna menjelaskan.

Setibanya di depan barak, Arjuna dan Topan mendudukkan badan. Mereka jaga malam dan memantau dari depan teras. Pembahasan kali ini adalah tentang ulasan masa lalu, membuat kedua remaja itu sangat sesak jika mengingatnya.

"Dari dulu, aku sangat ingin melihat orangtuaku. Wajahnya seperti apa, sifatnya seperti apa," papar Topan.

"Kalau dari sifat, pasti sudah sepertimu. Keras kepala, dan tidak pernah mau mengalah," sambar Arjuna sekenanya.

Mendengar ucapan itu, Topan pun menyiku sahabatnya. "Enak saja kau. Bukannya, yang emosian adalah kau?!"

Perbincangan keduanya pun semakin berbuntut panjang, menceritakan segala masalah yang pernah mereka alami selama hidup ini.

Untuk urusan percintaan, kedua remaja itu seakan tidak pernah alami, karena hidup keduanya hanya berlatih dan menjadi budak ketika ada pembangunan yang dipimpin oleh bangsa Belanda.

Saat ini, Arjuna berusia dua puluh enam tahun. Sementara Topan, telah menginjak genap dua puluh lima tahun. Akan tetapi, fostur tubuh mereka sangat sama dan tidak dapat dibedakan usia berapa.

Tidak berapa lama, sebuah tembakan pun kembali terdengar dari langit Kota Tanjung Balai.

"Pan, apakah kau mendengar itu?" tanya Arjuna.

Sang sahabat pun mengangguk, kemudian dia bertanya, "kalau ada bunyi senapan, apakah ada korban lagi, Jun?"

"Aku tidak tahu pasti, sepertinya kita harus memberikan pandangan pada masyarakat yang masih ada, agar mendesak komandan untuk meninggalkan Kota Tanjung Balai," jelas Arjuna menjelaskan.

Topan pun mengangguk, dia seakan bersedia mengikuti semua strategi yang telah dicetuskan oleh Arjuna. Kalau menunggu situasi menjadi aman, tidak akan mungkin Tanjung Balai akan aman dari tentara sekutu.

Bersambung ...

Baret Merah (Kekejaman Tentara Jepang Yang Meluluhlantakkan Asahan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang