Bab 07 Tidak Mendapatkan Dukungan

72 2 0
                                    

Setelah semburat arunika menyingsing dari atas langit semesta, memboyong gelapnya malam. Alam semesta ikut ambil dalam bagiannya, suasana kian mencekam pun hadir bersamaan dengan tangisan mendung gelap.

Tepat di luar barak, telah terjadi badai hujan, sepertinya akan berlangsung hingga esok hari. Arjuna dan Topan tidak pulang ke tempat di mana mereka bersembunyi, karena malam ini ada hal penting untuk menyusun strategi.

Sembari merumuskan berjuta pertanyaan dalam kepala, Arjuna menghela napas setelah bersitegang dengan ketiga sahabatnya di dalam sebuah ruangan.

Bagaimana tidak, otot leher dari masing-masing remaja itu seakan memerlihatkan kalau pendapat di antara mereka sangat berbeda.

Arjuna mengajak para sahabat untuk memberontak komandan A. U. Pane—selaku pimpinan mereka, agar segera keluar dari wilayah jajahan Jepang. Namun, Ibrahim dan Iskandar tidak mau melakukan itu karena situasi di daerah tersebut masih sangat berbahaya.

Ketakutan yang menghantui kedua remaja itu adalah, ketika mereka harus terpisah dengan orangtua. Karena saat ini, Ibrahim dan Iskandar masih merawat ayahnya yang sedang sakit, akibat perang di awal ke hadiran bangsa Jepang.

"Arjuna, lebih baik urungkan niatmu untuk segera pergi dari lokasi ini," kata Ibrahim yang bersikaras dengan perkataannya.

Sementara lawan bicara pun menarik napas berat, dia membuang tatapan menuju ambang pintu.

"Apa yang mereka katakan benar, Arjuna. Aku tidak memihak mana pun, karena kalau kita tergesa-gesa ambil keputusan, kita akan tertangkap semua," ujar Topan menyambung persepsi sahabatnya.

Sepanjang waktu ketika mereka bercokol dalam ruangan, tidak ada satu perkara pun yang dihasilkan. Apalagi sekarang, Arjuna dan Topan tidak pulang demi membahas hal demikian di suatu lokasi.

Tidak berapa lama, datang seorang lelaki yang bisa dikatakan adalah petuah dari luar pulau Sumatra. Dia dibuang oleh Belanda ketika itu di pesisir Pantai Perupuk. Lelaki yang berusia sudah lumayan tua itu mendudukkan badannya di samping para remaja tersebut.

"Kalian tidak perlu berdebat perihal apa yang akan kita lakukan anak muda. Karena hanya dapat membuat pertengkaran dan ini bukanlah hal mudah," ujar lelaki bersarung itu.

"Kalau menurut Ustaz, apa yang harus kita lakukan untuk selanjutnya?" tanya Ibrahim.

Seketika lelaki berkopiah hitam itu menarik napas panjang, lalu dia menatap menuju di mana Arjuna duduk. Sementara pemuda yang tadinya menjadi bulan-bulanan karena bersikeras dengan persepsi, hanya sekadar menadahkan tatapannya menuju lantai.

Lelaki yang selama ini dianggap petuah oleh para masyarakat di kampung pun menyentuh pundak Arjuna. "Anak muda, kau tidak perlu berkecil hati saat ini. Saya tahu kalau maksudmu itu baik, dengan mengajak orang-orang untuk menjauh dari sini."

"I-iya, Ustaz. Saya hanya tidak ingin yang lain menjadi korban, karena orangtua saya telah tiada akibat peperangan itu," sergah Arjuna.

Mendengar pengakuan dari Arjuna, mereka pun hanya membungkam. Tatkala tadinya masing-masing dari mereka telah memotong gagasan dengan persepsi menjatuhkan, sekarang tersadarlah betapa kehadiran itu penting dari orang yang dicintai.

"Anak muda, kau adalah calon pemimpin yang pantas kalau saya bilang. Bertindak cepat, dan tidak mau membuang banyak waktu. Namun, kamu harus bisa mengontrol semua emosimu, bahwa di sini masih banyak yang cidera karena pertempuran beberapa pekan lalu."

"Iya, Ustaz. Saya paham dengan semua itu. Inilah alasannya saya datang ke sini, agar mendapat pencerahan dan nasihat. Karena ini demi masa depan generasi yang tidak berdosa di sana." Arjuna pun menatap beberapa anak kecil yang masih berlari ke sana dan ke mari di barak persembunyian.

Sementara Ustaz Mustafa hanya membungkam, dia pun menarik napas berat dan mengembuskannya dari mulut. Ruangan persembunyian mereka telah bocor karena terpaan air hujan, lantai-lantai telah basah dan lembab untuk dipijak.

Hidup dalam keterbatasan, bersama dimar ublik yang tertiup angin bergerak ke sana dan ke mari. Untuk mendapatkan sebuah informasi, mereka hanya mengandalkan radio.

"Sebaiknya kalian tidur, karena besok akan ada aktivitas lagi di luar untuk mencari makanan," suruh Ustaz Mustafa.

Keempat remaja itu hanya mengangguk, mereka pun menatap si utsaz yang meninggalkan mereka di dalam ruangan. Sementara Topan dan Ibrahim telah tidur dengan posisi meringkuk.

Akibat dingin yang berlebihan, seisi barak mendadak sunyi dan hanya terpaan air hujan terdengar di luar sana.

Malam itu, Arjuna pun tidak mau menutup matanya seperti para sahabat. Dengan langkah gontai, dia keluar dari ruangan dan hendak memantau di depan teras. Lelaki berbadan atletis itu mendudukkan badan. Tatapannya sejurus pada jalan setapak, yang dia lalui setiap harinya.

Rasa dingin sudah tidak terasa lagi baginya, bahkan air hujan hanya sekadar menempel sebentar, lalu beringsut pergi bagai air di daun talas.

Dari arah belakang badan, seseorang pun kembali hadir, menyentuh pundak sahabatnya yang bergeming tanpa suara. Mendapati sentuhan itu, Arjuna menoleh.

Orang tersebut adalah Iskandar Muda. Kelahiran Asahan, berusia dua puluh enam tahun, sama dengan usia Arjuna saat ini.

"Kau belum tidur?" tanya Arjuna spontan.

Iskandar pun tidak menjawab, lalu dia mendudukkan badan di samping kanan sahabatnya. Mereka bersama-sama menatap jalan setapak yang membawa mereka ketika mencari makanan di hutan.

"Terkadang, kita tidak tahu akan apa yang sebenarnya terjadi. Hidup dalam tekanan, seolah menjadi makanan sehari-hari," papar Iskandar sekenanya.

Mendengar ucapan itu, Arjuna menoleh lawan bicara. Lalu dia berpaling, kemudian menjawab, "itu karena kita tidak bisa bersatu. Coba saja, semua manusia dicipta dengan jalan pikiran yang sama, pasti tidak akan berbuntut seperti ini."

"Arjuna, berarti Allah masih memberikan kita nikmat dari perbedaan. Karena apa, bersatunya karena berbeda, akan menjadikan kerukunan. Coba pahami sedikit tentang makna hidup ini," sergah Iskandar.

Arjuna masih tetap bersikeras pada persepsinya, dia seakan tidak mau melanjutkan perdebatan malam ini. Baginya, semua rencana yang telah dia pikirkan hanya sekadar sia-sia.

"Kalau kita berbeda, itu sudah pasti. Harus kau pahami juga hidup kita dengan penjajah itu. Mereka dan kita berbeda juga, tetapi malah menghancurkan. Persepsi beda yang seperti apa? Walaupun keadaan mendesak, kita harus bertindak." Kali ini, Arjuna membungkam ucapan.

Kedua remaja itu hanya bergeming, setelah sekian menit beradu urat leher. Mereka sama-sama keras dalam memertahankan argumentasi, karena segalanya yang akan dilakukan, berdampak pada orang banyak.

Derasnya air hujan semakin bertambah tingkat volumenya, menciptakan beberapa genangan air di sepanjang pemukiman barak, dan menghadirkan nyamuk-nyamuk berdatangan dari mana saja.

Arjuna pun tetap bergeming, dia menoleh menuju sang sang sahabat yang telah menutup mata dengan posisi duduk. Tepat di depan teras, kedua pemuda itu beradu pertanyaan yang datang tanpa ada jawaban.

Ternyata, memimpin orang banyak itu sangat susah. Apalagi, di sekitar kehidupan, telah ada yang tidak menerima segala gagasan. Arjuna merasa kalau semua pendapatnya sia-sia. Saran telah diberikan, dan membuatnya mentah untuk kembali bersuara.

Bersambung ...

Baret Merah (Kekejaman Tentara Jepang Yang Meluluhlantakkan Asahan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang