Bab 28 Sang Petarung

23 2 0
                                    

Setelah berdebat panjang dengan para sahabat, kini saatnya Arjuna menjadi bagian pertahanan untuk wilayah Simpang Kawat, Hessa dan Sipaku. Dengan dibonceng oleh Lettu Ahmad Nurdin Lubis, mereka melintasi jalan awal dan bergerak keluar dengan segera.

Bayangan kabut putih mewarnai wilayah perkampungan hingga jalan lintas. Selepas kepergian yang meninggalkan duka mendalam untuk Topan dan Ibrahim. Akhirnya mereka terpisah dari sahabat terbaiknya ketika kecil.

Merelakan adalah hal yang lumrah dilakukan ketika masa genting, tetapi kali ini lebih kepada kepergian dengan konsep kembali atau mati. Alasan-alasan demikian memicu keributan di wilayah Bandar Pulau, perihal kepergian sahabat yang bukan karena kehendak dan keinginan masing-masing kedua belah pihak.

Dengan membawa tas ransel, Topan pun bergerak keluar dari dalam rumah sebagai tempat peristirahatan. Langkah kaki yang laju, membawa remaja itu menjadi pusat tatapan para masyarakat sekitar.

"Topan, kau mau ke mana?" tanya Ibrahim.

"Aku akan keluar dari wilayah ini. Aku akan menyusul Arjuna," pekik Topan.

"Pan-Pan, jangan lakukan itu. Kita masih butuh orang di sini. Tolong jangan keras kepala," pinta Ibrahim dengan penuh harap.

"Aku tidak bisa membiarkan Arjuna berjuang sendiri dari orang kita. Aku tidak percaya dan pasti akan ada kejadian besar menerpanya," sergah Topan.

"Semua yang kau pikirkan tidak benar, karena kita masih punya pimpinan di sini. Ada Bapak Bupati Abdullah, Lasykar dan Staf Pemerintahan. Tolong jangan buat malu, kita dididik bukan untuk cengeng."

Mendengar ucapan itu, Topan semakin kesal. Tanpa mampu menjawab, dia kembali berjalan dan melintasi jalanan. Terik matahari meredup seketika, memboyong rintik hujan dan membasahi wilayah Bandar Pulau.

Hujan lokal hanya terjadi di sana, membuat kepergian itu seakan menyisakan duka nestapa. Kemudian Ibrahim pun berlari ke depan sang sahabat, dia mencegah kepergian itu.

"Pan, berhenti!" pekik Ibrahim.

"Aku akan menjemput Arjuna, orangtuanya telah mengatakan padaku untuk dapat menjaganya sampai kapan pun."

"Biarkan dia berjuang di lain daerah, kita bertahan di sini aku mohon. Kalau kau tetap tidak mau mendengar, kita satu lawan satu di sini," tantang Ibrahim.

Mendengar ucapan sang sahabat, Topan pun menyibak tas ransel di pundak dan membuangnya di samping badan. Hujan yang semakin ganas, membawa kekesalan bertambah membara.

Dengan ilmu silat yang pernah mereka pelajari berdua, Topan dan Ibrahim pun ingin unjuk kebolehan.

"Maju, kamu," kata Topan.

Ketika Ibrahim maju dua langkah, pukulan keras telah diberikan mengenai lawan. Topan juga memukul mulut sang sahabat hingga mengeluarkan darah.

Karena tidak menerima kekalahan, Ibrahim memukul kembali bibir Topan hingga bergeser dua langkah ke belakang. Para warga yang masih ada di sekitar, memerhatikan kedua remaja itu.

Para masyarakat tidak berani melerai, karena mereka bisa mau menjadi makanan lembut untuk pukulan keras dari kedua tentara didikan Belanda itu.

"Mereka kenapa bertarung?" tanya seorang pria paruh baya, namanya Kasman.

"Aku tidak tahu, mungkin karena Topan enggak terima kalau sahabatnya pergi dari sini," papar seorang lelaki berkumis tipis.

"Kenapa masih dilihatin, kalian lerai mereka. Kasihan pada berdarah seperti itu mulutnya," sambung Kasman.

"Ah, aku enggak berani. Kau sajalah. Lagian ... mereka sama-sama keras kepala," pungkas Rusli.

Mendapati hal tersebut, seorang lelaki yang berada di tepian tenda darurat berlari menuju ruangan. Dengan langkah laju, dia menemui para lasykar dan staf pemerintahan yang masih bercokol.

"Assalammualaikum ...," sapa lelaki itu di ambang pintu.

"Wa'alaikumsallam ... silakan masuk, Pak," jawab seorang pimpinan dari dusun—pemilik rumah yang sekarang dihuni oleh mereka.

"Begini, Pak. Di luar sana telah ada perkelahian," jawabnya sangat takut.

"Siapa yang berkelahi?" tanya pimpinan dusun.

"Topan dan Ibrahim, mulut mereka sampai berdarah."

"Haduh! Kenapa lagi sama mereka. Kalian lerai mereka sekarang," suruh Bapak Bupati Abdullah, dia pun mengembuskan napas panjang.

Orang yang menjadi suruhannya pun keluar dan berlari sangat kencang. Tepat di tengah perkelahian, kedua remaja itu sudah sama-sama mengeluarkan darah di bagian mulut dan hidung.

Tidak hanya itu, Ibrahim sudah terkapar di tanah akibat kalah tarung pada Topan.

"Cukup! Hentikan!" teriak para lasykar yang datang sedikit terlambat.

Tanpa menjawab sama sekali, Topan pun kembali mengambil tas ranselnya di samping kanan, lalu dia meletakkan tas itu di pundaknya.

Sementara Ibrahim, meringis dan menyibak darah yang keluar dari hidungnya. Dengan posisi badan terjatuh, terkena rintik hujan yang mulai ganas. Para jajaran dan lasykar membangkitkan Ibrahim, mereka membuat posisi badan remaja itu menjadi berdiri sedikit jongkok.

"Apa yang kalian lakukan! Suasana lagi genting malah buat masalah. Seperti anak kecil," pungkas lasykar saat itu.

"Kalau saja mereka tidak datang, habis kau di sini." Menggunakan jemari, Topan menunjuk sahabatnya.

"Cukup! Kalian berdua, masuk sekarang!" bentak lasykar dalam memberikan perintah.

Topan menarik napas panjang, dia measuki ruangan yang telah dipenuhi beberapa pimpinan perang dalam membahas penyusunan strategi melawan pasukan Belanda.

Dengan bantuan lasykar dan beberapa jajaran, Ibrahim berjalan pincang memasuki rumah. Kehadiran mereka berdua membuat bupati kala itu tidak bisa berkata. Karena keduanya memang sama-sama keras kepala. Setelah mengganti pakaian, Topan pun mendudukkan badannya di pojok ruangan.

"Ibrahim, apa yang kalian lakukan di luar sana?" tanya bupati sangat lembut.

"Saya ingin mencegah orang gila itu, tetapi dia malah menantang saya untuk bertarung," jawab Ibrahim.

"Dan kamu mau?" sambung bupati.

Tanpa menjawab, Ibrahim hanya mengangguk perlahan.

"Kalau kamu mau, berarti sama-sama gila. Tidak usah saling menyudutkan. Kita satu keluarga di sini, kalau ada apa-apa bilang. Jangan ada perselisihan, karena tujuan kita bukan perang sipil, tetapi mengalahkan penjajah." Panjang kali lebar bupati menjelaskan.

Seketika, dengan berat hati Ibrahim melangkah menemui sahabatnya yang hanya bergeming tanpa suara. Dia pun menyodorkan tangan kanannya.

"Maafkan aku," ucap Ibrahim.

Mendengar ucapan itu, Topan berpaling. "Enggak perlu."

Topan menyingkirkan tangan kanan sahabatnya itu.

Mendapati hal tersebut, lasykar dari barisan pertahanan datang menemui. Kemudian dia menjongkokkan badan di hadapan Topan.

"Pan, kita satu keluarga di sini. Tidak ada yang mau kehilangan, tetapi ini keadaan," jelas para lasykar.

Sementara Topan masih terdiam, lalu dia menyibak air matanya.

"Kau menangis?" tanya Ibrahim.

"Enak aja, aku kelilipanlah. Mana boleh tentara menangis," pungkas Topan mengalihkan topik.

Tanpa mampu menjawab, Ibrahim pun memeluk sahabatnya yang terlihat sangat sedih itu. Mereka sudah seperti abang dan adik saat ini. Meskipun berbeda orangtua, tetapi bumi pertiwi adalah ibu mereka.

"Maafkan aku, Him," kata Topan.

"Udah, kita sama-sama salah. Sekarang kita doakan saja Arjuna baik-baik saja di sana. Karena di sini pun, kita tidak tahu entah hidup atau mati ketika melawan penjajah."

Mendengar ucapan itu, seisi ruangan bergeming dan tak ada yang mampu bersuara.

Bersambung ...

Baret Merah (Kekejaman Tentara Jepang Yang Meluluhlantakkan Asahan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang