Bab 18 Mimpi Buruk

15 2 0
                                    

Pagi telah tiba, setelah subuh mulai menyingsing, memboyong sang fajar dari ufuk Timur. Kehadiran cahaya matahari mewarnai kota, memberikan kehangatan selepas hujan.

Ada sebuah kenyataan luar biasa yang patut direnungkan, yakni bahwa setiap manusia adalah sebuah rahasia dan misteri besar baik dalam nyata maupun tak kasat mata.

Setiap keinginan kita memasuki dunia semu tersebut, dan pada waktu yang salah, dengan bayang-bayang gelap beranjak keluar dari dalam tubuh sejurus menuju himpitan-himpitan keberadaan mereka.

Makhluk yang dicipta sebelum manusia ada di dunia, seakan membuat punuh indra pernapasan. Kendati logika dan akal sehat mengkaji perihal penglihatan menakutkan yang mampu ditangkap mata telanjang, semua masih misteri tersendiri.

Tak hanya menyingkap seputar keberadaan mereka, tetapi misteri kehidupan dua alam yang kadang terlupakan oleh akal sehat.

Lautan misteri terpatri dan membeku selamanya, sementara semburat jingga arunika tak mampu menjilat permukaan bumi semesta, dan kita hanya berdiri di tepiannya, tidak mengerti meskipun jiwa gelenyar nyaris menyimpan kekacauan logika.

Yakni halusinasi, tak berarti, tetapi memiliki nyawa dalam menyelidiki setiap hati. Karena telah lama tidur di sebuah teras barak, sebuah bayangan pun datang dari samping makam.

Tempat sakral yang kemarin menjadi perbincangan khalayak ramai, memboyong sebuah peristiwa dari Arjuna—remaja yang sejak malam meratapi hilangnya sahabat dari dunia ini.

"Arjuna, bangun. Kau tidak mau ikut denganku?" tanya seseorang yang entah dari mana datangnya.

Lamat-lamat, Arjuna membuka kedua netranya. Mencoba menatap dalam samar, seraya merumuskan pertanyaan secara bertubi-tubi dalam benaknya. Tepat di hadapan lelaki bercelana panjang itu, Iskandar telah hadir dan mendudukkan badan.

Secara spontan, Arjuna membangunkan badannya, lalu dia menoleh ke kanan dan ke kiri. Di lokasi tersebut, sudah ada Topan dan Ibrahim. Namun, mereka berdua tidak bangun dengan adanya sang sahabat.

Karena merasa sangat penasaran, Arjuna pun mendudukkan badanya tepat berhadapan dengan sang sahabat.

"K-kau, apakah kau masih hidup?" tanya Arjuna terbata-bata.

Tanpa menjawab, Iskandar pun mengangguk dua kali.

"Kenapa kau tidak bilang kalau mau pulang. Kan, aku bisa saja cari makanan yang enak untuk menyambutmu. Aku kira, kau benar-banar telah mati," sergah Arjuna.

Dengan sangat cepat, Iskandar pun menyentuh tangan kanan sahabatnya. "Apakah kau enggak mau ikut dengan aku?"

"Ke mana, Iskandar?" tanya Arjuna penuh selidik.

"Ayolah, kita jalan-jalan ke hutan."

Iskandar pun beringsut pergi lebih dulu, mereka sama-sama berjalan melalui area yang biasa membawa keduanya mencari hewan dan sayuran untuk dijadikan makanan.

Akan tetapi, yang membuat Arjuna sangat heran adalah—sang sahabat berubah menjadi lebih pendiam sejak dinyatakan telah meninggal dunia. Kemudian mereka berhenti di sebuah pohon dengan ukuran lumayan besar.

Arjuna pun menatap pohon itu, dia mendongak dan membayangkan sesuatu hal. Tumpukan batu yang sama persis dengan tempat duduk ketika Iskandar mengembuskan napas terakhirnya di Labuhan Ruku, sekarang hadir lagi.

Karena merasa sangat aneh, remaja berusia dua puluh enam tahun itu celingukan. "Iskandar, kau di mana?"

Satu panggilan tak terjawab, sahabatnya telah pergi dan entah ke mana. Kemudian, dari belakang badannya, datang tiga ekor hewan buas. Tiga hewan itu adalah harimau kumbang, menatap penuh tajam, dan bergerak mengelilingi Arjuna.

'Harimau, mau apa mereka menemuiku!' celetuk Arjuna bersenandika.

Dengan menggunakan kayu kecil di bawah tapak kaki, remaja bermata cokelat itu pun mengusir ketiga hewan tersebut.

"Hus! Pergi kau! Pergi," teriak Arjuna.

Akan tetapi, ketiga hewan itu tidak mau pergi, malah semakin ganas dalam menatap. Tiba-tiba, dari belakang badan, harimau pun menerkam Arjuna dan membuatnya terjatuh.

"Tidak ...!" teriak Arjuna seraya mencoba untuk menyingkirkan ketiga hewan buas itu.

Karena pertarungan tidak seimbang, tiga lawan satu, Arjuna berteriak kesakitan dan sebelum akhirnya.

"Arjuna! Kau tidak apa-apa?" Topan dan Ibrahim mendekat dari posisi kanan dan kiri.

Keringat keluar membasahi badan, membuat Arjuna merasa sangat takut dan gemetar hebat sekujur badan. "Aku hanya mimpi!"

"Pasti tidak baca doa kau ketika tidur," celetuk Ibrahim.

"Hus! Teman lagi ketakutan malah diejek," sergah Topan.

"Ah, anak laki-laki masa takut sama hantu. Emang mimpi apa kau, Arjuna?" tanya Ibrahim selepas meledek.

Seketika, Topan pergi memasuki barak, lalu dia kembali membawa segelas air minum. Kemudian, remaja berkepala botak itu menyodorkan minum yang dia bawa.

"Minum dulu, Arjuna," kata Topan.

Dengan napas ngos-ngosan, Arjuna pun meneguk air putih hingga tandas. Mimpi yang paling seram seumur hidup masih belum bisa dia singkap. Namun, batinnya percaya, kalau ada hal buruk yang akan menimpah mereka.

Topan pun menoleh sesaat, dia ingin mendengar penjelasan sang sahabat perihal apa yang terjadi.

"Aku mimpi, Iskandar kembali hidup," cetus Arjuna spontan.

Mendengar cerita berbau mistis dan horor, kedua remaja itu sangat senang. Mereka pun mendekatkan posisi badan, merapat hingga Arjuna merasa sangat sempit.

Menggunakan tangan kanan dan kiri, dia mencoba untuk menyingkirkan badan sahabatnya. "Jangan terlalu dekat."

"Baik-baik. Lalu, apa selanjutnya yang Iskandar katakan?" tanya Topan penuh selidik.

Arjuna menarik napas berat. "Aku enggak tahu dia mau ngomong apa. Yang pasti, perasaan aku, dia hadir di teras ini dan mengajak untuk ke hutan. Kemudian kami pergi, tiba-tiba dia hilang."

"Waduh ... emang kau enggak curiga kalau Iskandar udah meninggal?" sambar Ibrahim.

"Awalnya aku udah bilang, kenapa dia bisa hidup lagi. Tetapi katanya, dia enggak meninggal."

"Terus-terus, apalagi yang kalian lakukan di hutan?" tanya Topan lagi.

"Dari belakang badanku, muncul harimau kumbang. Tetapi ukurannya lebih besar. Eh, dia menerkam badanku dan mencabik-cabik bagian perut hingga wajahku. Aku teriak, ternyata hanya mimpi." Selepas menjelaskan, Arjuna menoleh kanan dan kiri.

"Kalau kata orangtuaku, ketika ada hewan buas yang menerkam kita, akan ada bahaya ke depannya. Akan tetapi, kalau aku bilang, itu hanya bunga tidur aja," papar Ibrahim.

Mendengar penjelasan itu, Arjuna pun menyambar. "Aku juga berharapnya begitu. Karena kita tidak mungkin terus-terusan hidup dari kungkungan penjajah. Semoga ini semua sirna, dan kita hidup aman."

Tidak berapa lama, terdengar teriakan dari dalam barak.

"Tolong ... tolong ...."

"Itu seperti suara Bu Lastri, apa yang terjadi di dalam sana?" tanya Topan.

"Enggak tahu! Ayo, kita lihat," ajak Arjuna.

Ketiga remaja itu pun berlari dan memasuki ruangan. Namun, pusat suara tidak datang dari ruang tamu, melainkan berasal dari ruangan—tempat di mana Ustaz Mustafa menulis surat.

Kemudian, Bu Lastri telah menangis histeris di sana seraya memeluk suaminya. Ketiga remaja itu tercengang di ambang pintu. Mereka pun mendapati pemandangan tak lazim, sebuah cairan berwarna merah menyeringai luas di meja dan lantai.

Akibat dari peristiwa itu, orang-orang yang tadinya masih terlelap, bangun dan saling berhimpitan memenuhi ambang pintu.

"Apa yang terjadi, kenapa dengan Ustaz Mustafa." Orang-orang pun menjadi sangat bising dan ricuh menggema di ruangan, ditimpali dengan tangisan dari Bu Lastri.

Bersambung ...

Baret Merah (Kekejaman Tentara Jepang Yang Meluluhlantakkan Asahan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang