Bab 23 Tiba Di Bandar Pulau, Asahan

9 2 0
                                    

Menjelang subuh, kala itu tidak ada arloji sebagai penunjuk waktu. Jangankan jam tangan, seruan azan saja tidak terdengar sama sekali. Namun, karena sudah terbiasa bangun pada saat yang sama setiap harinya, masyarakat pun terbiasa dan terbangun dari tidur mereka.

Menatap dalam samar, setelah tertidur beberapa jam. Arjuna dan sahabatnya berjalan menuju tepian sungai dan ingin mengambil air wudu. Setelah subuh, barulah tampak nyata, kalau air sungai itu sangat jernih bagai kaca.

Sangat segar, dan membuat siapa pun merasa ingin mandi di sana. Karena telah lama tidak mandi, Arjuna pun akhirnya memutuskan bukan sekadar mengambil air wudu saja.

Ketiga remaja itu mandi dan membersihkan badan, barulah mengambil wudu dan ingin melaksanakan salat subuh. Tanpa tahu di mana arah kiblat, mereka mengikuti kata hati dan semoga Tuhan memberikan pembenaran akan niat baik mereka.

Sebagai imam salat, Bapak Bupati Abdullah telah berada di depan mereka. Seluruh lapisan masyarakat baik anak-anak dan remaja, mengikuti salat tersebut hingga selesai. Tanpa menggunakan sajadah, mereka telah membentang daun pisang sebagai alas.

Dua rakaat wajib yang diharuskan umat muslim kerjakan saat ini, sebagai bentuk rasa syukur atas nikmat subuh dan nikmat udara yang dapat dihela secara gratis. Selepas salat secara amatir, mereka tidak berzikir dan hanya berdoa sekenanya saja.

Takutnya, jika terlalu lama berada di lokasi itu, dapat diketahui oleh koloni Belanda dan mereka akan tertangkap semua. Satu persatu masyarakat bersiap-siap, menjelang matahari datang dan memboyong semburat arunika.

"Assalammalaikum," sapa Bapak Bupati Abdullah.

"Wa'alaikumsallam ...," respons para warga yang berhadir.

"Apakah kita bisa melanjutkan perjalanan? Kalau kelamaan di sini, takutnya akan diketahui oleh koloni Belanda," ujar bapak bupati.

"Baik, Pak, sebaiknya kita pergi dari sini dengan segera," sergah seorang warga yang menggendong balitanya.

"Dengan bacaan basmalah, semoga kita selamat sampai tujuan."

"Amin ...," sahut para warga serempak.

Mereka pun kembali melalui jalan setapak dan menyibak rerumputan, semak belukar, dan hutan. Tempat itu belum pernah mereka datangi sebelumnya, pengalaman baru pun didapatkan hari ini.

Pengungsian yang dilakukan membuka cakrawala baru para warga sipil. Selama hidup mereka, tidak pernah tahu arah jalan tersebut dapat membawa ke sebuah tempat. Namun, berkat Bapak Bupati Abdullah, mereka pun hanya mengandalkan secarik peta untuk menerka.

Satu jam telah berlalu, para warga yang menahan lapar dan haus, masih berjalan sepanjang hutan tersebut. Jangankan nama jalan, untuk sekadar tahu daerah yang mereka pijak saja tidak ada yang bisa menjelaskan di mana saat itu.

Mereka hanya meminum air sungai ketika sebelum pergi, bahkan ada yang sengaja membawa air tersebut di dalam sekantong plastik dan mengikatnya dengan karet gelang.

Air sungai memang masih layak untuk diminum mentah, karena sangat jernih dan membuat siapa pun akan melakukan hal yang sama. Deraian keringat membasahi badan. Baju satu, kering akibat panas dan basah karena keringat.

Di tengah perjalanan, tidaklah semulus perkiraan. Karena orang-orang tua berusia senja, memiliki stamina yang sangat terbatas. Sehingga, mereka mudah lelah dan warga harus menyesuaikan gerak gontai para pejuang merdeka itu.

Tiba-tiba, seorang lelaki yang sudah berusia seja membatingkan badannya di tanah. "Astaghfirullah!"

Seluruh pasang mata tercengang mendapati hal tersebut, hiruk-pikuk tapak kaki mendadak hening dan memberhentikan langkah.

Baret Merah (Kekejaman Tentara Jepang Yang Meluluhlantakkan Asahan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang