Bab 08 Menerima Gagasan

27 4 0
                                    

Belum lama menutup kedua bola mata, sebuah seruan azan terdengar dari dalam barak. Meskipun tidak terlalu kuat, untuk mengantisipasi agar para penjajah tidak mendengar.

Setelah malam mulai menyingsing, terbitlah sang fajar yang akan memerlihatkan semburatnya. Beberapa orang telah menggerompok di dalam ruangan, sepertinya akan melaksanakan salat subuh berjamaah yang dipimpin oleh Ustaz Mustafa.

Seketika Iskandar Muda membuka mata. Dalam samar, dia menoleh sang sahabat yang masih meringkuk di sebuah kursi terbuat dari rotan. Remaja itu adalah Arjuna, yang sedari tadi malam berdebat panjang perihal gagasannya ditolak mentah-mentah.

Sebuah sentuhan pun mendarat di pundak lelaki berusia dua puluh enam tahun itu. "Jun, bangun. Sudah pagi, apakah kau tidak salat?"

Mendengar ucapan itu, Arjuna mencoba untuk membuka kedua bola matanya. Secara saksama, remaja yang mengnakan pakaian serba hijau itu menatap dalam samar.

"Apakah sudah pagi, Dar?" tanya Arjuna sekenanya.

Lawan bicara pun mengangguk dua kali, kemudian dia membangkitkan badan seraya bergeming di samping Arjuna. Lelaki itu menoleh sekilas, sebelum akhirnya menyentuh pundak sahabatnya lagi.

"Sudah, buruan. Entar ketinggalan," sambung Iskandar.

Arjuna pun mengangguk dan mengikuti sang sahabat menuju ke dalam ruangan. Mereka bersama-sama mengambil air wudu dan ingin bergabung pada Topan, Ibrahim, dan yang lainnya.

Ruangan hanya ada kaum Adam saja, karena para wanita hanya melaksanakan salat di dalam kamar, bahkan ada yang memakai ruangan tersendiri. Akibat sempitnya barak itu, membuat mereka tidak ikut para lelaki di sana.

"Allah ... huakbar," ucap Ustaz Mustafa—sang imam salat.

Akhirnya, dua rakaat telah selesai. Mereka saling berjabat dan mencium punggung tangan ustaz—selaku orang yang dianggap sebagai petuah atau pemberi nasihat. Mereka pun masih mendudukkan badan sangat rapi, tanpa bergeser, dan tatapan sejurus pada si ustaz.

"Apakah kalian sudah berdamai perihal pembahasan tadi malam?" tanya Ustaz Mustafa.

Arjuna dan Ibrahim saling tukar tatap, mereka pun merasa seolah menjadi pusat penglihatan orang-orang di dalam ruangan tersebut.

"Saya tidak ada masalah apa-apa, Ustaz. Karena, saya tidak mau memperpanjang perdebatan saja," sergah Arjuna dari posisi tengah.

Kemudian, Ibrahim pun menyodorkan tangan kanannya. "Maafkan aku, karena tadi malam sudah hampir baku hantam denganmu."

Dengan senang hati, Arjuna pun meraih sodoran tangan sahabatnya sejak kecil. Lalu dia menjawab, "aku sudah memaafkan, karena kita hanya perlu kekompakan saja di sini. Berasal dari suku yang berbeda, bukan pembeda untuk kita."

"Setelah aku pikir-pikir, kalau yang kau ucapkan ada benarnya, Juna. Kalau kita menunggu sampai situasi aman, mau sampai kapan kita bebas dari belenggu seperti ini," pungkas Ibrahim.

Mendengar pengakuan itu, Arjuna pun hanya merunduk. Siluet remaja berbadan atletis itu sekadar membuang tatapan menuju karpet yang terbuat dari plastik, sebagai tempat untuk duduk dan salat subuh berjamaah.

Akibat perlakuan sang sahabat tadi malam, Arjuna merasa mentah dan tidak mau lagi bersuara dalam pembahasan apa pun. Semangatnya sudah menciut, bagai kerupuk yang tersiram air.

Sementara Ustaz Mustafa sudah menjelaskan, mereka pun mendengarkan dan memahami apa yang telah dibahas. Lelaki sebagai penasihat itu mengangkat gagasan Arjuna, dia memang delapan puluh persen setuju dengan apa yang dikatakan oleh Arjuna.

Akan tetapi, demi menjaga solidaritas dalam pertemanan, Ustaz Mustafa tidak langsung mencetuskan ucapan setujunya malam itu. Dia menunggu waktu yang tepat, agar kedua belah pihak sudah merasa dingin dan tidak ada emosi sama sekali.

"Arjuna, apakah kau tidak mau membahas ini lagi?" tanya Ustaz Mustafa.

Tepat di tengah formasi, Arjuna pun membungkam. Remaja bermata cokelat itu seakan melamun dan tidak mendengar secara saksama ucapan-ucapan di sekitar.

Karena Ustaz Mustafa telah bertanya tanpa jawaban, Topan pun menyiku lengan sahabatnya.

"Aduh! Ada apa, Pan? Kok, kamu menyiku segala?" tanya Arjuna bertubi-tubi.

Dengan wajah seperti orang bodoh, Topan pun meringis geli. "Dasar! Ustaz bertanya sama kamu. Tetapi malah dikacangi," pungkas Topan.

Seketika Arjuna mengembalikan fokusnya dengan menatap lawan bicara. "I-iya, Ustaz. Tadi bertanya tentang apa, ya?"

Karena salah tingkah, Arjuna menggaruk kepalanya beberapa kali. Untuk mengulang pertanyaan, para sahabat tidak ada yang bersedia. Subuh itu, mereka pun merasa sangat aneh dengan sikap lelaki yang tadi malam sangat bringas.

Kendatipun yang menjadi pikiran adalah, Arjuna hanya memutar kilas balik perihal kedua orangtuanya. Tewas di tangan pasukan Belanda, dan terjadi sudah puluhan tahun lalu. Sementara ibunya juga tewas, akibat perlawanan yang diberikan.

Kala itu, ibu kandung Arjuna adalah wanita paling cantik di Desa Sei Dua. Sehingga, banyak para lelaki berkebangsaan Belanda itu ingin menggagahinya. Namun, karena sang ibu sudah punya suami, ayah kandung Arjuna pun melakukan perlawanan hingga tewas di tangan para penjajah.

Akan tetapi, setelah kedua orangtua Arjuna tewas, mereka tidak membunuh anaknya yang masih kecil itu. Pada usia delapan tahun, Arjuna sudah ikut menjadi budak dan kemudian diambil paksa oleh tante dan pamannya.

Naas juga terjadi pada tante dan paman Arjuna, karena keduanya tewas pada pertempuran bela negara untuk memperebutkan wilayah Desa Sei Dua.

"Ustaz, apakah kita bisa beralih topik. Rasanya, ketika membahas perihal ini, kepala saya pusing," papar Arjuna menjelaskan.

Ustaz Mustafa pun mendekatkan posisi duduknya, lalu dia menyentuh pundak remaja yang memiliki perawakan persis dengan almarhum ayahnya.

Lelaki paruh baya itu pun berkata, "Arjuna, kau sama persis dengan ayahmu. Memiliki jiwa pemberani, dan berwibawa."

"Tetapi saya tidak setangguh dia, karena masih belum bisa mengontrol emosi," jawab Arjuna.

"Mungkin karena kau masih labil, sehingga emosi itu belum bisa dikontrol dengan baik," sergah Ustaz Mustafa.

"Saya pun kenal dengan ayahmu, Arjuna. Beliau adalah orang yang sangat pemberani," sambar lelaki di samping Topan.

Arjuna adalah anak yang terlahir dari suku Jawa asli. Kedua orangtuanya dibuang ke Sumatra sejak Arjuna masih di dalam kandungan. Pelaku dari itu semua adalah pasukan tentara Belanda, sehingga mereka menetap di pesisir Kota Tanjung Balai.

"Baiklah, besok saya akan temui Bupati Abdullah. Semoga, beliau mau menemui saya dan memberikan saran untuk kita melangkah," ujar Ustaz Mustafa.

Mendengar ucapan itu, Arjuna pun merasa sangat senang. Bukan karena gagasannya diterima, tetapi lebih kepada keselamatan menyangkut nasib orang banyak.

Arjuna hanya tidak mau melihat anak-anak tidak berdosa yang akan tewas karena penjajah Jepang. Selebihnya, kalau memang harus tertangkap juga, yang pasti mereka sudah pernah mencoba untuk menjauh dari para manusia berhati iblis itu.

Malam itu, keputusan sudah bulat. Namun, tinggal menunggu Bupati Abdullah untuk menerima, atau malah berteguh pendapat untuk tetap bertahan.

Pagi telah tiba, semburat arunika telah memboyong cahaya indah di Kota Tanjung Balai. Arjuna dan Topan pun ingin pergi dari lokasi barak sahabatnya. Karena sudah satu malam, mereka tidak kembali.

Bersambung ...

Baret Merah (Kekejaman Tentara Jepang Yang Meluluhlantakkan Asahan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang