Bab 30 Awal Untuk Akhir

45 2 0
                                    

Akhirnya pada tanggal 10 Agustus 1947, terjadi pertempuran tidak seimbang antara pasukan Belanda dengan pasukan Tentara Rakyat Indonesia dengan mengambil sebagai Front Sipaku, tepatnya jembatan sungai Hessa yang terletak di Dusun V B Desa Simpang Empat.

"Lapor, Komandan!" pekik salah seorang tentara, dia adalah pasukan kopassus mengenakan baret berwarna merah.

"Apa yang terjadi?" tanya Komandan Lettu Ahmad Nurdin Lubis.

"Pasukan Balanda telah berada di Simpang Empat, sepertinya mereka akan mengarah ke sini dengan cepat."

"Baiklah, kerahkan semua jajaran dari setiap sudut dan kita akan pertaruhkan nyawa untuk negara ini." Komandan Lettu Ahmad Nurdin Lubis memberikan perintah.

"Laksanakan!"

"Laksanakan!" sergah Komandan Lettu Ahmad Nurdin Lubis.

Yang tadinya sebagian perajurit di depan kantor pusat pelatihan, berlari menuju ke perbatasan wilayah. Belanda telah menembak dengan mobil konvoinya dan memutar ke sana dan ke mari. Dengan berlindung di semak-semak, para kopassus pun menembak dengan senapan tanpa suara.

Satu persatu pasukan Belanda tewas akibat perang itu. Namun, para warga yang ikut membela daerah juga banyak yang telah terluka dan akhirnya tewas. Perang besar-besaran terjadi hari ini.

"Attack ... destroy them all. Don't leave anything left ...," teriak pimpinan koloni Belanda.
Artinya: Serang ... hancurkan mereka semua. Jangan sampai ada yang tersisa ....

Pasukan tentara di tanah air banyak yang terluka. Kemudian, Lettu Ahmad Nurdin Lubis dan Arjuna Perwira datang dari belakang barisan pertempuran. Mereka menembak dengan gaya dan aksi masing-masing.

Kelincahan yang diperlihatkan oleh Komandan Lettu membuat pertempuran semakin bringas. Tidak main-main, mobil dari pasukan Belanda telah berlubang terkena senjata dari tentara Indonesia.

Tidak berapa lama, datang lagi pasukan tentara Indonesia yang berada di wilayah perbatasan Hessa dan Sipaku. Namun, Belanda berhasil memukul mundur secara perlahan barisan tentara hingga ke Sipaku.

Kehadiran para tentara yang baru saja tiba tidak membuat Belanda menyerah, mereka tetap berjalan sambil menembak siapa pun. Kekejaman terjadi, tumpah darah serta kematian para pembela negara tak mampu bertahan.

"Komandan! Apakah kita akan tetap melawan mereka?" tanya tentara yang masih bertahan saat itu.

"Kita harus tetap melawan mereka!" pekik Lettu Ahmad Nurdin Lubis.

"Siap, Komandan!" sergah mereka.

Lama-kelamaan, posisi mereka pun beralih menjadi ke Sipaku. Tepat berada di jembatan sungai yang mengalirkan air sangat jernih, pasukan Lettu kewalahan. Para tentara banyak yang tewas, serta masyarakat tidak bisa bertahan hidup lagi.

Tidak berapa lama, seorang kopassus yang berada di samping Komandan Lettu Ahmad pun tertembak di bagian kepalanya.

"Ach ...!" teriak lelaki yang mengenakan baret berwarna merah itu.

"Just give up on you guys, or we'll kill everyone here without a trace."
Artinya: Menyerah saja kalian, atau kami akan membunuh semua orang di sini tanpa sisa.

"Komandan, apakah kita akan menyerah pada mereka saat ini?" tanya Arjuna lagi.

"Tidak! Kita akan tetap melawan mereka hingga titik darah penghabisan," sergah Lettu Ahmad Nurdin Lubis.

Terik matahari mulai menyingsing, senja pun akhirnya memboyong suasana sedikit gelap. Satu persatu korban berjatuhan. Tewasnya para penduduk dan hampir delapan puluh persen. Kemudian akibat tewasnya tentara milik Indonesia, membuat pertempuran menjadi sedikit kacau.

Strategi telah dilakukan, akan tetapi tidak satu pun membuahkan hasil. Awalnya, Komandan Lettu Ahmad Nurdin Lubis percaya akan menang.

Karena para tentara Indonesia telah berhasil membuat mereka sangat ketakutan. Namun, sang waktu berkata lain.

Selama satu jam barisan maut pimpinan Letnan Satu Ahmad Nurdin Lubis melakukan perlawanan sengit dengan semboyan "Merdeka Atau Mati" yang telah mengambil korban dari pihak tentara rakyat yang gugur sebagai pahlawan perang kemerdekaan.

"Serang ...!" teriak Lettu Ahmad Nurdin Lubis.

Para tentara yang masih tersisa tetap menembak, hingga suatu ketika, Arjuna pun terkena pluru dari pasukan Belanda.

Dor!

"Ach ...," teriak Arjuna.

Karena pluru senapan hanya tertancap di bagian kaki remaja berusia dua puluh enam tahun itu, membuatnya meringis kesakitan dan badannya pun tergeletak di jalan.

Tepat di tengah barisan pertahanan, Arjuna mulai samar dalam menatap seisi dunia. Dari samping badan, Lettu Ahmad Nurdin Lubis datang menghampiri.

"Arjuna! Apakah kau baik-baik saja!" pekik Komandan Lettu Ahmad.

"Saya baik-baik saja, Komandan. Berikan senjata saya, agar saya kembali membantai mereka!" seru Arjuna dengan sisa-sisa tenaga.

"Tidak! Kau harus segera mengakhiri perlawanan ini, kita akan pergi dari sini," ajak Komandan Lettu Ahmad Nurdin Lubis.

"Tidak, Komandan! Biarkan saya tetap melawan pasukan berhati iblis itu," jawab Arjuna, kemudian dia mengambil senjatanya dan kembali berdiri.

KOMANDAN LETNAN SATU YANG KALA ITU MENGENAKAN BARET MERAH, MEMAKAIKANNYA DI KEPALA ARJUNA SEBAGAI APRESIASI TERAKHIRNYA.

Tidak berapa lama, tepat di jantungnya, pluru senapan laras panjang kembali datang. Tanpa mampu berdiri lagi, Arjuna pun menjatuhkan senjata miliknya, dan membuat remaja itu terkapar di jalan lintas Sipaku.

Melihat kejadian tersebut, Komandan Lettu Ahmad Nurdin Lubis pun berdiri dan mengambil senjatanya lagi. Dia tetap menembak tanpa pengawalan. Namun, selang beberapa menit kemudian, tembakan pasukan Belanda mendarat tepat di jantungnya.

"Ach ...!" Lettu Ahmad Nurdin Lubis membantingkan badannya di samping Arjuna dan perajurit lain.
( S E L E S A I )

Epilog:

Hujan yang semakin ganas, mengguyur medan perang. Kala itu, pertempuran berakhir tragis dan menewaskan seluruh pasukan di Simpang Kawat hingga menuju jalan besar Sipaku.

Warga yang tersisa dari penjuru Bandar Pulau, Pulu Raja dan lainnya menghadiri pemakaman terakhir untuk para pejuang di Asahan.

Tentara Balanda meninggalkan lokasi setelah merebut kemenangan. Deraian air mata menghampiri Topan dan Ibrahim yang kala itu hadir di depan jenazah sahabatnya.

Dengan senyum di bibir, jenazah Arjuna merasa sangat tenang berada di penghujung cerita. Para warga tidak henti-hentinya menangis, berteriak, dan seakan tidak kuat melihat jasad tentara yang terbujur kaku.

Mereka berbaris rapi, di sepanjang jalan Sipaku dan sejak saat itu, diberikanlah nama (AREA) untuk wilayah pertempuran paling dahsyat yang pernah terjadi di wilayah Sumatra Utara.

Sebutan Sipaku Area telah resmi setelah Medan Area, karena kekejaman Belanda dalam memperlakukan warga sipil hingga para tentara.

Remaja itu berlari di tengah derasnya hujan, mengambil sebuah senapan yang sempat basah dan tidak dapat berfungsi kembali. Ketika beberapa jam yang lalu, senjata itu sempat dipakai oleh Arjuna dan Komandan Lettu Ahmad Nurdin Lubis dalam perang.

Peristiwa yang selama ini ditakutkan, ternyata terjadi dan membuat Arjuna tewas di tengah cakrawala bumi Pertiwi. Tangisan di tepi Horison, ketikan semburat merah mulai menyapa. Detik itu juga, para tentara dan Komando Pasukan Khusus dikebumikan.

Arjuna yang terlahir sebagai orang biasa, mendapat apresisasi untuk memakai BARET MERAH, milik Lettu Ahmad Nurdin Lubis, sebagai Dewa Pimpinan Perang di Era Koloni Belanda.

( M E R D E K A  A T A U  M A T I )

🎉 Kamu telah selesai membaca Baret Merah (Kekejaman Tentara Jepang Yang Meluluhlantakkan Asahan) 🎉
Baret Merah (Kekejaman Tentara Jepang Yang Meluluhlantakkan Asahan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang