Bab 20 Belanda Datang Lagi Bersama Mobil Konvoi

10 2 0
                                    

Makam yang masih belum kering, telah datang lagi berselang dua puluh empat jam. Keduanya sama-sama meninggal dunia akibat ketidakberdayaan melawan takdir. Ironi menyingkap perihal maut, bahwa ketika napas berada di ujung hela, insan bernyawa akan menemui ajalnya.

Cerita demi cerita berbalut menjadi sebuah kisah. Berjuta peristiwa terjadi begitu saja. Air mata, tumpah darah, hingga peluru senjata menembus jantung para manusia. Setelah daerah yang dihuni mensiarkan kemerdekaan, bukan menjadi kenyamanan dalam hati para masyarakat sipil.

Justru semakin membuat resah, gelisah, dan tidak tentu arah. Pasalnya, di pusat kota tengah terjadi bentrok antar warga dan beberapa penjajah yang kembali datang silih berganti.

Para penjajah si mata sipit telah pergi memang, kembali lagi si badan jangkung dengan otot lebih besar telah mendarat dengan mobil konvoinya.

Pagi itu, tepat di tanggal 30 Juli 1947. Pukul 11.00 WIB. bertepatan dengan bulan suci Ramadhan terdengar gemuruh suara pesawat Mustang dan kendaraan konvoi pasukan Belanda yang meraung-raung memasuki daerah Asahan.

Dengan menyebarkan selebaran-selebaran yang bersifat menghasut, memprovokasi dan mengancam serta menakut-nakuti rakyat di wilayah kota.

"Indonesia is not yet independent, Japan has given its power back to us at dawn. Then, you must obey and submit again to be our slaves." Beberapa orang tentara bersama pimpinan mereka ketika awal datang lagi, sekarang berjumlah lebih banyak dari biasanya.
Artinya: Indonesia belum merdeka, Jepang telah memberikan kekuasaannya kembali kepada kami tepat dini hari. Maka, kalian harus patuh dan tunduk lagi menjadi budak kami.

Para masyarakat sipil pun memekik di pinggir jalan setelah mendapati kabar itu. Mereka mengembuskan napas berat, kemudian mengambil selebaran yang bertuliskan bahwa: Indonesia kembali ke tangan Belanda.

Setelah membaca secara saksama tulisan tersebut, orang yang mengerti bahasa pun memberitahukan artinya kepada sekitar.

"Tulisan apa yang ada dalam kertas itu?" tanya wanita yang menggendong anaknya.

"Mereka mengatakan, kalau negara kita belum merdeka. Semua hanya isu belaka karena Jepang memindahkan kekuasaan tersebut pada Belanda kembali," papar seorang wanita remaja.

"Loh, bukannya ... beberapa hari yang lalu telah terdengar di radio proklamasi kemerdekaan. Mengapa bisa semua hanya sedakar isu?" tanya seorang pria, berusia sedikit senja, berjalan pun harus menggunakan tongkat.

"Tidak tahu, Pak. Yang pasti, kita tidak jadi merdeka. Belanda akan menguasai wilayah ini dan kembali ke peraturan awal mereka," celetuk remaja yang memegang kertas itu lagi.

Tanpa sengaja melintas di sepanjang jalan kota, Arjuna dan Ibrahim pun berniat ingin pergi ke tempat yang sudah lama tidak dia datangi. Setibanya di sana, banyak selebaran telah berserak dan seperti baru saja tersebar.

Sampailah selebaran itu di tangan ketiga remaja yang pernah menjadi militer didikan Belanda. Secara saksama, Arjuna menjongkokkan badan seraya mengambil kertas itu di jalan raya.

Tidak terdapat satu atau dua, karena selebaran telah tertiup angin, bergerak ke sana dan ke mari. Tulisan yang menggunakan bahasa Belanda, akan tetapi terdapat bahasa Jawa halus di bawahnya.

Isi dari selebaran itu adalah tentang pemindahan kekuasaan tentara Jepang untuk kembali ke tangan Belanda. Memberikan kekuasaan, dan kompeni mengklaim kalau penjajah bermata sipit itu menyerah tanpa syarat pada mereka.

Tertulis juga di barisan akhir. Bagi masyarakat yang tidak mau mengikuti peraturan baru dari Belanda, mereka akan menggempur dan siap bertarung senjata habis-habisan pada masyarakat Kota Tanjung Balai.

Baret Merah (Kekejaman Tentara Jepang Yang Meluluhlantakkan Asahan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang