Bab 05 Wanita Yang Hanya Dijadikan Pemuas Nafsu

170 5 0
                                    

Pagi telah tiba ...
Semburat arunika memboyong cuaca cerah di Kota Tanjung Balai, memberikan keindahan dan sangat membuat hari ini sangat cerah selepas hujan yang mengguyur semalamam.

Hari berganti dengan hari, serta jam pun bergerak terasa sangat cepat. Perasaan yang semakin kacau, serta sebuah pernyataan perihal terbebasnya diri dari belenggu kekejaman penjajah membuat suasana kota menjadi sangat sunyi.

Begitulah yang terjadi di Asahan selepas Jepang mengambil alih segalanya. Ketika Belanda datang, tidak pernah seganas itu, masyarakat masih bisa bernapas legah dan tidur malam. Namun, ketika si bangsa bermata sipit itu hadir, tiga kali lebih parah dari negara dengan julukan Kincir Angin dalam memerintah.

Kebiasaan setiap pagi Arjuna dan Topan adalah mencari makanan di hutan. Berburu hewan yang bisa ditangakap, serta mencari tanaman apa pun untuk dijadikan teman makan. Begitulah rutinitas mereka yang tinggal dalam sebuah semak, jauh dari pusat kota.

Pada era penjajahan, Tanjung Balai adalah daerah yang dipenuhi dengan pepohonan. Kelapa, buah-buahan, serta kokoa hidup dan rimbun di sana. Namun, sampai saat ini mereka tidak tahu bagaimana caranya memanfaatkan tanaman itu untuk diolah menjadi makanan.

Yang mereka tahu hanyalah sayuran, hewan-hewan, dan biji-bijian yang terdapat di hutan. Tepat di sebuah barak, Arjuna bersiap mengasah golok yang ukurannya lumayan panjang. Kemudian, lelaki berusia dua puluh enam tahun itu membawa pisau di kantong celananya.

Sebuah sentuhan mendarat sempurna di pundak Arjuna, dia adalah Topan—sahabatnya. Dengan wajah yang datar, mereka saling tukar tatap.

"Apakah kita akan berburu pagi-pagi sekali?" tanya Topan sekenanya, lalu dia menjongkokkan badan.

"Iya, Pan. Kita akan berburu dan mencari sayuran di hutan, agar tidak terlalu kemalaman ketika kembali," jawab Arjuna.

"Sampai kapan kita akan begini terus, menjadi budak bangsa asing, dan hidup penuh dengan tekanan." Topan pun mengambil celurit yang ada di samping kanannya, lalu dia mengasah agar bertambah tajam.

"Mungkin setelah proklamasi kemerdekaan berkumandang, kita akan bebas dan hidup aman," sergah Arjuna.

Mendengar ucapan itu, Topan pun menoleh lawan bicara. Dengan tatapan tidak percaya diri, lelaki berkepala botak itu seakan tidak percaya akan bisa merdeka. Melihat situasi yang terjadi, serta berita-berita teriar di radio mengabarkan, kalau Indonesia akan menjadi incaran negara luar selepas Jepang.

"Aku tidak percaya kalau kita akan merdeka. Karena kita bukanlah terlahir dari orang-orang yang kuat," sambung Topan sekenenanya.

Tanpa menoleh sama sekali, Arjuna pun mengernyitkan alisnya dan kembali mengasah golok panjang miliknya. "Kalau bukan kita yang membuat negara ini merdeka, lalu siapa lagi. Kan, kita sudah tiga ratus tahun lebih dijajah Belanda."

Arjuna pun meletakkan golok itu di hadapan matanya, menatap mantap, serta membayangkan akan ada tumpah darah setelah ini ke depannya.

Begitulah gambaran para pejuang ketika melihat benda tajam, tidak ada yang membayangkan akan hidup manis dan ketentraman.

"Apakah kau sudah siap berburu hari ini, Pan?" tanya Arjuna di posisi samping.

"Baiklah, kita pergi sekarang. Kasihan di dalam sana, anak-anak kecil sedang kelaparan," titah Topan sembari membangkitkan badan.

Kedua remaja berbaju kaos itu berjalan keluar dari area yang biasa mereka tempati. Membawa celurit dan golok sebagai alat perang dan untuk berjaga-jaga.

Melalui jalan setapak, mereka melintasi beberapa pemukiman barak—yang telah ada beberapa tentara seangkatan dengan mereka.

Pagi itu, mereka pun pun berkumpul jadi satu dari masing-masing tempat. Melangkah dan ingin mencari makanan untuk dibawa ke tempat mereka semula.

"Arjuna, apakah kalian baik-baik saja tinggal di tempat yang gelap itu?" tanya Ibrahim yang merupakan teman sejak kecil.

Arjuna pun menoleh, lalu mereka memberhentikan langkah. "Sepertinya kita harus atur siasat agar secepatnya meninggalkan tempat ini. Suasana sudah tidak aman lagi, sekutu bisa kapan saja untuk menangkap kita."

"Emangnya, kita akan pergi ke mana, Arjuna?" tanya Ibrahim—sahabatnya.

"Ke mana sajalah, yang penting tidak di sini. Karena menurut yang aku dengar, kalau para sekutu akan menjadikan kita budak untuk kerja paksa. Jika ingin memberontak, liang lahat akan menemui kita," pungkas Arjuna menjelaskan.

Mendengar ucapan itu, Ibrahim dan Iskandar terdiam. Mereka tidak bisa berkata apa pun untuk menanggapi. Tersisa mereka berempat selaku remaja terlatih yang tersisa di lokasi persembunyian, sisanya tidak tahu di mana rimbanya.

"Kalau begitu, kita akan membicarakan ini pada warga yang masih ada, agar mereka meminta komandan untuk segera mengambil keputusan. Apakah kita harus tanya dengan Bupati perihal ini, karena dia adalah pimpinan yang masih hidup," ujar Iskandar.

Mendapati gagasan baik itu, Arjuna dan Topan pun kembali menoleh, mereka akhirnya masih ada peluang untuk menemui pimpinan tertinggi di Kota Tanjung Balai, dengan harapan mendapatkan restu agar segera meninggalkan kota tersebut.

"Kenapa kalian tidak bilang kalau Bupati masih hidup, sehingga kami tidak harus berdebat panjang dengan komandan," pekik Arjuna menaikkan satu nada suara.

"Karena kebaradaan beliau masih disembunyikan, agar para sekutu tidak membunuhnya bersama rakyat yang lainnya," sergah Iskandar.

Mereka berempat pun akhirnya menyudahi perbincangan, lalu kembali berjalan melalui jalan setapak untuk mencari apa yang bisa dimakan hari ini. Di tengah perjalalan, terlihat pula gambut yang banyak dipenuhi pohon teratai, tampak cantik dan bunganya merekah indah.

Karena merasa sangat tertarik, Arjuna pun menemui bunga teratai dan menjongkokkan badan. Ketika dia menyentuh teratai itu, tampak sebuah kejadian di ujung pandangan. Para warga yang tertangkap oleh sekutu telah berbaris rapi di sepanjang jalan menuju pusat kota.

Secara saksama, Arjuna pun merundukkan badan di balik pepohonan bungan teratai. Tembakkan pun telah dilayangkan untuk warga yang tidak mau berjalan jongkok. Banyak mayat-mayat tak bernyawa berbaris di samping semak-semak.

Tidak berapa lama, datang lagi satu mobil konvoi dari jalan yang sama, membawa senapan laras panjang dan melayangkan kaki menuju kepala para warga. Mereka seolah menyiksa orang-orang di wilayah ini.

'Allahu akbar ... betapa kejamnya mereka memerlakukan warga setempat dengan tidak manusiawi. Kalau saja aku bisa melawan semuanya, pasti akan aku habisi kalian di sini,' gumam Arjuna dalam hatinya.

Dari belakang badan, sebuah sentuhan lembut mendarat sempurna, membuat Arjuna yang sedang memerhatikan pusat tatapan pun hanya menyibak tangan tersebut.

Karena merasa sangat penasaran, sahabat dari Arjuna pun menjongkokkan badan di samping. "Apa yang kau lihat, Jun?"

"Apakah kau tidak melihat di ujung sana? Betapa kejamnya mereka memerlakukan orang-orang kita," jawab Arjuna.

Secara saksama, Topan pun menatap sejurus ke arah jalan yang telah ditunjuk oleh sahabatnya. Dia pun tercengang mendapati hal tidak layak manusia itu di hadapan mata.

Kemudian, Topan menelan ludah dan terfokus pada seorang anak gadis yang telah mendapatkan pelecehan dari mereka.

Terlihat dengan mata telanjang, kalau gadis-gadis di wilayah setempat dibawa menggunakan mobil konvoi dan diikat tangannya. Entah ke mana mereka akan membawa mereka, karena Arjuna dan Topan tidak tahu situasi kota saat ini seperti apa.

"Untuk apa mereka membawa gadis-gadis itu, Jun?" tanya Topan penuh selidik.

Arjuna pun menoleh dengan kedua netra berkaca-kaca. "Mereka akan memperkosa gadis-gadis itu."

"Apa! Pasti kau lagi main-main, kan, Jun?" tanya Topan lagi.

"Tidak. Karena aku dengar sendiri kemarin malam ketika mereka bahas tentang gadis di kota, mereka akan dijadikan bahan pemuas nafsu mereka."

Bersambung ...

Baret Merah (Kekejaman Tentara Jepang Yang Meluluhlantakkan Asahan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang