Bab 25 Khalifah di Muka Bumi Nusantara

9 2 0
                                    

Setelah kehadiran Bupati Abdullah Eteng di Bandar Pulau siang itu, masyarakat hantusias dan ingin bertemu dengan sosok berhati lembut. Selama ini mereka hanya kenal melalui berita-berita yang tersiar dari mulut ke mulut. Namun, orang nomor satu di Asahan telah tiba.

Tanpa pengawalan, Bupati Abdullah mengambil alih kepemimpinan layaknya militer. Berjalan menelusuri hutan secara grilya. Hal demikian menunjukkan kalau pada masa kepemimpinannya sungguh patut diacungi jempol.

Bahkan Bupati Abdullah tidak tidur demi rakyatnya, dia merasa lapar jika melihat orang-orang kelaparan. Jantungnya merasa sakit, jika warganya tengah tertimpah berbagai musibah. Lelaki berperawakan tampan, dengan kumis tebal itu menjadi orang pilihan di Asahan.

Pada masa pemerintahan, dia merupakan sosok panutan untuk berbagai kalangan. Tidak memanfaatkan jabatan hanya kepentingan pribadi. Bukti nyata telah dia tunjukkan, berjalan kaki dari Kota Tanjung Balai bersama warganya.

Tempat yang sangat khusus diberikan tepat berada di sebuah bangunan kecil. Bersama dengan ketiga tentara didikan Belanda bernama—Arjuna, Topan, dan Ibrahim. Mereka adalah remaja yang masih tersisa untuk barisan pertahanan dalam pertempuran.

Satu persatu orang-orang terlatih telah tewas, akibat ganasnya penjajah Jepang kala itu, dan membuat porak-poranda Kota Tanjung Balai tanpa ada sisa. Beberapa lasykar-lasykar terpilih, serta staf jajaran pemerintahan telah menghuni Bandar Pulau.

Daerah terpencil itu diharapkan akan membawa kedamaian, walaupun tidak ada yang tahu ke depannya seperti apa. Harapan dan doa berjalan seiringan, karena semua warga di sana tidak pernah mendapati kekejaman Belanda seperti di lain lokasi.

"Pak, apakah kita akan aman dengan berada di sini?" tanya Arjuna yang tengah bercokol pada lasykar beserta staf pemerintahan.

Mendengar pertanyaan itu, Bupati Abdullah Eteng menarik napas berat. Kemudian dia mengembuskan napasnya dari mulut. "Saya tidak tahu pasti ke depannya seperti apa."

Mendapati jawaban yang tidak ada kepastian, para anggota barisan pertahanan dalam sebuah pertempuran mengangguk kecil. Tidak berapa lama, datang seorang wanita—warga setempat.

Rumah yang sedang dihuni oleh bupati dan jajarannya adalah bekas miliknya. Namun, sejak kehadiran orang nomor satu itu di wilayah, membuat mereka pindah ke rumah yang berada di ujung jalan.

Bisa dibilang, mereka adalah orang yang kaya di Bandar Pulau. Dengan memiliki ternak serta sawah berukuran lumayan luas, serta hasil kebun juga bisa menghidupi mereka.

Bandar Pulau saat itu, dialiri oleh Sungai Asahan yang berhulu di Danau Toba dan habis di Tanjung Balai.

Menempuh sungai itulah Bandar Pulau menjadi kawedanan yang maju pada zaman penjajahan Belanda, dengan Bandar Pulau sebagai pusat perdagangan selang orang Toba yang membawa sayur-mayur dengan orang Melayu dari Tanjung Balai yang membawa hasil laut.

"Selamat malam Bapak-Bapak ... silakan diminum kopinya," ucap seorang wanita paruh baya, bersanggul, dan mengenakan kemban dan kain selendang.

"Wah, terima kasih, Bu. Ini kopi dari mana?" tanya Bupati Abdullah.

"Kopi dari Sipirok, Pak. Mereka selalu datang di pekan seminggu sekali, dan untuk stok kami belinya banyak," jawab wanita itu.

Para lasykar dan staf jajaran pemerintahan senang mendapati hal yang seperti itu, karena kehadiran yang disambut sangat baik oleh warga setempat. Bandar pulau masih masuk dalam wilayah Kabupaten Asahan.

Kemudian, mereka pun meneguk kopi hangat itu. Cuaca di luar sedikit mendung, serta udara dingin menyergap merayap ke lubang pori-pori. Para warga yang mengungsi telah berada di tenda darurat, mereka pun telah diajak penduduk Bandar Pulau untuk memasak.

Dimar ublik sebagai lentera bergerak ke sana dan ke mari, tertiup angin yang datang dari lubang ventilasi. Malam itu, para lasykar dan staf pemerintahan merasakan ngilu di badan. Perjalanan jauh telah ditembuh, padahal tidak pernah terbayangkan sebelumnya.

Tepat tengah malam, gonggongan anjing memecah keheningan. Angin yang awalnya datang hendak memboyong hujan, tidak jadi turun dan membiarkan bumi semesta tetap kering.

Tuhan sepertinya kasihan pada warga yang mengungsi, tidak ditambah derita karena mereka baru saja menghuni tenda darurat. Setelah makan malam secara bersama-sama, barulah masyarakat bisa tidur di dalam tenda tersebut.

Akan tetapi, perasaan gelisah masih menemui lasykar, para militer, dan staf pemerintahan. Hal yang mereka takutkan adalah, ketika penjajah mengejar mereka hingga ke Bandar Pulau. Sudah pasti akan terjadi pertempuran dahsyat lagi.

Sementara rencana untuk pergi ke lain tempat, Bupati Abdullah belum berpikir sejauh itu, dia hanya mencoba untuk menetralisir pikiran yang sempat membuatnya kacau beberapa hari ini.

Arjuna pun keluar dari dalam ruangan, dia tidak tidur dan menjaga di sekitar pemukiman. Anjing dan kelelawar adalah hewan yang lalu lalang di kala malam, membuat pasang mata terganggu jika hewan itu menghampiri.

Dengan meninggalkan kedua sahabat di dalam ruangan, dia melintasi posisi Ibrahim dan Topan seraya bergerak keluar. Kemudian, Arjuna mendudukkan badan di atas kursi.

Tatapan sejurus pada langit tak berbintang. Rembulan pun enggan menampakkan senyumnya. Semburat dari keindahan alam tidak tercipta malam itu. Arjuna pun bergeming tanpa sarung ataupun selimut, dia menahan hawa dingin sembari membayangkan berjuta peristiwa yang di alami selama hidup ini.

Sebuah potret kilas balik terputar kembali, di saat bersama dengan Iskandar Muda. Mereka sempat ditahan oleh penjajah Jepang. Menghuni kamar tidak layak untuk manusia, mendapat jatah makan sehari hanya satu kali.

Bukan hanya itu, kerja paksa atau (ROMUSHA) telah dilalui, membuat beberapa kejadian kembali terekam oleh CCTV otak. Penembakan warga sipil yang tak bersalah, sudah lumrah di masa itu.

Air mata yang bergerak sejurus, membuat Arjuna membuka ranselnya di samping kanan. Sebuah foto kenangan, memerlihatkan Iskandar Muda dan Ustaz Mustafa di sana.

Tapakkan tangan sangat lembut mendarat sempurna di pundak Arjuna, membuat remaja itu menoleh ke samping kanan.

"Eh, Pak, belum tidur?" tanya Arjuna, lalu dia menyibak air matanya.

Orang tersebut adalah Sumiran, bisa dibilang dia adalah kepala desa di Bandar Pulau. "Kamu ngapain di sini? Kok, masih merenung saja?"

"Saya belum mengantuk, Pak," jawab Arjuna sekenanya.

"Itu foto siapa? Kok, sepertinya sangat berharga sekali?" tanya Pak Sumiran bertubi-tubi.

Dengan tangan kanan, Arjuna menyodorkan foto itu pada lawan bicara. "Ini adalah foto sahabat saya, Pak. Waktu itu, kami disekap oleh tentara Japang, di Labuhan Ruku. Lalu, yang lelaki tua itu adalah Ustaz Mustafa. Penasihat dan orang yang mengajarkan kami ilmu agama."

"Loh, kenapa mereka enggak ikut ke sini?" Mendapat pertanyaan itu, Arjuna berpaling tatapan.

Kemudian, Arjuna menjawab, "mereka telah meninggal dunia, Pak."

"Innalillahi, wainnailahi, roziun ... lalu, orangtua kamu mana?"

"Sama, Pak."

Karena mendengar jawaban sama, Bapak Sumiran mengernyitkan kedua alisanya. Tanpa mampu melanjutkan ucapan, dia menyentuh pundak remaja di sampingnya.

"Kamu yang sabar. Anak yang sudah mengabdikan hidupnya untuk negara, akan mendapatkan pahala luar biasa. Khalifah di muka bumi ini, telah hadir kembali demi melindungi orang banyak."

"Tetapi saya ingin melihat orangtua saya, Pak. Wajah ayahku saja, entah bagaimana bentuknya," titah Arjuna.

Mendengar ucapan itu, Bapak Sumiran terdetak. Jantungnya bagai dihujam dan ditebas samurai panjang.

"Yang pasti, ayahmu sama denganmu. Pemberani, teguh, dan tidak takut apa pun. Jangan bersedih lagi, kita berharap ini adalah yang terakhir. Tidak ada lagi tumpah darah, kehilangan orang-orang terbaik dengan cara tak wajar."

"Amin ... semoga saja, Pak."

Bersambung ...

Baret Merah (Kekejaman Tentara Jepang Yang Meluluhlantakkan Asahan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang