Bab 22 Melintasi Sungai Tanpa Jembatan

10 2 0
                                    

Penyingkiran pun akhirnya dilakukan dari Kota Tanjung Balai menuju Bandar Pulau. Para lasykar-lasykar pun tidak henti-hentinya memberikan semangat, karena para masyarakat berjalan dengan berbondong-bondong.

Mereka membawa anak kecil yang terus menangis di perjalanan, hingga orang-orang tua berusia senja juga tidak kenal lelah. Agar mendapat kenyamanan, mereka tinggalkan wilayah yang selama ini menjadikan mereka budak di daerah sendiri.

Berpuluh tahun memikul kepiluan, tumpah darah, dan bela negara. Namun, penjajah bukan menyerah, malah bertambah parah. Dengan ditemani lentera obor, mereka menelusuri hutan secara grilya.

Arjuna yang berada di belakang barisan pertahanan, memantau secara saksama apabila ada masyarakat yang mengeluh karena menuju ke Bandar Pulau sangatlah jauh. Mereka pun berjalan melalui hutan-hutan, kemudian bertemu pada sebuah sungai yang tidak ada akses berupa jembatan.

"Astaga! Kenapa ada sungai tanpa jembatan," pekik seorang warga yang kala itu memberhentikan langkah.

"Pak, apakah kita tetap melalui sungai ini untuk ke seberang?" tanya warga satunya, yang sedang menggendong anak balita.

Karena para warga tarik ulur tentang hal itu, Arjuna dan Topan yang berada di barisan paling belakang pun menyibak para warga dan ingin melihat keadaan sungai tersebut.

"Maaf, permisi, Pak," kata Arjuna.

Topan yang mengikuti dari belakang, membawa keduanya tiba di bibir sungai. Namun, mereka tidak mau menyeberang. Rasa takut pun muncul, bukan hanya sekadar ketakutan jika ada buaya atau ular di dalam sana.

Akan tetapi, lebih kepada kedalaman yang tidak tahu seberapa, arus, dan lain hal menjadi pertimbangan untuk mereka melintas.

"Pak, apakah tidak ada jalan lain menuju ke Bandar Pulau?" tanya Arjuna dari samping kanan.

"Ada, Jun. Tetapi ... kita harus putar balik dan melalui jalan lintas," papar Bapak Bupati Abdullah menjelaskan.

"Baiklah, kalau tidak ada pilihan lain, saya akan mencoba masuk ke dalam sungai itu. Untuk mengukur tingkat kedalamannya," sergah Arjuna.

Dari posisi samping kanan, Topan pun menyentuh pundak sahabatnya. "Arjuna, tidak perlu kau lakukan itu."

Kemudian, Arjuna menyibak tangan kanan sang sahabat. Berdasarkan yang dia tahu, bahwa air yang beriak atau arus lumayan laju, biasanya tidak terlalu dalam. Ilmu itu didapatkan ketika belajar bersama para tentara Belanda.

Dengan menarik napas berat, Arjuna kembali berkata, "kalau kau takut, biar aku saja yang melintasi sungai itu."

"Tidak, aku juga akan mengikutimu teman," imbuh Topan sekenanya.

Karena mereka tidak membawa obor sebagai lentera, Topan pun meminjamnya dari seorang warga yang ada di belakang. Dengan senang hati, dia memberikan obor itu dan kedua remaja di barisan paling depan mulai bergerak.

"Arjuna! Topan!" panggil Bapak Bupati Abdullah.

Mendapati panggilan itu, mereka menolah ke arah pusat suara.

"I-iya, Pak," jawab mereka serempak.

"Hati-hati, tetap waspada," sambung bapak bupati.

Tanpa menjawab, mereka sekadar mengangguk. Dengan bacaan basmalah, serta doa dari dalam hati, kedua remaja itu mencoba masuk ke dalam sungai. Awalnya, air terasa sangat hangat. Namun, lama-kelamaan menjadi dingin dan membawa badan masuk ke tengah kedalaman yang biasa.

Ternyata, di dasar sungai terdapat pasir dan tidak ada lumpurnya, sehingga kedua kaki sangat mudah untuk melintas. Lentera obor menjadi pertanda, kalau kedua remaja itu telah melintasi sungai hingga menuju ke seberang.

Baret Merah (Kekejaman Tentara Jepang Yang Meluluhlantakkan Asahan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang