Bab 12 Arjuna dan Iskandar Tertangkap

33 2 0
                                    

Melalui jalan setapak, Arjuna dan Sri masih menelusuri hutan untuk kembali ke barak. Di sepanjang perjalanan, kedua remaja itu membungkam dan tidak mau mengatakan hal apa pun.

Entah apa maunya wanita itu, membuat Arjuna merasa aneh, berasa sedang membawa orang bunian. Kehadirannya juga membuat sangat mencurigakan, tiba-tiba berteriak, kemudian membungkam bagai es batu yang telah beku.

Karena telah jauh meninggalkan tempat persembunyian, Arjuna harus mencari lagi jalan dan merumuskan antara logika dengan area sekitar. Sampailah mereka di sebuah persimpangan, kemudian Arjuna memilih untuk berbelok ke sebelah kanan.

Dia percaya bahwa, apa yang berada di sebelah kanan adalah hal yang baik-baik. Dari arah belakang, Sri memekik dengan langkah yang sudah sangat limbung. Arjuna dapat menebaknya karena dia menyeret kaki dan menabrak ilalang dan semak belukar.

Arjuna pun memberhentikan langkah, dia berpaling sembari menatap Sri di posisi belakang. "Apakah kau baik-baik saja?"

Karena wanita itu masih sibuk menatap rerumputan, dia pun menabrak Arjuna dengan spontan. "Aduh! Kau apa-apaan, sih, berhenti enggak bilang-bilang."

Sri Minarti mengomel, lalu dia mundur ke belakang badan lelaki di hadapannya.

"Kalau kau udah enggak kuat jalan, kita istirahat saja di sini," ajak Arjuna.

"Kenapa enggak dari tadi. Kakiku sudah seperti mau putus ini," sergah Sri sekenanya.

Mereka menepikan badan di sebuah tempat, tepatnya berada di bawah pohon hutan dan kelapa. Namun, Arjuna tidak tahu harus memulai ucapan dari mana. Sesekali, remaja laki-laki itu ketahuan karena tengah menoleh Sri.

"Kenapa kau lihat-lihat!" pekik Sri ngegas.

"Eng-enggak, siapa juga yang melihat kamu. Aku itu cuma aneh aja. Tadi, kamu teriak-teriak seperti orang kesurupan, sekarang bungkam bagai patung."

"Aku sudah lelah berjalan hampir tiga hari, apakah aku harus jelaskan hal ini padamu?" Sri pun semakin bringas dalam berkata.

Seraya menarik napas berat, Arjuna kembali menjawab sangat lirih dan pelan, "siapa yang suruh jalan tiga hari. Kan, bisa berhenti di rumah atau barak orang."

Mendengar ucapan itu, Sri membungkam. Air matanya keluar spontan sejurus membasahi pipi. Potret kilas balik terputar kembali, ketika dia dipaksa naik mobil konvoi, lalu dibawa ke sebuah tempat yang sangat asing baginya.

Bukan cuma itu saja, para tentara bermata sipit itu telah menyuntikkan obat di bokongnya sebelum digagahi. Semua AIB itu terus menghantui, membuat Sri memilih ingin mati jika sudah teringat.

Tiba-tiba, Arjuna kembali menoleh sekilas, dia mendapati wanita di sampingnya tengah menangis sangat histeris.

"Kau kenapa, Sri? Kalau aku ada salah dalam berkata, maaf," titah Arjuna memohon.

"Yang harusnya disalahkan bukan kau, Arjuna. Tetapi bajingan berhati iblis itu. Tidak punya pikiran, seenaknya saja mengambil mahkota yang selama ini aku jaga," jawab Sri.

'Mahkota yang selama ini dia jaga? Emangnya, dia keturunan bangsawan atau raja, begitu? Memiliki mahkota segala. Aku masih belum paham dengan ucapannya,' papar Arjuna bersenandika.

"Sri, kalau mereka mengambil mahkotamu, suruh saja saudara-saudaramu merebut kembali. Emangnya, maling itu sudah tidak bisa dikejar lagi?" tanya Arjuna dengan polosnya.

Mendengar ucapan itu, Sri pun menatap sangat jijik ke arah Arjuna. Lalu, dia memukul pundak lelaki di sampingnya.

"Dasar bodoh! Maksud aku bukan mahkota di kepala, tetapi harga diri," pungkas Sri, dia pun kembali menangis.

Seketika Arjuna menggaruk kepalanya tiga kali. "Ja-jadi, kau sudah dinodai oleh penjajah itu?"

Tanpa menjawab, Sri pun hanya mengangguk dua kali. Entah kenapa, dia mengakuinya di hadapan Arjuna saat ini. Yang membuat wanita itu sedih bukan sekadar dirinya yang sudah tidak perawan lagi, tetapi sang kakak pun masih berada di sebuah penjara bersama penjajah bermata sipit itu.

"Bukan cuma aku yang menjadi korban, tetapi kakakku." Tidak berapa lama Sri berkata, sebuah teriakan terdengar dari sebuah tempat.

Akan tetapi, tidak terlihat siapa yang sudah bersuara sangat kencang itu. Dengan sigap, Arjuna membangkitkan badannya seraya celingukan.

Perputaran delapan puluh derajat dari posisi berdiri, kemudian kembali menjadi tiga ratus enam puluh derajat.

"Itu suara siapa, Arjuna?" tanya Sri penasaran.

"Aku tidak tahu, Sri," sergah Arjuna.

'Dari nada suaranya, itu seperti Iskandar. Ah, enggak mungkin. Bukannya, dia tadi masih ada di dalam barak ketika aku pergi?' tanya Arjuna dalam hati.

Sebuah suara pun semakin dekat, berada di ujung jalan sekitar berjarak beberapa puluh meter dari Arjuna. Karena sangat penasaran, lelaki berperawakan tampan itu berlari dan mengikuti persimpangan sebelah kiri.

Sri Minarti pun mengikuti dari belakang, mereka saling kejar-kejaran hingga di sebuah jalan buntu pun akhirnya membawa pandangan tidak lazim. Rupanya, jalan yang mereka pilih membawa ke sebuah penangkapan orang-orang di wilayah Tanjung Balai.

Diikuti dengan gemetar hebat, membuat kedua remaja itu tidak bisa bergeming terlalu lama di posisi mereka. Arjuna pun menarik tangan Sri sangat erat untuk mendekat di sebuah pohon sawit berukuran besar.

Mereka tidak terlihat dan tatapan keduanya sejurus pada posisi tiga orang sedang menyeret Iskandar. Karena Arjuna ingin menolong sahabatnya, dia pun bergegas ingin pergi dari persembunyiannya.

"Arjuna! Apa yang akan kau lakukan?" tanya Sri Minarti.

"Aku akan menyelamatkan sahabatku. Kau tidak usah ikut, pergi dari lokasi ini," sergah Arjuna.

"Tidak, Jun. Aku tidak tahu arah menuju tempat yang aman. Biarkan aku menunggumu di sini," rengek Sri sangat melas.

Arjuna pun menatap ke belakang badannya, dia mendapati kalau Sri tengah menarik bajunya karena sangat takut.

Sementara Iskandar telah diseret dan mendapatkan perlakukan sangat kejam dari penjajah. "Sri, ayo, pergi. Aku akan menyelamatkan sahabatku."

"Percuma Arjuna, mereka tiga orang. Sedangkan kau, hanya sendiri dan tidak membawa apa pun," pungkas Sri.

Mendengar ucapan itu, Arjuna pun tetap pergi dan meninggalkan Sri Minarti. Karena merasa sangat takut, wanita itu tetap bergaming di posisinya dan memerhatikan Arjuna.

Remaja bernyali dewa itu tidak takut mati. Bahkan dia menyerahkan dirinya demi menolong sang sahabat. Setibanya di belakang tentara Jepang, Arjuna pun bergeming.

"Lepaskan! Dasar bajingan!" pekik Arjuna.

"It turned out that there was a fool who came to deliver life," sergah tentara bertopi miring itu.
Artinya: Ternyata ada orang bodoh yang datang mengantarkan nyawa.

"Jangan banyak bicara kalian, sini lawan aku sekarang!" tantang Arjuna, lalu dia mengeluarkan dua pisau tajam dari dalam kantong celananya.

Mendapati hal itu, ketiga tentara yang memegang senjata pun terkekeh-kekeh. Lalu, mereka meletakkan badan Iskandar di dalam sebuah mobil konvoi. Karena lawan dari mereka tidak membawa apa pun, tentara Jepang itu meletakkan senjatanya.

Mereka pun adu kekuatan tiga lawan satu. Terjadilah pertarungan sengit yang tidak seimbang. Sekali pukulan, satu dari tentara Jepang mundur dua langkah.

"Arjuna, ngapain aku ke sini? Pergilah," ucap Iskandar—sahabat terbaik Arjuna sejak kecil.

Tanpa memedulikan ucapan sahabatnya, mereka kembali adu kekuatan dan mampu membuat Arjuna terjatuh ke tanah. Karena sudah tidak mampu lagi untuk melawan, tentara Jepang berbadan tinggi mendekat.

Kemudian, dia memijak kepala Arjuna yang telah terkapar di bumi semesta. "You loser, you're going to die with us now."
Artinya: Dasar pecundang, kau akan mati bersama kami sekarang.

Tidak berapa lama, kedua tentara Jepang pun datang menghampiri. "Tie his hands and feet, we take him away."
Artinya: Ikat kaki dan tangannya, kita bawa dia pergi.

"Oke!"

Bersambung ...

Baret Merah (Kekejaman Tentara Jepang Yang Meluluhlantakkan Asahan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang