Bab 19 Ustaz Mustafa Meninggal Dunia

12 2 0
                                    

Ketiga remaja yang bergeming sekian menit di ambang pintu, datang menemui Ustaz Mustafa yang sedang tertidur di atas mejanya. Tangisan dari Bu Lastri—istrinya, masih menggema dan membuat geger seluruh barak.

Orang-orang yang tadinya menjalankan aktivitas, sudah menggerompok menjadi satu titik temu, tepat berada di pusat kejadian.

Arjuna melangkah dan mendekat ke meja yang telah dipenuhi darah. Kemudian, dia menyentuh leher dan nadi tangan si ustaz. Ternyata, dugaannya ketika awal benar, kalau petuah di barak mereka telah mengembuskan napas yang terakhir.

Akan tetapi, kejadian itu tidak tahu pasti kapan. Karena tidak ada satu pun orang yang berada di dekatnya ketika sakaratul maut datang. Yang pasti, Arjuna telah mendapati bercak merah di sebuah serban berwarna hijau tadi malam.

'Kok, serban ini ada darahnya. Bukannya, Ustaz Mustafa tidak lagi sakit. Atau jangan-jangan, ketika dia batuk tadi di runangan. Ah, mungkin karena demam biasa saja.'

Sembari memutar kilas balik perihal kejadian tadi malam, Arjuna mencoba menutup kedua bola mata Ustaz Mustafa yang masih terbuka sangat lebar.

"Innalillahi, wainnailahi, roziun ...," ucap Arjuna.

Seketika ruangan pun menjadi sangat ricuh. Suara-suara isak tangis mewarnai suasana pagi itu. Apalagi Bu Lastri—istrinya, dia pun pingsan dengan membantingkan badannya di atas lantai.

"Bu-Bu," teriak Topan dan Ibrahim, mereka membantu Bu Lastri untuk keluar dari ruangan tersebut.

"Pan, Him, bawa Bu Lastri ke ruang tamu," celetuk Arjuna.

"Baik, Jun," jawab keduanya serempak.

Karena badan Ustaz Mustafa memiliki tinggi yang lumayan, membuat Arjuna tidak bisa membawanya sendirian. Kemudian, remaja itu memanggil beberapa kepala keluarga di ambang pintu.

"Pak Ramli, bantu saya angkat Ustaz," ajak Arjuna.

Mendapati hal itu, Pak Ramli dan Pak Karjo memasuki ruangan. Dengan sigap, mereka membawa si ustaz keluar ruangan. Setibanya di ruang tengah, mereka meletakkan badan lelaki berserban merah liris putih itu di atas lantai, kemudian menutup wajahnya dengan kain panjang.

Isak tangis masih mewarnai barak. Karena Arjuna merasa ada yang aneh di meja milik Ustaz Mustafa, dia pun kembali membangkitkan badan seraya berjalan laju ke kamar tersebut.

Setibanya di dalam ruang semula, secarik kertas telah hadir di sana. Bertinta hitam, dengan tulisan sangat rapi tegak bersambung. Secara saksama, Arjuna mengambil kertas itu dan membacanya.

[Siapa pun yang membaca surat ini, tolong tetap berada dalam jalur awal sebagai pembela negara. Hari ini, saya sudah merasa tidak kuat untuk memimpin orang-orang banyak di sini. Kalian, jangan merasa putus asa selepas kepergian saya. Lanjutkan perjuangan, karena kita telah merdeka. Semoga, semua yang pernah saya berikan baik ilmu agama, dapat diterapkan dan jangan tinggalkan. Pertanda: Mustafa Alimuddin.]

Setelah membaca surat itu hingga akhir, Arjuna meneteskan air mata. Kemudian datang lagi seseorang menuju ambang pintu, dia adalah Topan dan Ibrahim.

Kedua remaja itu menatap sahabatnya yang bergeming tanpa suara di depan meja. Dengan langkah gontai, keduanya beringsut menemui sang sahabat.

Topan yang berada di posisi kanan, menyentuh pundak sahabatnya. "Arjuna, kau kenapa?"

Tanpa mampu menjawab, Arjuna mengambil napas berat, lalu dia meletakkan surat tersebut di atas meja.

Dari samping kiri, Ibrahim pun menyentuh juga pundak Arjuna. "Kau kenapa, Jun?"

"Aku tidak apa-apa," jawab Arjuna sekenaya.

"Lalu, kenapa kau menangis?" tanya Ibrahim lagi.

Seketika, Arjuna pun menyibak air matanya, lalu dia menjawab, "aku hanya merasa sedih dengan surat terakhir yang ditulis Ustaz Mustafa. Seakan, dia tahu kalau akan meninggalkan kita selama-lamanya."

Mendengar ucapan itu, Topan pun merubah posisi ke sebelah kiri, dia ingin membaca secarik kertas yang telah diambil oleh Ibrahim. Secara saksama, keduanya hanya menarik napas berat, lalu mengembuskannya dari mulut.

"Ternyata, selama ini dugaanku benar," celetuk Ibrahim.

"Emang apa dugaanmu, Him?" tanya Topan dan Arjuna.

"Aku sering mendapati darah segar yang ada di serban Ustaz Mustafa. Akan tetapi, tebakanku ketika awal, dia lagi sakit tenggorokan biasa."

Lalu, Arjuna pun menyambar, "benar, aku juga melihat darah itu di serban ustaz tadi malam. Benakku juga sama dengammu, Him. Kalau itu sekadar sakit biasa saja."

"Baiklah, kita tidak perlu menunda terlalu lama lagi. Sekarang, kita mandikan Ustaz Mustafa, lalu kebumikan siang ini juga," ujar Ibrahim.

Ketiga remaja itu meninggalkan ruang kamar, lalu bergerak menuju pusat keraiaman. Dengan sigap, mereka menggendong jenazah yang tersenyum manis di bibirnya. Setibanya di kamar mandi, mereka membasuh badan ustaz hingga bersih.

Tidak berapa lama, mereka kembali menuju ruang tengah untuk memakaikan kain kafan yang masih ada di dalam lemari. Bu Lastri pun telah sadarkan diri, dia menatap suaminya yang telah terbujur kaku.

Semua telah selesai, mereka pun mensalatkan jenazah dan Arjuna sebagai imam.

Lubang yang tergali lumayan dalam, telah menunggu Ustaz Mustafa untuk singgah selamanya di sana. Tepat berada di samping makam Iskandar Muda, mereka berjejer dan memerlihatkan betapa keduanya memang sehidup semati.

Iskandar Muda adalah anak yang diasuh oleh Ustaz Mustafa sejak kecil. Mereka bagaikan seorang ayah dan anak kandung, karena keduanya memang sama-sama baik hati dan berkata sangat lembut.

Satu persatu orang-orang meninggalkan makam. Tersisa Bu Lastri dan ketiga remaja itu masih menggerompok. Dengan bersimpuh dan menatap dua makam di hadapan mereka, membuat ulu jantung terasa sangat dihujam.

Tanpa sepatah kata mereka ucapkan, air matalah yang mengawali kedua orang baik itu menuju surga seperti yang telah dijanjikan Allah SWT.

Tak habis pikir dalam menafsirkan. Satu persatu, orang-orang habat dan baik telah pergi lebih dulu. Ketiga remaja itu masih menatap area barak. Duduk berjejer di depan teras.

"Kenapa, ya, orang baik cepat banget meninggal dunia," cetus Topan secara spontan.

"Karena Allah tidak mau memberikan dosa lagi buat mereka, jadi dosa itu diberhentikan," ujar Ibrahim sekenanya.

"Lalu, kita tidak mati karena banyak dosa, begitu?" pungkas Topan dengan pertanyaan.

Mendengar perdebatan itu, Arjuna menoleh kanan dan kiri. "Bukan begitu juga konsepnya. Ajal itu tidak pandang orang banyak dosa atau tidak banyak dosa. Semua manusia tempatnya salah dan dosa. Orang suci di dunia ini tidak ada setelah Nabi Muhammad SAW. Bahkan Nabi Adam saja, melakukan kesalahan."

Mendengar penjelasan Arjuna, kedua sahabatnya menatap dari jarak dekat.

"Kalian kenapa dekat banget melihat wajahku?" tanya Arjuna.

Topan pun berujar, "sepertinya kau mewarisi sedikit sifat Ustaz Mustafa, jago memberikan nasihat."

"Betul itu, bentar lagi Arjuna jadi ustaz juga," sambung Ibrahim.

Menggunakan tangan kanan, Arjuna pun memukul kepala kedua sahabatnya. "Enggak lucu bercandanya!"

"Aduh! Diberikan profesi yang baik malah enggak terima," pekik Topan, dia meringis kesakitan.

"Kenapa coba Arjuna enggak mau, karena dia tergolong orang yang keras kepala. Mana bisa model begitu jadi ustaz. Bisa-bisa, yang mendengar ceramahnya pada ketakutan semua," ledek Ibrahim lagi.

Mendengar ucapan kedua sahabatnya, Arjuna hanya mampu menghela napas panjang. Dia sudah biasa, mendapati ucapan-ucapan aneh dari Topan dan Ibrahim.

Bersambung ...

Baret Merah (Kekejaman Tentara Jepang Yang Meluluhlantakkan Asahan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang