Bab 21 Penyingkiran

6 2 0
                                    

Scene Kajadian:

(Selanjutnya pada bulan Juli 1947, pemerintahan sipil di bawah pimpinan Bupati Abdullah Eteng di Tanjung Balai sebagai pusat pemerintahan. Maka, Bupati Abdullah Eteng beserta dewan stafnya segera melakukan penyingkiran dari Tanjung Balai ke Bandar pulau.)

***
Desakan terus diberikan pada ketiga remaja itu, mereka ingin mengajak Bapak Bupati Abdullah untuk menyingkir dari wilayah Tanjung Balai secepatnya. Mereka hanya tidak ingin menjadi budak dan terus diperbudak oleh koloni penjajah Belanda.

Para staf dan jajaran pemerintahan pun mendadak hadir di rumah Bapak Bupati Abdullah, rapat itu digelar tepat di sebuah ruang yang hanya ada orang-orang penting di sana. Mereka bercokol dan merumuskan perihal selebaran-selebaran yang tiba dini hari.

Untuk memprovokasi masyarakat, Belanda juga menakut-nakuti hingga mengancam akan membunuh siapa pun orangnya yang tidak patuh terhadap peraturan baru dari mereka.

Sidang tersebut membuat otot leher para jajaran pemerintahan sangat emosional. Dalam sabuah forum pembahasan, tetap ada yang pro dan kontra. Namun, semua menyangkut perihal kehidupan masyarakat dan mental yang semakin diadu domba dengan rasa ketakutan berkepanjangan.

"Apakah kita akan tinggalkan tempat ini sekarang?" tanya Bupati Abdullah, suaranya menggema dan memecah keheningan sejenak.

Pembicaraan itu tidak dapat didengar oleh Arjuna dan kedua sahabatnya, kerena Bupati Abdullah sengaja mengambil ruang tersendiri, dan terpisah dari tempat di mana remaja-remaja itu bercokol.

"Kalau menurut saya, kita tetap di sini, Pak. Karena ... ke mana pun pergi, koloni Belanda tetap ada," ujar staf jajaran pemerintahan.

"Apakah kamu yakin dengan perkataan itu. Kita tidak tahu di luar kota keadaannya seperti apa, bisa jadi lebih aman. Kalau kita pergi dari sini, mungkin akan memancing para koloni Belanda untuk tidak berbuat semena-mena. Siapa yang mau mereka perbudak, kalau masyarakat telah tiada satu pun," ujar Bupati Abdullah.

Mendadak, para staf dan jajaran pemerintahan membungkam. Mereka bergeming dan akhirnya mencetuskan sebuah keputusan. Tekad yang bulat telah mereka pegang. Kemudian, mereka pun membubarkan barisan rapat dan kembali menuju ruang tamu.

Wajah-wajah tegang telah diperlihatkan oleh laki-laki berperawakan tampan itu yang keluar dari sebuah ruangan. Mereka mendudukkan badan di atas sofa, seraya kembali bercokol pada tiga remaja yang mereka tahu kalau Arjuna adalah tentara didikan Belanda.

"Bagaimana keputusan dari Bapak perihal kejadian ini, Pak?" desak Arjuna saat itu.

Dengan berpikir panjang, serta bercakap-cakap pelan pada staf dan seluruh jajaran di pemerintahan, akhirnya keputusan pun bulat.

"Baiklah, kita akan menyingkir dari kota ini," pungkas Bupati Abdullah.

Mendengar ucapan itu, Arjuna menoleh kanan dan kiri. Gagasan yang dia berikan akhirnya diterima sangat baik, mereka pun sangat senang dengan keputusan itu.

"Kapan kita akan pergi dari sini, Pak?" tanya Arjuna lagi.

"Malam ini juga. Kita akan kerahkan seluruh lapisan masyarakat, agar berkumpul di barak kalian. Kita tidak pergi lewat jalan lintas, karena akan membuat koloni Belanda tetap mengejar kita," ujar Bupati Abdullah.

"Lantas, kita lewat mana, Pak?" tanya Topan penuh selidik.

Bupati Abdullah pun menarik napas berat, lalu dia menjawab, "kita pergi secara bergrilya."

"Ma-maksudnya, melalui jalur hutan-hutan, Pak?" sambung Ibrahim menambahkan.

"Ya! Kurang lebih seperti itu. Sekarang, kita bergerak ke pemukiman rumah penduduk. Kalian akan dibantu jajaran saya, dan cari masyarakat baik di mana pun tempat tinggalnya saat ini." Bapak Bupati Abdullah memberikan aba-aba.

"Baik, Pak. Kami akan memberitahukan perihal ini pada masyarakat. Kalau begitu, kita gerak sekarang," ajak Arjuna.

"Ingat, Juna. Jangan sampai kalian terlihat sama sekali oleh para koloni Belanda. Kabarnya, mereka akan bergerak ke sini tepat pukul 22.00 WIB."

Tanpa menjawab sama sekali, Arjuna dan sahabatnya, dibantu oleh staf jajaran pemerintahan mendatangi rumah-rumah yang masih menyisakan masyarakat. Mereka pun mengajak untuk berkumpul di barak—tempat persembunyian Uataz Mustafa.

Masyarakat satu persatu bergegas membawa anak mereka, serta kakek-kakek yang berjalan menggunakan tongkat juga ikut. Berjalan gontai tanpa mengeluarkan suara, semua memasuki hutan dan bergerak secara grilya.

Kemudian, Bupati Abdullah juga bergegas membawa jalan rakyatnya dari depan. Jalan setapak menyisakan bekas kaki yang bergerak memenuhi halaman barak.

Setibanya di barak persembunyian, Bu Lastri dan yang lainnya tetap mendekam. Mendapati semburat obor sebagai penerang, memboyong banyaknya orang yang tiba-tiba hadir di sana.

Tebakan awal Bu Lasti, akan ada kekacauan lagi, sehingga mereka enggan untuk keluar.

"Bu, mereka mau ngapain di luar sana?" tanya seorang gadis kecil berusia sembilan tahun.

"Ibu enggak tahu, Nduk. Barangkali kita akan dibunuh oleh kompeni Belanda," jawab Bu Lastri sekenanya.

"Aku takut, Bu," rengek gadis kecil itu.

Setelah semburat obor bertambah menjadi sangat banyak, terlihat pula Arjuna, Topan, dan Ibrahim dari tengah barisan. Mereka berjalan laju dan membentuk posisi di depan, kemudian diikuti oleh Bupati Abdullah dan jajarannya.

Lalu, Bu Lastri keluar dari dalam barak dan berjalan menuju teras rumah. Wanita berjilbab putih itu memerhatikan para warga sipil tengah berkumpul, berbondong-bondong membawa anak mereka.

"Apakah semua sudah berkumpul di sini?" tanya Bapak Bupati.

"Sudah, Pak. Mereka adalah masyarakat yang masih hidup sekarang," jawab para staf jajaran pemerintahan.

"Baiklah, kita akan tinggalkan tempat ini. Dengan berjalan kaki, kita grilya menuju lokasi. Kalau untuk kakek dan nenek, menaiki muntik dengan jalur yang berbeda," ujar Bupati Abdullah.

"Pak, kita akan menyebar dan pergi ke mana?" tanya salah seorang masyarakat.

"Kita akan melakukan pengungsian menuju Tapanuli, Pulau Raja, Bandar Pulau dan Rantau Prapat. Apakah semua setuju?" tanya Bupati Abdullah menyemangati.

"Setuju! Kita akan tinggalkan tempat ini sekarang, Pak," jawab para masyarakat.

Arjuna pun memasuki barak, diikuti oleh Topan dan Ibrahim. Mereka bergegas membawa bekal seadanya, serta pakaian di dalam tas ransel.

Barak pun menjadi sangat sunyi, karena semua telah menghambur keluar halaman dan membawa obor sebagai penerang jalan mereka. Ketika berada di sebuah koridor, Arjuna memberhentikan langkah kakinya.

Hati remaja itu terdetak dan ingin memasuki ruangan yang menjadi tempat Ustaz Mustafa menulis. Lelaki berhati malaikat itu mengembuskan napas terakhir di sana tanpa ada yang tahu.

Langkah kaki membawa Arjuna memasuki tumpukan buku, dia pun menatap sebuah foto yang telah kusam di atas meja.

Tampak jelas, bahwa Ustaz Mustafa dan Iskandar Muda tersenyum di foto itu. Meskipun Iskandar masih kecil, tetapi membuat Arjuna sangat sedih jika memutar kilas balik potret momen yang pernah tercipta.

Tanpa terasa, Arjuna meneteskan air matanya. Kemudian, jemarinya menyentuh permukaan foto dengan sangat lembut. Tiba-tiba, datanglah Topan dari ambang pintu, dia bergeming dengan menatap sahabatnya masih berada di meja milik Ustaz Mustafa.

Diikuti dengan Ibrahim, ketiga remaja itu menatap foto yang memerlihatkan sebuah kenangan masa lalu.

Menggunakan tangan kanan, Topan menyentuh pundak sahabatnya. "Mereka sudah tenang di surga, jangan ratapi."

"Benar, tinggal kita yang akan melanjutkan perjuangan sesuai perintah Ustaz Mustafa," sambung Ibrahim.

Karena tidak kuat menahan tangis, Topan pun memeluk sahabatnya yang berlinang air mata di hadapan. Mereka tidak menyangka, kalau jalan hidup yang terjadi sangatlah rumit dan penuh lika-liku.

Bersambung ...

Baret Merah (Kekejaman Tentara Jepang Yang Meluluhlantakkan Asahan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang