Di dalam sebuah markas persembunyian, terdapat beberapa sisa tentara yang masih bertahan hidup. Pemimpin mereka pun telah mengalami cidera di bagian kaki dan tangan, begitu pula yang tengah di alami oleh Brama.
Lelaki berparas tampan itu selalu berada di depan barisan pertahanan, karena dia telah memahami beberapa teknik menembak, dan berlatih keras berkat didikan tentara Belanda. Namun, saat ini dia sedang lemah tidak berdaya akibat tembakan senapan laras panjang mengenai kakinya hingga menembus kulit.
Dengan rasa kekhawatiran, Arjuna—selaku sahabat merasa sangat kasihan dengan keadaan tersebut. Sementara tenaga medis telah habis terbunuh oleh pasukan sekutu, yang tersisa hanya obat P3K di dalam kotak, itu pun sangat minim sekali.
Arjuna mengambil obat merah dan meletakkan air hangat di dalam wadah, lalu dia menghapus darah yang masih keluar dari dalam lubang di kaki sang sahabat. Bersama isak tangis beberapa wanita paruh baya pun membuat ulu jantung menghujam.
Ternyata yang ditakutkan selama ini benar terjadi, bahwa Belanda akan menyerah pada Jepang dan memberikan kekuasaan pada manusia berhati iblis itu. Yang hanya bisa dilakukan hanya diam, menanti keadaan sedikit lebih aman, agar sisa warga di tempat persembunyian bisa mengungsi ke lokasi yang lebih aman.
Seorang pemimpin perang pun datang, dia baru saja memantau wilayah luar. "Apakah Brama masih hidup?"
"Masih, Komandan. Tetapi ... sepertinya dia kekurangan banyak darah," ujar Arjuna.
Tak berapa lama, Topan pun datang dari ambang pintu dengan napas yang ngos-ngosan. Lelaki berparas tampan itu menjongkokkan badannya tepat di hadapan sang komandan.
"Apa yang terjadi, Pan?!" tanya si komandan dengan nada suara tegas, tetapi terdengar parau.
Topan pun mengehela napas panjang, kemudian dia menatap menuju ambang pintu tempat persembunyian mereka saat ini.
"Komandan, para warga banyak yang telah tewas karena tembakan. Bahkan Kota Tanjung Balai juga telah lumpuh dan tidak ada sisa warga lagi," titah Topan terbata-bata.
"Apa yang akan kita lakukan, Komandan!" pekik Arjuna mendesak untuk pemimpin mereka memberikan keputusan.
Komandan dengan inisial A. U. Pane pun terdiam sejenak, lalu dia menatap Brama yang masih terbaring di atas tempat tidur.
Kehabisan akal untuk memutuskan, tetapi sang komandan masih bersikeras agar tetap bertahan dan menanti situasi aman. "Kita akan tetap di sini sampai semua aman, karena para pasukan sekutu masih berkeliaran di luar sana."
"Siap, Komandan!" Mendengar perintah itu, Arjuna pun hanya bisa berjaga di area tempat mereka bersembunyi.
Sementara di dalam ruangan tersebut, telah ada sebagian warga yang sengaja tidak kembali ke tempat mereka biasa tinggal, karena sangat takut dan was-was jika penjajah bermata sipit itu datang tengah malam.
Arjuna pun hanya patroli di depan teras, memantau keadaan dan tidak bisa beringsut sama sekali. Rembulan dan bintang-bintang menyinari semesta, akan tetapi tidak secerah dengan nasib bumi pertiwi seperti sekarang ini.
Tumbah darah, bela negara, semua telah dilakukan. Namun, memang tanah air Indonesia adalah tumpuan kekayaan alam dunia terletak, sehingga negara di luar sama hendak menguasai wilayah dan mengambil hasil alam.
Sebuah sentuhan pun mendarat di pundak Arjuna, lelaki berperawakan sangat tampan itu menoleh ke belakang. "Pan, aku kira siapa."
"Keadaan Brama semakin parah, sepertinya dia butuh obat. Apakah tidak ada lagi sisa-sisa infus untuk membangkitkan tenaganya?" tanya Topan sekenanya.
Arjuna pun menarik napas berat, lalu dia menatap mantap sang hababat di hadapannya. "Pan, sepertinya obat sudah tidak ada lagi. Tetapi, aku akan coba cari ke puskesmas terdekat. Kau jaga lokasi ini, agar sahabat kita bisa sembuh."
"Arjuna, aku tidak bisa membiarkanmu pergi sendirian. Di luar sedang kacau, kalau pasukan sekutu melihatmu, apa yang akan terjadi?" tanya Topan.
Menggunakan tangan kanan, Arjuna pun menyentuh pundak sang sahabat. Lalu, dia membuang senyum simpul. "Hidup atau mati, itu adalah pilihan kita. Yang pasti, jangan biarkan orang lain mati karena tidak ikut berperang."
Topan pun terdiam, dia hanya mampu menatap tanpa sepatah kata pun terucap. Anggukan kepala pun seolah mewakili untuk sahabatnya pergi, meskipun hati tidak merela karena jumlah mereka semakin minim untuk melindungi masyarakat Kota Tanjung Balai.
Ketika Arjuna berpaling, dia menghela napas berat dan menggelengkan kepala. Tak berapa lama, panggilan pun terdengar dari belakang.
"Arjuna!" Topan kembali menghentikan langkah sahabatnya. Kemudian sang sahabat menoleh. "Jangan lupa kembali," tambah Topan lagi, lalu dia pergi dari teras menuju ruang semula.
Karena suasana malam memang sudah sangat sunyi, membuat Arjuna berjalan mengendap-endap menelusri koridor beberapa pemukiman. Mereka telah bersembunyi di sebuah barak yang lumayan jauh dari kota, akan tetapi suara-suara tembakan masih terdengar di telinga.
Lelaki tampan berusia dua puluh enam tahun itu pun meletakkan badannya di samping pohon kelapa, dia menatap ke ambang jalan raya yang telah ada pasukan sekutu tengah konvoi menggunakan mobil mereka.
'Mereka masih berkeliaran jam segini, hampir aja aku melangkah begitu saja. Syukur Allah masih melindungiku,' gumam Arjuna dalam hatinya.
Tak berapa lama, dua mobil milik sekutu telah pergi dan menjauh. Arjuna pun melanjutkan perjalanannya dan melintasi jalan raya untuk dapat sampai ke sebuah puskesmas.
Setibanya di sebuah tempat yang menyimpan banyak obat-obatan, Arjuna pun menuju pintu belakang dan ingin membuka pintu tersebut. Namun, semua telah terkunci rapat dan membuat lelaki berambut cepak itu tidak bisa masuk.
Karena telah kehabisan akal, Arjuna berlari ke arah samping bangunan dan menatap sebuah jendela kaca tanpa ada besi penghalang. Menggunakan tangga bekas mengecat tembok, dia pun naik seraya membawa batu berukuran lumayan besar.
Dengan sangat cepat, Arjuna memecahkan jendela kaca dan menyelinap masuk dengan penuh hati-hati. Pecahan kaca telah berserak dan membuat seisi ruangan telah dipenuhi kepingan benda tajam itu.
Belum pun sempat mengambil obat, sebuah mobil bersuara sangat nyaring terdengar dari luar gedung puskesmas. Suara yang sama ketika Arjuna melintasi hutan kelapa, mobil konvoi para tentara sekutu bersenjata lengkap tengah patroli.
Kemudian, suara itu pun berhenti di depan puskesmas dan bergerak menuju samping gedung. Tapakkan kaki yang lumayan ramai pun terdengar di sana, ternyata para tentara telah tiba dan seperti ingin buang air di area samping gedung.
Terdengar samar, kalau para tentara itu bercerita. "Tomorrow we will look for the people who are still left in this city, so that none of them can escape from here."
Artinya: Besok kita akan mencari orang-orang yang masih tersisa di kota ini, agar mereka tidak ada yang bisa kabur dari sini."Fine, but I want to catch the girls in this town. Looks prettys to accompany our night," jawab yang satunya.
Artinya: Baiklah, tetapi aku mau menangkap gadis-gadis di kota ini. Sepertinya cantik-cantik untuk menemani malam kita."The girls here are indeed very beautiful, so that our night is not lonely and there are experimental materials," pungkas yang memiliki suara parau itu.
Artinya: Gadis-gadis di sini memang sangat cantik, agar malam kita tidak sepi dan ada bahan percobaan.'Picik! Selain ingin menikmati hasil alam negaraku, ternyata kalian juga ingin menikmati wanita-wanita di negara ini!' hardik Arjuna bersenandika.
Setelah mendengar semua siasat dari tentara sekutu, Arjuna pun menelan ludah dan kembali berjalan menunju lemari yang menyediakan obat-obatan. Suara mobil konvoi telah pergi, membuat lelaki di dalam puskesmas itu segara keluar dan membawa obat tersebut.
Bersambung ...
![](https://img.wattpad.com/cover/314858337-288-k435047.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Baret Merah (Kekejaman Tentara Jepang Yang Meluluhlantakkan Asahan)
Historická literaturaRank 1 Penjajah: 5 Juli 2022 Rank 1 Menguasai: 5 Juli 2022 Rank 1 Sejarah: 5 Juli 2022 Bercerita tentang sejarah Desa Sipaku Area, mendapatkan sebutan Area karena telah mengalami pertempuran dahsyat antara Tentara Belanda, Jepang, dan Tentara Indone...