Para pendengar yang kala itu ada di dalam ruangan, tidak dapat memberikan kata-kata. Hanya seberkas kisah masa lalu ketika peperangan tiba, menjadikan wilayah yang awalnya memiliki udara segar berubah seratus persen.
Paluh lembah darah akibat peperangan, banyak anak-anak menjerit karena kehilangan orangtua. Tangisan, teriakan, bahkan kesedihan berkepanjangan. Terkadang para pasang mata berpikir akan hal tersebut, mengapa dicipta hanya untuk ditintas.
Akibat terlalu baiknya rakyat sipil pada orang asing, membiarkan mereka bertamu dan menetap, sebelum akhirnya ingin menguasai. Sebutan benalu memang pantas tersemat untuk Belanda, dan Jepang.
Meskipun sudah berkumandang proklamasi kemerdekaan, akan tetapi masih saja terjadi pemberontakan di wilayah yang minim penduduk. Hal-hal terpintas dalam pikiran, bagaimana dengan keadaan kota besar, jika di pelosok masih belum damai dengan adanya kedaulatan.
Pagi itu, ruangan perihal pembahasan pun terhenti sejenak. Para pendengar bahkan orang sebagai pemberi keputusan membungkam. Pasalnya, strategi baru akan mereka susun hari ini.
"Baiklah, kalau begitu kita akan susun saja siapa kandidat-kandidat yang akan menjaga di wilayah perbatasan Pulu Raja, Hessa dan Simpang Kawat," kata Bapak Bupati Abdullah.
"Pak, menurut saya, mereka akan menuju ke Bandar Pulau lewat Simpang Kawat," ujar Lettu Ahmad Nurdin Lubis.
"Maaf, Komandan. Pasukan Belanda itu sangat licik, mereka tidak mungkin menyerang di satu arah. Mungkin jalur lain akan mereka ambil untuk menuju ke sini. Seperti yang kita ketahui, bahwa Jepang sekali pun sempat terkecoh karena strategi mereka," imbuh Arjuna.
"Iya, kamu benar. Belanda memiliki otak yang sangat licik. Sangat susah menebak mereka akan berbuat apa," sambung Bapak Bupati Abdullah.
"Jadi, apakah kami tetap berada di Simpang Kawat untuk menjadi barisan siap tempur, Pak?" tanya Lettu Ahmad.
Mendengar berbagai desakan dan pendapat, bapak bupati Asahan mendadak sangat pusing untuk memutuskan. Sementara, hari ini harus sudah terkodinir semua agar tidak ada lagi pasukan-pasukan yang tak punya tempat untuk menjaga.
"Ya, kalau manurut saya, Anda dan pasukan tetap berada di Simpang Kawat. Sementara kami, akan menjaga di barisan wilayah Pulau Raja dan sekitarnya," cetus Bapak Bupati Abdullah.
Mendengar keputusan itu, akhirnya penjagaan ketat di mulai hari ini. Karena sesuai pendapat Arjuna barusan, Belanda adalah pasukan yang licik dan bisa kapan saja menyerang dari segala sisi.
"Pak, apakah saya boleh membawa satu orang dari sini untuk menjadi tim perkuat tim. Katanya, di kelompok ini ada sisa tentara didikan Belanda yang sangat berpengaruh. Untuk melawan mereka, sudah pasti dia paham benar." Lettu Ahmad Nurdin Lubis menoleh ke posisi Arjuna.
"Ada, di sini masih ada tiga tentara didikan Belanda. Kamu Arjuna, berjuanglah di baris pertahanan Simpang Kawat. Mungkin mereka lebih membutuhkan strategi dari orang yang pernah menjadi bagian dari pasukan Belanda." Bapak bupati pun memerintahkan.
"Ta-tapi, Pak," jawab Topan terbata-bata.
"Baik, Pak. Saya akan ikut ke Simpang Kawat untuk menjaga barisan pertahanan. Seperti yang kita tahu, kemungkinan pasukan Belanda akan datang melintasi area tersebut," sergah Arjuna.
Mendengar keputusan itu, Topan dan Ibrahim saling tukar tatap. Pasalnya, ketiga remaja itu telah berjanji sebelum kepergian mereka dari Kota Tanjung Balai. Bahwa apa pun yang terjadi, mereka tetap akan bertiga hidup atau mati.
Akan tetapi, ironi berkata lain. Demi kepentingan masyarakat banyak, Topan dan Ibrahim harus merelakan Arjuna ikut berjuang bersama Komandan Lettu Ahmad Nurdin Lubis di perbatasan wilayah Simpang kawat.
Tidak ada yang berani membantah, karena keputusan itu sudah bulat dan akan segera dilaksanakan. Pasukan Belanda akan tiba esok hari menurut informasi. Meskipun belum tahu pasti, sebagai orang yang siap mati dalam bertempur, kapan pun harus siaga dalam melawan semua penyusup.
"Arjuna, aku ingin bicara padamu di samping," ajak Topan dan Ibrahim—sahabatnya.
"Baiklah, kalau begitu saya permisi keluar dulu, Pak." Arjuna berpamitan untuk keluar sebentar.
Di situasi sangat genting, dengan semburat arunika di tepi horison mulai merah. Ketika jemari tak mampu mendekap, dan mulut sukar untuk berucap. Ketiga remaja yang terlahir dari lain wilayah menjadi satu, kemudian bersatu karena peristiwa.
Tapakkan kaki membawa diri, menuju ke sebuah tempat yang asing bagi pasang mata. Tepat di bawah pohon kelapa, dengan daun melambai karena tiupan angin.
Setibanya ketiga remaja itu, membuka sebuah formasi perbincangan. Sejenak, Topan dan Ibrahim menatap sahabatnya sedikit penuh kekesalan.
"Arjuna, apakah kau sudah yakin dengan keputusanmu itu?" tanya Topan.
"Perihal apa, Pan?" Arjuna menyambar dengan membuang pertanyaan.
"Arjuna, kau tidak usah pura-pura tak tahu," tukas Ibrahim.
"Baiklah. Kalian adalah orang yang selama ini aku miliki layaknya sebagai saudara kandung. Tetapi ... aku juga tidak bisa menolak jika harus ikut bertempur kembali di Simpang Kawat," imbuh Arjuna sekenanya.
Kedua sahabat yang berada di posisi depan hanya menadahkan tatapan, mereka kemudian memeluk Arjuna secara bergantian.
Topan pun pun meletakkan tangan kanannya di pundak sang sahabat. "Arjuna, aku tidak ingin kehilangan sahabat terbaik lagi dengan adanya peristiwa ini."
"Aku juga. Cukup Iskandar saja yang telah pergi, kau jangan," sambar Ibrahim.
Mendengar ucapan itu, Arjuna memalingkan tatapan menuju halaman rumah. Sebuah kendaraan telah berjajar di sana dan siap membawanya pergi meninggalkan Bandar Pulau. Kali ini bukan untuk mengungsi lagi, tetapi kembali berperang untuk memertahankan keadilan.
"Mungkin aku dilahirkan untuk kepentingan negara dan orang banyak. Bebas dari penjajah Jepang, kembali masuk dalam lembah peperangan Belanda. Kalian tidak perlu khawatir akan perpisahan ini, semua hanya sementara." Arjuna mencoba meyakinkan.
"Kalau selamanya bagaimana, Juna. Apakah kau adalah bagian dari malaikat yang bisa menjamin akan selamat." Topan berkata terus menentang.
Dengan hati lapang dan ikhlas, Arjuna menyentuh pundak kedua sahabatnya. "Ingat semboyan kita. Merdeka, atau mundur."
Ucapan itu pernah dikatakan Ikandar Muda sebelumnya, menambah kesedihan kedua remaja yang takut akan kehilangan sosok berpengaruh dalam hidup mereka.
Akhirnya rela atau tidak rela, mereka pun melepas segala keputusan. Dengan harapan, kehidupan akan menjadi lebih indah selepas gelap memboyong suasana di Asahan.
Keyakinan akan menang melawan penjajah terpatri dalam hati dan pikiran, membuat siapa pun tidak mungkin bisa melawan takdir. Siang itu, ketika semburat arunika memboyong cahaya tajam memasuki lubang pori-pori kulit.
Arjuna bergerak pergi, dan memutar badan empat puluh lima derajat. "Aku pergi, kalian jaga diri baik-baik."
Ketika kakinya melangkah, Topan memanggil Arjuna kembali. "Arjuna!"
Mendapati suara lantang tersebut, remaja berusia dua puluh enam tahun itu kembali memutar tatapan. "Merdeka, atau Mundur."
Arjuna pun tersenyum kecil dan menganggukkan kepalanya. Tepat dini hari, masyarakat yang kenal siapa Arjuna dalam kehidupan di barak turut sedih akan kepergiannya.
Bahkan anak-anak juga kenal siapa dia. Remaja yang besar dan tumbuh di medan peperangan, kini kembali bertempur demi Negara Indonesia.
Bersambung ...
![](https://img.wattpad.com/cover/314858337-288-k435047.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Baret Merah (Kekejaman Tentara Jepang Yang Meluluhlantakkan Asahan)
Historická literaturaRank 1 Penjajah: 5 Juli 2022 Rank 1 Menguasai: 5 Juli 2022 Rank 1 Sejarah: 5 Juli 2022 Bercerita tentang sejarah Desa Sipaku Area, mendapatkan sebutan Area karena telah mengalami pertempuran dahsyat antara Tentara Belanda, Jepang, dan Tentara Indone...