Malam ini Alisa tengah keluar dari rumah. Gadis itu menaiki taksi, beberapa menit kemudian Alisa telah sampai di rumah sakit. Dia sedang menjengguk adiknya Raka.
Alisa memasuki ruangan nomor 116. Ia melihat Raka tengah memakan buah apel yang sudah terkelupas dan telah terpotong. Alisa yang melihat itu tampak heran, siapa yang memberikan buah sebanyak ini?
"Raka, kau mendapatkan sepaket buah-buahan dari siapa?" tanya Alisa sambil mendudukkan dirinya di kursi samping brankar Raka.
"Zea, tadi dia datang menjenggukku, Kak."
"Apakah yang kau maksud Zea Anayra Raharja?"
"Iya, kok kakak bisa tahu temen sekelas aku."
"Dia teman sekelas kamu?"
"Ya, dia sebangku denganku."
Satu jam sudah terlewati, usai menjengguk Raka. Alisa pulang dengan jalan kaki, sebab dari tadi ia belum menemukan taksi sama sekali. Mungkin karena hari sudah terlalu malam, jadi sulit mendapatkan kendaraan umum.
Makin lama, jalanan makin sepi. Alisa pun mempercepat langkahnya. Di depan, ia melihat ada dua laki-laki yang berbincang. Laki-laki itu terlihat seperti preman, lantas Alisa merasa ketakutan. Ia tidak tahu harus berbuat apa? Ini adalah jalan satu-satunya menuju rumah Zain.
Zain menyetir mobilnya dengan rasa kantuk. Namun, ia mencoba untuk menahannya. Ia melihat ada seorang wanita yang tengah dikerumuni dua laki-laki. Ia tidak peduli itu, lagian Zain juga tidak mengenal mereka.
Alisa, gadis itu terlihat ketakutan. Baru saja ia melihat mobil yang tidak asing melewati dirinya.
"I-itu 'kan mobilnya Mas Zain. Dia? Dia bahkan tidak berhenti untuk menolongku?" batin Alisa, matanya mulai berkaca-kaca.
"Ayolah cantik, ikut dengan kami," ucap salah satu preman tersebut.
"Tidak!" teriak Alisa.
Kedua preman bertubuh kekar itu menyeret Alisa, gadis itu berusaha melepaskan diri. Berkali-kali ia berteriak meminta pertolongan, tapi tak ada siapapun di sana. Tiba-tiba sebuah mobil berhenti tepat di samping mereka. Sang pengemudi pun membukakan kaca mobilnya, Alisa tahu betul itu mobil siapa.
"Hei kawan," sapanya sambil tersenyum.
"Kalian sedang apa?" tanyanya masih di dalam mobil.
Kedua pria bertubuh kekar itu terlihat bingung. "Siapa kau?"
Pria di dalam mobil itu menyungging senyum. "Kawan, lepaskan saja wanita itu. Dia itu janda anak tujuh," ucapnya asal.
"Ah, yang benar saja. Cantik-cantik gini dibilang janda," sahut salah satu preman.
Ingin rasanya Alisa menampar pria di dalam mobil itu. Tapi dia tidak mempunyai keberanian, bisa habis riwayatnya kalau menampar pria tersebut.
Pintu mobil terbuka, menampakkan pria tampan yang sangat Alisa kenal. Siapa lagi kalau buka tuan muda Zain, suami Alisa sendiri. Pria itu berjalan mendekati Alisa dan kedua preman.
"Iya, kawan. Percaya padaku, aku satu komplek dengannya. Dia terkenal janda anak tujuh. Wanita ini ditinggal suaminya, dan dia menjadi-" Zain menggantung ucapannya sambil tersenyum smirk.
"Dia menjadi gila, kerjaannya tiap malam datang ke kuburan suaminya," bisik Zain pada salah satu preman dengan seringain kecil.
Preman itu bergidik ngeri, sedangkan Alisa menatap Zain dengan tatapan kesal. Entah apa yang Zain katakan pada preman itu.
"Gimana? Masih mau membawa gadis ini tidak?"
Kedua preman itu saling memandang satu sama lain, ia pun memutuskan untuk melepas Alisa. Setelah kedua preman itu pergi, Alisa memicingkan mata ke arah Zain.
"Apa lihat-lihat?! Sana masuk!" ucapnya terlihat ketus.
Zain masuk ke dalam mobil meninggalkan Alisa yang masih diam terpaku. Zain menekan klakson mobil dua kali secara keras, Alisa yang menyadari itu pun segera masuk ke dalam mobil bagian belakang.
"Siapa yang menyuruhmu duduk di belakang, hah?! Kau pikir aku ini sopirmu? Pindah ke depan!"
Alisa pun menuruti permintaan Zain, bergegas ia pindah ke depan sebelum lelaki itu memarahinya lagi.
Di dalam perjalanan, keheningan menyemuti keduanya, tak ada percakapan sama sekali. Beberapa menit sebelumnya, Zain tidak ada niatan untuk menolong Alisa. Dari awal ia sudah tahu betul jika gadis yang diganggu preman itu adalah istrinya. Lagian Zain juga benci sama Alisa, untuk apa dia menolongnya.
Namun, ia teringat sesuatu. Ibunya pernah bilang, ia akan diturunkan dari jabatan direktur dan dicoret sari kartu keluarga jika terjadi sesuatu pada Alisa. Saking sayangnya dengan menantunya itu, sampai-sampai Maya tega dengan putranya, begitu pikir Zain.
"Aish, menyebalkan!" umpat Zain dalam hati.
Alisa penasaran apa yang Zain katakan pada kedua preman itu sampai-sampai ia terlepas. Ah, ia tidak mau berpikir lagi. Lantas ia pun bertanya pada Zain, tetapi yang ditanya tidak menjawab pertanyaan tersebut.
"Tidak usah ge-er. Aku bukan nyemalatin kamu, tapi menyelamatkan jabatanku." Itulah yang Zain katakan terakhir kali sebelum sampai di pekarangan rumah, suaranya terdengar sinis.
Bersambung...
Visualisasi mereka:)
Maaf ga sesuai ekspektasi kalian
Yang ga suka bisa di skip aja ya, heheAlisa Anindita
Zain Aditya Raharja
29 Juni 2022
Terima kasih buat yang sudah mampir, jangan lupa vote ya.
KAMU SEDANG MEMBACA
IM SORRY
Romance"Jika bukan karena aku membutuhkan biaya operasi adikku, aku tidak akan pernah mau menerima tawaran ini."-Alisa Anindita. "Jangan pernah mengharapkan cinta dariku, karena wanita yang kucintai bukanlah dirimu."-Zain Aditya Raharja. Menjadi istri dari...