03. IS : Kemarahan

590 24 0
                                    

Setelah beberapa lama berkutat di dapur yang luas itu, akhirnya masakan Alisa sudah selesai. Setelah menyiapkan segalanya di atas meja makan, ia pun naik ke lantai atas untuk memanggil Zain. Tapi mereka malah berpapasan di anak tangga paling atas, Zain sudah rapi dengan setelan kerjanya.

"Sarapan sudah siap," ucap Alisa, sedangkan Zain hanya berdehem.

"Bangunkan Zea." Pesan Zain sebelum menuruni anak tangga, dan dibalas anggukan oleh gadis itu.

Zain melangkahkan kakinya ke meja makan, menduduki kursinya. Ia sepertinya terlalu lapar hingga tak ingin menunggu lama.

Seperkian detik berikutnya, Alisa membuka pintu kamar Zea yang tidak terkunci. Kamar itu begitu berantakan, barang-barang berserakan di mana-mana.

Dirinya tak melihat ada Zea di dalam ruangan itu. Alisa sudah mengeceknya, bahkan di kamar mandi pun tidak ada. Ia pun keluar dari ruangan tersebut dan menuruni anak tangga dengan rasa panik.

"Tuan Zain, Zea tidak ada di kamarnya," ujar Alisa merasa khawatir.

Zain yang tadinya menyantap masakan Alisa pun berhenti. Sekali lagi Zain dibuat kesal dengan tingkah adiknya itu. Sudah bisa ditebak, jika Zea tidak ada di kamarnya itu berarti dia sudah keluar dari rumah pagi-pagi sebelum dirinya bangun.

"Biarkan saja."

"Biarkan saja? Zea tidak ada di rumah, bagaimana kalau dia hilang?" Alisa merasa cemas jika terjadi sesuatu pada Zea.

Sepertinya Zain tidak terlalu peduli dengan hilangnya Zea. Dia justru melanjutkan sarapannya, setelah selesai makan, pria itu pun keluar dari rumah tanpa sepatah kata.

"Apa aku harus mencari, Zea?" ucap Alisa pada dirinya sendiri.

"Ah, tidak. Lebih baik aku tidak usah ikut campur atau nanti Tuan Zain akan memarahiku." Alisa berharap tidak terjadi apa-apa terhadap Zea, selanjutnya ia pun melakukan aktivitasnya seperti hari-hari sebelumnya.

***

"Permisi, Tuan."

Seorang laki-laki memasuki ruangan khusus Direktur ZR Corporation. Ia berjalan mendekati seorang lelaki yang tengah duduk membelakanginya dengan satu kaki yang terangkat di atas lututnya. Laki-laki itu memutar kursi hingga kursi kerja yang ia duduki menghadap persis ke arah seorang laki-laki yang baru saja masuk itu.

"Bagaimana?" tanya laki-laki yang tak lain ialah Zain.

"Saya sudah melaksanakan perintahmu, Tuan." Lelaki itu tak lain ialah Bima, Sekretaris Zain.

"Apa kau sudah mengirimnya ke rumah Nona Luna?"

"Sudah, Tuan."

"Baiklah, kau bisa keluar sekarang."

Bima mengangguk, memutar tubuhnya dan berjalan keluar dari ruangan bosnya itu. Zain menurunkan kakinya dan beranjak berdiri meninggalkan tempat duduknya.

Sebelum dirinya melangkah, sebuah getaran ponsel yang ada di atas meja membuyarkan niatnya. Diliriknya benda pipih itu, tertera nama Bu Guru Sinta yang tak lain wali kelas Zea, adiknya.

Kenapa guru Zea menelpon? Apa Zea membuat ulah? Begitu pikir Zain.

Sesegera Zain mengambil ponselnya dan mengangkat panggilan tersebut.

"....."

"Baik, saya akan segera ke sana." Setelah selesai, Zain mematikan panggilan. Tanpa berpikir panjang, laki-laki itu langsung keluar meninggalkan ruangannya.

"Tuan, mau ke mana? Sepuluh menit lagi kita akan mengadakan meeting." Zain berpapasan dengan Bima saat di depan pintu ruangannya.

"Kau saja yang urus, aku ada urusan mendadak." Tanpa menunggu jawaban sekretarisnya itu, Zain langsung melangkahkan kakinya, berjalan menuju lift.

Satu jam kemudian, gadis enam belas tahun itu membuka pintu mobil, keluar dengan perasaan kesal dicampur kemarahan. Gadis itu berlari masuk ke dalam rumah, meninggalkan seorang pria yang baru saja keluar dari dalam mobil.

Zea, gadis itu menaiki tangga dengan cepat. Sesampainya di kamar, ia membuang tas ranselnya sembarangan. Kemudian menghempaskan tubuhnya di atas ranjang miliknya. Seketika air bening membasahi sudut matanya, mengalir deras membasahi pipinya.

Di meja makan, Zain menuangkan air minum ke gelas. Lalu meneguknya sembari duduk di salah satu kursi. Laki-laki itu memijat pelipisnya, ia mengingat kejadian beberapa menit yang lalu. Emosinya benar-benar tak terkendali, sampai-sampai dirinya menampar adiknya sendiri.

"Tuan Zain sudah pulang? Tuan mau apa, biar bibi ambilkan."

"Di mana Alisa?"

"Tadi pagi dia minta izin untuk pergi ke pasar, tetapi sampai sekarang belum pulang. Bibi takut terjadi sesuatu pada Non Alisa."

Zain melirik arloji yang melekat di tangan kirinya, menunjukan pukul 11:18 siang.

"Buatkan saya kopi dingin dan bawa ke kamar, Bi." Zain meninggalkan Bi Minah, dan beranjak pergi menuju kamarnya.

Dirinya sangat lelah, dia bahkan tak peduli dengan Alisa pembantu barunya itu yang belum pulang sejak tadi pagi. Begitu juga dengan adiknya. Zain tak memperdulikan jika adiknya itu marah kepadanya.

***

Hari sudah malam, seperti biasa Zain makan malam sendiri tanpa Zea. Gadis itu tidak keluar kamar sejak siang tadi, bahkan adiknya itu belum makan apa pun. Ruang makan itu begitu sepi, tak ada suara sama sekali kecuali hanya denduman alat makan.

Bi Minah berniat membawakan makanan ke kamar, tetapi Zain mencegahnya.

"Biar Zain saja yang membawakannya, Bi." Zain mengambil alih piring yang sudah berisi nasi goreng dan segelas air putih.

Pintu kamar terbuka, memperlihatkan gadis yang masih berseragam itu menoleh ke arah pintu sembari memutar bola matanya malas.

"Zea makanlah," ucap Zain datar sambil menaruh piring dan gelas itu di atas meja belajar.

"Aku tidak lapar," jawab Zea ketus.

Zain terdiam, menghela napas pelan.

"Kakak minta maaf atas kejadian tadi siang, kakak sudah memarahimu dan-"

Zea memotong perkataan kakaknya. "Sudahlah, tidak usah basa-basi. Keluar dari kamarku!"

"Mau sampai kapan kau membenciku, Zea? Aku ini kakakmu."

Zea tidak menjawab.

"Baiklah kalau begitu, kau bisa membenci kakakmu ini. Tapi makanlah, kau belum makan sejak tadi pagi. Jika kau sakit, aku juga yang repot."

Sekali lagi tak ada jawaban dari gadis itu. Merasa kesal, Zain memilih untuk keluar saja kamar adiknya itu.

Bersambung....

12 Maret 2022
Terima kasih untuk semuanya.

IM SORRYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang