15. IS : Dansa Penuh Luka

409 14 0
                                    

Dua hari setelah kejadian fitnah itu, selepas mengantar Luna ke rumah sakit Zain langsung membukakan pintu gudang. Bukan sebab kasihan, namun ia teringat apabila mamanya datang bertamu ke rumahnya, itu akan menjadi masalah besar.

Selama dua hari ini pun Zain tak berbicara dengan istrinya, Alisa sudah berusaha menjelaskan, tapi Zain tak pernah mempercayainya sedikitpun.

Saat ini Zain sedang berada di cafe bersama Luna kekasihnya. Mereka berdua terlihat bersenda gurau, sebelum ke cafe Zain sempat pergi ke toko perhiasan untuk membelikan Luna sebuah kalung sebagai hadiah.

Zain benar-benar keterlaluan, ia bahkan belum pernah membelikan perhiasan pada istrinya sendiri. Waktu pernikahan, Maya yang membelikan perhiasan bukan dirinya.

"Ya ampun ... ini bagus banget. Dari dulu kamu tuh gak pernah gagal beri aku hadiah," ucap Luna senang sembari menatap kalung yang baru saja Zain pasangkan di lehernya.

"Pastilah Sayang, apapun yang kamu minta bakalan aku turuti." Zain menjawab sembari tersenyum.

"Ceraikan istrimu itu."

Zain termenung beberapa saat. "Itu pasti, tapi aku butuh waktu, Sayang. Mama pasti akan curiga jika tiba-tiba aku menceraikannya tanpa sebab."

Luna mencebik kesal, wajahnya cemberut. "Tapi kau tidak mencintai gadis itu 'kan?" tanya Luna memastikan.

"Tidak sama sekali, ngapain aku suka gadis kampung seperti dia. Lagian aku sudah memiliki bidadari di depanku," ucap Zain, gombal.

Luna tersipu malu, wajahnya merah padam. "Gombal, tapi iya sih aku memang cantik seperti bidadari." Luna membanggakan diri.

Tiba-tiba sepasang suami-istri yang sedang bergandengan tangan menghampiri meja mereka. Sang pria menaruh sebuah kartu undangan di depan Zain.

"Undangan untukmu Zain," ujar Andika yang tak lain sahabat masa kecil Zain, yang ia temui beberapa hari lalu di Mall.

"Undangan apa nih?" tanya Zain heran.

"Pesta, malam ini aku ngerayain pesta atas kehamilan istriku, jangan lupa datang bersama istrimu juga Zain." Andika berucap sembari senyum menatap istrinya yang berada di sampingnya.

"Istrimu hamil? Wah, selamat ya bro, bentar lagi kau akan jadi seorang ayah." Zain bangkit untuk memberikan jabatan tangan serta pelukan terhadap sahabatnya.

"Siapa dia, Zain?" tanya Andika setelah melepas pelukannya seraya melihat ke arah Luna.

Maklum jika Andika tidak mengenal Luna karena dirinya sudah tinggal lamanya di luar negeri.

"Oh ini, dia ... klien bisnisku," jawab Zain berbohong.

Luna yang dikatakan klien pun tidak tinggal diam, dia ingin marah. Tapi sebelum itu, ia sudah diberi isyarat oleh Zain agar mengikuti sandiwara kebohongan ini sejenak. Akhirnya Luna pun menghembuskan napas, mencoba menenangkan hati dan pikirannya.

"Oh, aku kira dia selingkuhanmu," celutuk Andika sambil terkekeh pelan.

"Ck, ya enggaklah."

Zain tersenyum paksa. "Oh iya, silahkan duduk." Zain mempersilahkan Andika dan istrinya untuk duduk.

"Terima kasih Zain, tapi kami harus pergi dulu. Masih ada keperluan yang harus kami lakukan."

"Iya, Zain. Kami pamit dulu," sahut istri Andika.

"Baiklah, kalian hati-hati di jalan."

"Tentu, jangan lupa nanti malam. Ajak istrimu juga." Ucapan Andika yang dibalas senyuman oleh Zain. Lantas, Andika dan istrinya pun pergi meninggalkan mereka.

IM SORRYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang