16. IS : Racun

440 12 0
                                    

Sang pria menyuruh Alisa untuk menerima sapu tangan tersebut. Setelah sapu tangan tersebut diterima Alisa, pria muda yang mungkin seumuran dengan suaminya duduk di samping dirinya. Alisa mengusap air matanya yang membasahi pipi dengan sapu tangan pemberian pria itu.

“Jangan menangis, wanita sepertimu tidak pantas untuk menangis. Nanti cantiknya hilang,” ucap pria itu disertai kekehan kecil.

Alisa mencoba menghentikan tangisannya.

“Tersenyumlah, wanita cantik sepertimu berhak tersenyum.”

Pria itu menatap ke arah Alisa. “Oh iya, perkenalkan namaku Vano. Namamu?” Pria yang baru diketahui namanya itu mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan dengan Alisa.

Alisa terdiam sesaat, Vano yang merasa jabatan tangannya membuat Alisa terganggu pun menyingkarkan tangannya itu, ia tidak jadi untuk berjabatan tangan dengan Alisa.

“Baiklah jika kau tidak mau memberi tahu namamu, itu tidak masalah. Yang jelas, jangan menangis lagi. Tersenyumlah,” ucap Vano.

Seulas senyum pun Alisa perlihatkan. Vano yang melihat itu pun merasa senang.

“Nah, gitu dong. Em, kalau boleh tahu ... Itu suami Nona, ya?” tanya Vano.

“Jangan memanggilku dengan sebutan Nona. Panggil saja Alisa.” Akhirnya Alisa pun mau berbicara, ia sudah terlihat lebih tenang dari sebelumnya.

Vano hanya mengangguk paham. Merasa pertanyaannya tak terjawab, ia pun mencoba mengalihkan pembicaraan.

“Kau sudah merasa tenang? Kau harus kembali ke pesta kalau begitu,” ucap Vano.

Alisa menggeleng pelan. “Tidak ada yang mengharapkan kehadiranku di sana,” jawab Alisa pelan.

“Kau tidak boleh berpikiran seperti itu Alisa. Kau harus kuat, kau harus buktikan pada suamimu itu, kalau kau tidak lemah.”

“Jika kau terlihat begitu rapuh, suamimu akan terus menindasmu,” lanjut Vano mencoba menyemangati Alisa.

Alisa berpikir sejenak, benar yang dikatakan Vano. Ia tidak boleh terlihat begitu lemah.

“Kau benar, aku harus kembali ke sana.”

“Hm, semangat.”

Alisa mengangguk, ia pun mengucapkan terima kasih pada Vano sebelum akhirnya ia pergi meninggalkan Vano yang masih berdiam diri. Vano tersenyum melihat kepergian Alisa. Sepertinya ia mulai menaruh hati pada wanita itu. Vano pun berjalan mengikuti Alisa. Ya, Vano juga diundang dalam pesta tersebut.

Di dalam rumah itu terlihat begitu tenang, di sana terlihat Zain yang sedang memainkan piano. Semua orang terhipnotis dengan instrumen piano yang Zain mainkan.

“Nona, apa kau bisa memberikan susu ini pada Nona Serlin? Aku dipanggil oleh ketua pelayan untuk melakukan aktivitas yang lain,” ucap seorang pelayan wanita pada Alisa.

“Ini,” ucap pelayan itu sambil menyodorkan segelas susu pada Alisa.

“Nona Serlin istri Tuan Andika, ya?” tanya Alisa seraya menerima segelas susu tersebut.

“Iya, terima kasih Nona. Saya tinggal dulu,” ucap pelayan itu kemudian pergi meninggalkan Alisa.

Sesampainya di depan Serlin, Alisa memberikan segelas susu tersebut. Serlin pun menerima segelas susu itu dengan senyuman. Beberapa detik kemudian setelah susu itu dimimum oleh Serlin. Tiba-tiba ia merasakan sakit di perutnya.

“Akh ... perutku sakit sekali,” ringis Serlin sambil memegangi perutnya.

“Kenapa? Apa yang terjadi? Cepat, panggilkan dokter!” ucap Alisa berteriak.

IM SORRYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang