12. IS : Maag bukan Sakit Kepala!

460 16 0
                                    

Sudah satu minggu Alisa dan Zain tidak tinggal bersama. Zain sendiri tidak berusaha untuk mencari Alisa, toh dia sendiri yang pergi. Namun, akhir-akhir ini Zain terlihat berbeda. Makannya jadi telat, pulang sampai larut malam dengan keadaan mabuk.

Malam ini Zain pulang lebih awal tanpa mabuk, tiba-tiba perutnya terasa sangat sakit. Mungkin efek telat makan beberapa hari ini. Jadi, sekarang ia memutuskan untuk cepat membersihkan diri kemudian berbaring di kasur.

Beberapa menit kemudian ia menelpon Zea, menyuruh adiknya itu untuk datang ke rumah. Tak berselang lama, kini Zea sudah berada di kamar Zain.

Ia berdiri di samping ranjang sambil bersendekap dada. "Apa?" tanyanya.

"Belikan kakak obat sakit perut," pinta Zain.

"Emang di rumah kakak gak ada obat?"

"Habis Zea. Sudah cepetan beliin sekarang juga. Uangnya ada di atas lemari nakas." Zain berucap sambil menahan rasa sakit diperutnya.

"Tapi ada syaratnya, Zea minta bayaran!"

Benar-benar adik tidak tahu diri, Zain menghela nafas sebelum akhirnya bangun membuka dompet memberikan beberapa lembar uang berwarna merah pada adiknya. Sedangkan yang diberi hanya cekikikan saja.

Setelah beberapa menit, akhirnya Zea kembali dengan membawa obat. Ia langsung melempar obat tersebut ke atas selimut yang Zain pakai. Kemudian Zain terbangun, bersandar di kepala ranjang.

Saat hendak keluar dari kamar, Zain memanggilnya kembali.

"Apa lagi?" geram Zea.

"Tolong ambilkan kakak air."

"Kakak kan masih punya kaki, ambil saja sendiri." Zea pun keluar tanpa memperdulikan teriakan kakaknya.

"Zea! Kau benar-benar keterlaluan, kakak ini sedang sakit!" teriak Zain.

Seperkian detik berikutnya, Zea datang membawa segelas air putih. Lalu menyodorkannya pada Zain.

"Taruh di atas nakas."

Zea mencebik kesal. "Merepotkan!" cibir Zea lalu menaruh gelas di atas nakas.

Di saat Zea sudah sampai pintu. Lagi-lagi Zain memanggilnya, membuat gadis itu harus berbalik menghampiri kakaknya.

"Apa lagi sih?"

"Kau gila, ya. Ini obat sakit kepala!"

"Apa salahnya, kan sama aja."

"Ck, kau benar-benar tidak bisa diandalkan. Sekarang, tukar obatnya, dan belikan kakak obat maag."

Zea memutar bola matanya malas. Alih-alih mau mendengarkan, ia justru pergi dari kamar Zain, tanpa menggubris perintah dari kakaknya itu.

"Hei, kau mau kemana? Zea, belikan obatnya sekarang juga. Kau mau membuat kakakmu mati kesakitan, ya?!" Zain berteriak tanpa dipedulikan oleh adiknya.

Zain mengusap wajahnya kasar, terpaksa ia harus menahan rasa sakit diperutnya itu. Zain tak berdaya, tak ada siapapun yang mau membantunya. Ia sudah mencoba menghubungi Luna, tapi gadis itu bilang nanti juga akan sembuh sendiri.

Di teras rumah Zea menghubungi nomor Alisa. Zea sendiri sudah tahu di mana Alisa berada, ia juga tahu kalau sepasang suami-istri ini sedang bertengkar. Sebab, beberapa hari terakhir ini Zea sering menghubungi Alisa.

"Halo Kak Alisa."

"Iya, halo Zea. Ada apa?"

"Kak cepetan kemari, Kak Zain hampir mati!" ceplos Zea sambil menahan tawa.

"Jangan berbohong, Zea."

"Beneran Kak, dia mau mati. Cepetan datang dan rawat dia."

Zea pun memutuskan panggilan secara sepihak. Alisa yang merasa khawatir pun memutuskan untuk datang ke rumah Zain, meskipun mereka sedang tidak baikan.

Kini Zain telah meminum obat dengan benar, beberapa saat lalu Alisa datang lalu membelikannya obat maag. Sekarang gadis itu tengah menyiapkan bubur di dapur untuk Zain.

Tiba-tiba Zain datang ke dapur, mendekat ke arah Alisa.

"Em, aku ... Aku mau mengucapkan terima kasih." Zain basa-basi.

"Hm." Alisa hanya berdeham saja, ia sibuk mengaduk bubur.

"Aku tulus, terima kasih sudah merawatku."

Alisa hanya diam, karena ia masih teringat akan kejadian satu minggu yang lalu.

Prak!

Karena merasa kesal, Zain langsung menggebrak meja. Dan seketika Alisa terperanjat kaget seraya mengelus dada pelan.

Zain membalikkan badan Alisa secara paksa. Ia menekan cengkraman tangan di bahu Alisa, menatap lekat wajah Alisa di depannya.

"Kau! Aku tidak suka diabaikan. Apa masalahmu, hah?! Satu minggu kau menghilang dari rumah, dan berani-berani sekarang kau mendiamkanku. Sekarang kau memiliki suami, jadi sudah seharusnya kau mengurusku satu minggu ini, bukannya pergi tanpa alasan!"

Melihat Alisa merindu, Zain melepas cengkramannya dari bahu Alisa.

"Suami? Kata itu tidak pantas untukmu. Suami mana yang meninggal istrinya demi wanita lain, hah?! Bermain, bermesraan, bercumbu bersama. Kau menyuruhku untuk menganggapmu suami, tapi apa kau sendiri sudah menganggapku sebagai istrimu?"

Zain terkesiap, ia terdiam tak bersuara.

"Kenapa diam? Ayo jawab, Mas!"

"Kau bahkan tak mencariku, ataupun minta maaf. Kau tidak pantas disebut suami setelah apa yang kau lakukan padaku selama ini."

"Sudah, katanya sakit, kembali saja berbaring. Aku akan mengantar buburnya ke kamar Mas nanti," lanjut Alisa lalu mematikan kompor merasa buburnya sudah matang.

Di balik pintu, Zea mendengar pertengkaran antara kakaknya dan kakak ipar. Ia merasa harus mencari cara untuk mencairkan suasana perselihan ini. Detik berikutnya, si gadis SMP kelas tiga ini mendapatkan sebuah ide.

Diam-diam ia memberitahu ibunya, kalau Zain sakit parah, dan membutuhkan kehadiran Maya. Meski awalnya Zain sudah memperingati adiknya untuk tidak memberitahu apapun kepada ibunya waktu di telepon tadi. Untuk konsekuensinya akan Zea pikirnya nanti saja. Pasti hanya mendapat amukan dari kakaknya saja, begitu pikir Zea.

Zain menerima bubur buatan Alisa, memakannya dengan lahap setelah Alisa keluar dari kamar, perutnya sekarang sudah lumayan membaik.

Sudah jam setengah sembilan, Alisa berniat untuk kembali ke rumah Lea. Namun, disaat mau membuka pintu, ia dikagetkan dengan kedatangan Maya.

"Mama?"

Maya tersenyum. "Iya, gimana kabarnya Zain, Nak? Apa sakitnya parah?" tanya Maya.

"Em, masuk dulu, Ma."

Alisa mempersilahkan Maya masuk, iapun mengurungkan niatnya, menunggu sampai Maya pulang, baru ia akan pergi.

"Maaf ya, Nak. Zain pasti merepotkanmu, ya?"

"Ah, enggak kok, Ma." Alisa tersenyum kikuk.

"Mama, mau minum apa biar Alisa buatkan," ucap Alisa menawarkan minuman.

"Nanti aja, Mama mau jenguk Zain dulu, bagaimana kabarnya?"

"Iya, Mas Zain sudah lumayan baik, Ma."

Maya mengangguk-angguk pelan, ia menaiki tangga menuju kamar Zain. Alisa memutuskan untuk pergi ke dapur, memberikan waktu ibu dan anak untuk bersama.

Bersambung .....

Terima sudah mampir ke sini, jangan lupa vote dan ikuti alyafzyh04, sampai jumpa kembali.

09/09/2022

IM SORRYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang