18. IS : Ice Cream

520 16 0
                                    

Alisa turun dari taksi, ia melihat ke arah sekitar. Tidak ada penampakan Zea. Ya, tadi ia mendapatkan pesan dari Zea untuk datang ke cafe. Katanya Zea butuh bantuan tentang materi pembelajaran. Awalnya Alisa menyarankan untuk belajar di rumah saja, tapi gadis berusia tujuh belas tahun itu tidak mau.

Alisa masuk ke dalam cafe, ia mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Di ujung dekat jendela, Zea melambaikan tangan dan berteriak memanggil pada Alisa yang masih di dekat pintu masuk.

Alisa pun berjalan menghampiri Zea, lalu duduk di salah satu kursi.

“Di mana teman-temanmu, Zea? Katanya kau mau belajar dengan teman-temanmu juga?” tanya Alisa.

Zea hanya tersenyum. “Sebentar lagi juga akan datang,” jawab Zea.

Alisa menoleh ketika mendengar derap langkah sepasang kaki yang mendekat.

“Mas Zain?” batin Alisa.

Zain duduk di tempatnya dekat Zea. Alisa yang berada di sana terlihat bingung. Apa maksudnya semua ini? Alisa menatap Zea seakan meminta penjelasan tentang kedatangan Zain.

Semuanya tampak diam, Zain sibuk dengan handphone-nya. Pesanan yang Zea pesan beberapa menit yang lalu sebelum kedatangan Alisa pun akhirnya datang. Tiga mangkuk ice cream tertata rapi di atas meja, dengan rasa yang berbeda-beda pastinya.

Zea langsung menyantap ice cream miliknya. Zea berucap, “Kak Alisa ayo makan ice creamnya.”

Zea pun dibalas anggukan oleh Alisa. Sedangkan, Zain pria itu menikmati ice cream nya dengan tenang.

“Kak, suapi aku dong?”

“Makan saja sendiri, jangan mengangguku!” Zain pun menoleh ke arah jendela kaca memandang ke arah luar.

“Ah, ayolah. Aku ingin mencoba ice cream punyamu,” ucap Zea

“Ambil saja sendiri! Kenapa kamu jadi seperti anak kecil?”

“Aku maunya disuapi, kan Zea gak pernah tuh disuapi Kak Zain,” ucap Zea sembari menguncang-guncang lengan kakaknya.

Zain menghembuskan napas kasar. “Oke, kakak suapi!” Zain pun mengambil sendok dan menyuapi ice cream adiknya.

Kemudian perhatiannya dicuri oleh Alisa yang sedap tadi tersenyum memandangi perkelahian yang menurutnya lucu.

“Kau mau juga?” tanya Zain pada istrinya dengan nada yang datar.

Tarikan ujung bibir Alisa menghilang, membentuk garis datar. Ia melongo pada Zain yang sedang menatapnya.

“Hah? Kau tanya apa tadi?”

“Dasar tuli!” umpat Zain sembari memutar matanya jengah.

Umpatan itu tentu saja membuat Alisa naik darah. Ekspresinya berubah masam seketika. Ia kemudian mengalihkan pandangannya.

Zain berdeham dan membuat Alisa terpaksa menoleh. Kemudian ia reflek memundurkan wajahnya kaget ketika tangan Zain berada di depan wajahnya, memegang sendok berisi ice cream.

“Apa?” Dengan polos Alisa bertanya, padahal sudah jelas apa maksud dari Zain.

“Buka mulutmu!” Zain lebih mendekatkan sendok tersebut ke mulut Alisa.

“Kak Alisa ayo cepat buka mulutmu,” pinta Zea tersenyum.

Alisa melirik sekilas kemudian ragu-ragu membuka mulutnya. Membiarkan es krim dari Zain itu meleleh dengan manis di dalam ruang mulutnya. Tanpa sadar, jantung Zain berdegup dengan kencang. Sama seperti pertama kali ia menyatakan perasaannya pada Luna.

IM SORRYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang