Pagi ini sudah dibuat heboh oleh teriakan Zea. Maya hanya menggeleng-geleng kepala saat melihat putri bungsunya itu berteriak mencoba membangunkan pasutri yang masih terlelap tidur di kamar.
Zain terbangun, mengedarkan pandangan ke arah sekitar. Ia mendapati Alisa yang tengah tidur di lantai samping ranjangnya. Tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu dari luar ruangan.
"Zain, ini mama. Apa kalian berdua sudah bangun? Tolong buka pintunya, Nak ... Ada yang mau mama omongin," ujar Maya di balik pintu.
Zain yang mendengar itu, reflek langsung turun dari ranjang. Ia berniat membangunkan Alisa, tapi ada rasa tidak tega. Jadinya ia langsung mengangkat tubuh gadis itu, lalu memindahkannya ke atas ranjang.
Setelah menyelimuti tubuh Alisa kembali, Zain melangkah untuk membukakan pintu.
"Pagi, Ma," sapanya sambil tersenyum paksa.
Maya menengok ke arah belakang Zain, ia mendapati Alisa yang masih tertidur pulas di atas kasur. Wanita paruh baya ini pun tersenyum.
"Alisa masih tidur ya?"
"Iya, Ma. Ada apa?"
"Mama mau ngajak kalian jalan-jalan. Sekali-kali kita refresing. Hari ini kamu gak usah masuk kerja. Jadi sekarang bangunkan istrimu."
"Apa? Tapi hari ini aku ada meeting, Ma. Jadi Zain tidak bisa ikut bersama kalian." Zain tersenyum sekilas.
"Sudah jangan banyak alasan. Meeting biar Bima yang handle. Kamu turuti saja permintaan mama."
"Gak bisa, Ma. Ini meeting sama klien penting. Zain harus masuk ke kantor hari ini."
"Lagian kamu kan baru sembuh. Bilang saja sama klien kamu kalau kamu masih sakit, belum bisa ikut meeting. Sudah, pokoknya mama tidak suka ada kata penolakan. Cepat, bangunkan istrimu. Mama tunggu di bawah." Usai berucap, Maya langsung meninggalkan Zain.
Zain mengusap wajahnya kasar. Kemudian menutup pintu, berbalik menatap gadis yang tidak ia anggap seperti istri. Sepertinya drama ini masih akan berlanjut sampai sore. Ya, mereka berdua berakting layaknya suami-istri pada umumnya.
Tiga jam berlalu, mereka telah menghabiskan waktu lamanya di mall. Sudah ada delapan paperbag di tangan Zain. Jatuh sudah harga dirinya sebagai direktur. Ia harus mengikuti dua wanita yang berbeda usia itu ke mana-mana.
Tadi sudah membeli baju dan tas, sekarang mereka berkunjung ke toko parfum. Zain benar-benar dianggap seperti pembantu. Apapun yang mereka beli, Zain yang akan membayar. Setelah itu, Zain juga yang harus membawa barangnya.
"Wanita memang merepotkan," cibir Zain, pelan.
Tak berselang lama, Alisa meminta izin untuk pergi ke toilet. Lantas Maya pun menyuruh Zain untuk menemani Alisa. Namun, Alisa menolaknya. Tapi siapa yang berani membantah Maya, dengan terpaksa mereka pun pergi bersama.
Keheningan menyelimuti keduanya. Sesekali Zain melirik Alisa sekilas. Entah kenapa Zain merasa hatinya tenang saat melihat wajah istrinya itu. Segaris senyum tercetak, sebelum akhirnya seseorang datang menyapa mereka. Seketika senyuman itu langsung pudar.
"Hai, Zain! Tambah ganteng aja kamu," sapanya seraya berjabat tangan dengan Zain.
"Masih kenal denganku?"
"Pasti, Andika."
"Aku tebak, pasti ini istri cantikmu yang tante Maya bilang." Andika melirik sekilas ke arah Alisa.
Zain hanya tersenyum. "Oh ya, kapan kau sampai di sini?" Zain mencoba mengalihkan pembicaraan.
"Dua hari lalu."
"Wah, kok aku baru tahu. Kenapa gak kabar-kabar kalau mau ke Indonesia?"
"Kau aja yang terlalu sibuk. Aku sudah dua kali ketemu sama tante Maya sejak mendarat di sini."
Alisa meminta izin untuk pergi ke toilet sendiri. Zain yang memang dari awal tidak niat untuk mengantar Alisa. Ia pun mengizinkan gadis itu pergi. Apalagi sekarang ia sudah bertemu dengan sahabat masa kecilnya. Andika dulu memang tinggal di Indonesia. Namun, semenjak orang tuanya meninggal, pria itu hidup sebatang kara.
Bahkan Maya pun sudah menganggap Andika sebagai anaknya, memenuhi kebutuhan anak itu. Tetapi, Andika tidak mau menjadi beban orang lain. Jadi, setelah lulus SMA ia nekat pergi ke luar negeri, merantau untuk mencari uang.
Kini mereka bertiga sudah perjalanan pulang. Disepanjang jalan, Maya mengomeli Zain hanya karena tidak mengantar istri ke toilet, malahan berbincang lamanya dengan Andika.
"Udah ah, Ma. Jangan dimarahi terus, kasian Mas Zain," ujar Alisa.
"Dia gak pantas dikasihani, Nak. Tadi aku menyuruhnya mengantarmu, malah dianya sibuk bicara sama Andika. Bicara boleh, tapi ya jangan lama-lama seperti tadi."
"Sebel mama. Niatnya kan tadi mau refresing sendiri, malah ada gangguan. Yasudah, antarkan mama ke rumah mama sendiri."
Zain merasa senang dalam hati, akhirnya mama kembali ke rumahnya. Usai mengantar mamanya, Zain keluar dari mobil, alih-alih mau membantu membawakan banyaknya barang belanjaan, Zain malahan hanya menatap sekilas. Lalu, meninggalkan Alisa begitu saja.
Semenjak kejadian malam itu, dan foto yang Luna kirimkan, Alisa jadi tidak banyak bicara dengan Zain. Ditambah lagi, Zain yang orangnya tidak pedulian.
"Alisa!"
Tiba-tiba terdengar suara dari ruangan atas. Alisa masih sibuk mengeluarkan barang belanjaan.
"Alisa, cepat kemari!" teriak Zain.
Alisa yang mendengar itu pun menghentikan aktivitasnya, berlari masuk ke dalam rumah. Berkali-kali Zain berteriak keras. Sepertinya Zain sedang marah besar.
"Iya-iya, sebentar Mas," jawabnya yang masih sampai di tangga.
Kini Alisa sudah sampai di depan kamar mandi. Ya, Zain berteriak dari kamar mandi.
"Ada apa, Mas? Kenapa teriak-teriak?"
"Jangan banyak nanya, cepetan masuk!"
"Hah? Untuk apa?"
"Masuk cepetan, kamar mandinya gak dikunci."
Ragu-ragu Alisa memegang gagang pintu. Karena Zain notabene-nya tidak sabaran, ia berusaha agar tanganmu sampai di gagang pintu.
Tak butuh waktu lama, pintu terlebih dahulu terbuka oleh Zain. Alisa yang berada dibalik pintu, terperanjat kaget. Spontan ia langsung membalikkan badan dan berteriak seraya menutup wajahnya. Jantungnya berdegup sangat kencang.
"Ck, Alisa ini aku bukan setan. Jadi gak usah teriak-teriak."
Dirinya sendiri saja tadi teriak-teriak. Jika orang lain berteriak kok dilarang. Begitu pikir Alisa.
"Ya, gimana mau gak teriak, Mas. K-kamu, k-"
"Bicara yang jelas, jangan kayak orang gagap."
Zain terlihat santai. Berbanding terbalik dengan Alisa yang seperti orang habis lari jauh. Wajahnya berkeringat dingin, jantungnya berdegup lebih cepat. Ia masih belum berani membalikkan badan, wajahnya tersipu malu. Entah apa yang dirinya lihat.
Bersambung .....
6/11/2022
KAMU SEDANG MEMBACA
IM SORRY
Romance"Jika bukan karena aku membutuhkan biaya operasi adikku, aku tidak akan pernah mau menerima tawaran ini."-Alisa Anindita. "Jangan pernah mengharapkan cinta dariku, karena wanita yang kucintai bukanlah dirimu."-Zain Aditya Raharja. Menjadi istri dari...