04. IS : Menikah?

592 22 0
                                    

Seorang gadis menangis, tidak tau apa yang harus ia lakukan. Matanya menatap sendu ke arah seorang laki-laki remaja. Laki-laki itu terbaring di atas brankar dengan berbagai alat-alat medis di sekitarnya.

"Permisi," ucap seorang suster yang membuyarkan gadis itu.

"Iya, Sus."

"Pasien butuh dioperasi segera. Jadi, nona bisa mengurus administrasinya ke resepsionis secepatnya." Alisa mengangguk, suster itu pun berlalu meninggalkan dirinya.

"Bagaimana ini?" Alisa begitu cemas, dia takut terjadi sesuatu pada Raka, adiknya. Ya, laki-laki yang dirawat itu adalah adik Alisa.

Semenjak menjadi pembantu di rumah Zain, Alisa lupa jika dirinya memiliki adik yang ia tinggal di rumah bibinya. Raka sakit, tapi tidak ada siapa pun yang mau merawatnya. Bibinya bahkan tega menelantarkannya. Alisa baru saja dapat kabar dari Lea sahabatnya ketika mereka tak sengaja bertemu di pasar tadi pagi.

Kini Alisa begitu frustasi memikirkan biaya pengobatan Raka. Tak ada orang yang bisa meminjamkan uang. Mungkin bisa saja Alisa meminjam pada Zain, tetapi gadis itu tidak berani. Sebab, dirinya sudah berhutang begitu banyak pada pria itu.

"Nak, kau tidak apa-apa?" tanya seorang wanita paruh baya sembari memegang bahu gadis itu.

"Ah, tidak. Aku tidak kenapa-napa," jawab Alisa seraya mengusap air matanya.

"Sebelumnya tante minta maaf, tante tidak sengaja mendengar pembicaraanmu dengan dokter dan suster tadi. Kau membutuhkan biaya kan?"

***

Malam ini Zea menonton TV, tidak seperti biasanya yang menyetel musik dengan volume tinggi. Pintu utama terbuka, menampakkan seorang wanita paruh baya. Wanita itu tak lain adalah Maya, ibunda Zain dan Zea. Maya sudah kembali setelah satu minggu berada di luar kota menjengguk ibunya yang sedang sakit.

"Kenapa rumah begitu sepi, di mana para pembantu? Dan di mana mereka berdua?"

Maya berjalan menaiki anak tangga. Namun, suara teriakan dari ruang TV menghentikan langkahnya. Maya memutar arah, ia kembali menuruti anak tangga dan berjalan menuju ruangan TV. Di sana ada Zea yang sedang memakan cemilan sambil menonton film horor.

"Zea, kecilkan volume TV-nya."

"Mama? Sejak kapan mama ada di rumah?" tanya Zea sembari menghampiri ibunya itu yang berada di ambang pintu.

"Baru saja. Oh, iya. Di mana kakakmu?"

Zea memutar bola matanya malas. "Dia di kamarnya."

"Baiklah, mama akan ke sana. Jangan lupa kecilku volume-nya, ya?" Zea mengangguk tanda paham.

Maya membuka pintu kamar Zain yang tidak terkunci, lalu ia berjalan mendekati putranya yang remaja sambil bermain handphone di atas ranjang. Zain yang menyadari keberadaan ibunya pun langsung menaruh handphone-nya.

"Zain, menikahlah dengan gadis pilihan mama."

Tanpa basa-basi Maya langsung to the point. Zain yang mendengarnya pun langsung terkejut, ia menoleh menatap ibunya.

"Apa? Menikah?! Yang benar saja." Zain menaikkan alisnya, matanya melotot menatap wanita paruh baya yang sedang berdiri di samping ranjangnya.

Zain mencoba bangun, menyandarkan badannya di kepala ranjang king size-nya itu. "Ma, apa Zain tidak salah dengar?"

"Ma, kau tahu 'kan Zain itu mempunyai kekasih."

"Tidak, Zain tidak mau menikah dengan siapa pun kecuali Luna!" tegasnya penuh emosi.

IM SORRYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang