Membuka Diri

150 23 0
                                    

Setelah festival selesai, tandanya kelas 12 mulai masuk ke masa ujian mereka. Dari ujian percobaan, ujian praktik, sampai persiapan ujian akhir dan seleksi masuk universitas. Mereka mulai disibukkan oleh sekolah.

Sebelum semuanya benar-benar dimulai, Jihoon mengajak Hyunsuk berlibur sebentar ke rumahnya yang ada di Busan. Mereka pergi berlibur hanya berdua karena ayah Park sedang membawa suaminya ke dalam perjalanan bisnis ke luar negeri.

Rumah itu adalah rumah pribadi milik Jihoon, dia sengaja membelinya di sebagai aset hari tua. Halaman belakang rumah Jihoon langsung menghadap ke arah pantai sepi serasa milik sendiri. Mereka berdua hanya perlu berjalan sebentar untuk sampai ke tepi pantai.

"Masih dingin, Sukkie. Jangan main air dulu" Hyunsuk baru saja melepas sandalnya dan ingin berlari mendekati ombak.

Larangan dari Jihoon menghentikan langkahnya. Dia menatap sedih ke arah kekasihnya itu, jurus jitu agar dapat izin dari Jihoon. Sayangnya kali ini Jihoon tidak luluh. Dia masih tetap pada pendiriannya untuk berkata tidak.

Jihoon dan Hyunsuk berakhir hanya berjalan menyusuri pinggir pantai. Langit sore yang mulai berubah warna memberikan ketenangan untuk keduanya.

“Suk, selesai ujian nanti mau tinggal sama aku?" Jihoon bertanya demi mengisi keheningan.

"Asahi nanti tinggal sendirian lagi. Meskipun Doyoung sering mampir sih. Tapi aku rasa, aku harus jagain dia dari deket, gantiin waktuku dulu dan waktunya Cio yang udah pindah"

"Sukkie, yang jagain Asahi itu banyak, siswa AGHIS maupun temen sekolah yang lain. Justru nanti kamu yang sendirian karena udah libur" Rambut pendek Hyunsuk diacak-acak oleh Jihoon.

"Mau sampai kapan kalian sembunyi dari kita? Apalagi yang kelas 12, kalian cuma ketemu sampai ujian akhir" Hyunsuk merujuk ke perkataan Jihoon yang hanya menyebut temannya dengan istilah siswa AGHIS.

"Udah tau yang dialamin Yedam kan? Tau ngga kalo Kai juga kena masalah yang sama? Siswa AGHIS bisa aja cari temen lagi di kuliah nanti, tapi ngga semua dari kita punya kesempatan buat kuliah. Kita ngga akan kehalang finansial ataupun nilai, tapi kita kehalang waktu dan media"

Mereka berhenti dan duduk di atas pasir tanpa alas. Menikmati langit sore yang hampir kehilangan cahayanya.

"Selain kamu, aku ngga punya ekspektasi apapun soal temen di sekolah mau terima aku atau engga. Hasil evaluasiku nanti juga ngga terjamin bakal bagus. Siswa AGHIS pasti lulus sekolah, tapi belum tentu lulus kehidupan sosial mereka setelahnya"

"Ji, apa yang terjadi kalau hasilnya ngga bagus?" Tanya Hyunsuk.

Hasil evaluasi yang tidak berakhir baik akan membuat alumni AGHIS hanya kembali ke dalam lingkaran AGHIS. Mereka akan terus berurusan dengan pekerjaan di bidang mereka masing-masing tanpa tahu banyak tentang dunia luar.

Contohnya angkatan ke-8, angkatan para konsultan pendidikan untuk angkatan ke-13. Seluruh teman mereka hanya terbagi menjadi tiga, yang apatis dan tidak pernah berurusan lagi, yang narsis dan selalu menuntut lebih karena merasa adalah teman baik, serta yang menjadi benci ke siswa AGHIS dan memutuskan hubungan.

"Setelah ngerasain jadi orang biasa, banyak alumni yang terbebani begitu balik ke kehidupan 0,1% lagi. Topik obrolan terlalu rumit untuk dibicarakan sebagai teman, tapi terlalu canggung untuk memulai pembicaraan santai.

Terutama buat anak pewaris kaya aku. Dari kecil sekolah di tempat berkelas, ngga jarang dijadiin sarana bisnis sama orang tua. Aku ngga punya temen deket waktu SD dan SMP. Cuma sebatas tau dia anak siapa dan ngobrol seadanya.

Punya temen yang rame dan ngga mikirin soal bisnis yang berbelit bikin aku ngerasa beneran jadi anak sekolah. Aku pengen banget nikmatin masa muda sebelum gantiin ayah megang perusahaan"

Hyunsuk memilih untuk diam mendengarkan Jihoon yang sedang mencurahkan isi hatinya. Hyunsuk tidak dapat mengerti bagaimana perasaan Jihoon sekarang, tapi dia bisa memahami kalau banyak dari siswa AGHIS yang ingin menjadi anak remaja pada umumnya.

Golongan 99% selalu melihat dunia sebagai hal yang biasa. Berbeda dengan mereka yang terbiasa dengan keseharian yang berbeda.

Langit mulai menggelap, hari menjadi semakin dingin. Saatnya Jihoon dan Hyunsuk beristirahat.

---

Jeongwoo mengajak Haruto pergi ke cat cafe yang pernah ia ceritakan sebelumnya. Cafe tempat dia dan Haru terakhir berinteraksi.

Ini kali kedua Jeongwoo datang setelah sekian lama, terdapat beberapa perubahan dari dekorasi dan tata letak di dalam cafe tersebut. Kesamaannya dengan yang dulu ada pada kucing-kucing yang sibuk bermain dengan dunia mereka masing-masing.

"Ruru haloo" Ruru si kucing putih menghampiri Jeongwoo di tempat duduknya. Dia memilih duduk di antara lipatan kaki Jeongwoo yang duduk bersila di atas tatami.

Jeongwoo mengelus kepala Ruru sambil mengobrol dengan Haruto. Mereka banyak membicarakan seputar kehidupan sekolah mereka.

Tidak lama berselang, seekor kucing lain berjalan ke arah Jeongwoo. Kucing oranye yang Jeongwoo tau namanya Lawoo membawa anak kucing tiga warna bersamanya.

"Kucingnya jantan" Jeongwoo terpekik kencang, kucing jantan yang memiliki tiga warna jumlahnya sangat terbatas.

Kucing itu Jeongwoo ambil dari Lawoo. Sedangkan Lawoo kembali bermain, seakan hanya ingin mengantarkan si kucing kecil. Ruru menancapkan beberapa kukunya pada celana panjang milik Jeongwoo. Dia bergelung memutar dengan tidak nyaman. Si kucing putih sedang cemburu karena anak kucing.

"Kucing bisa cepet akrab sama orang yang mereka rasa aman buat dideketin" Haruto berbicara sambil mengelus kucing lain yang sedang menggigiti mainannya.

"Atau orang yang sering sendirian. Hewan deketin kita kalau mereka yakin kita ngga akan nyakitin atau mereka yakin kita butuh temen supaya ngga kesepian kaya mereka biasanya di luar sana"

Haruto mengalihkan pandangannya ke arah Jeongwoo. Dia melihat raut muka Jeongwoo yang berubah sendu.

"Apa terjadi sesuatu, Woo?"

"Tidak ada, hanya aku yang sering ngerasa kesepian. Aku pikir aku punya banyak teman, bahkan sampai ke tahap sangat akrab. Nyatanya engga, aku selalu merasa tersingkirkan secara realita"

"Mau bercerita?"

"Aku punya satu teman, kami selalu sekelas sejak SMP. Bisa dibilang kami akrab,tapi bisa juga engga. Kalo di sekolah ngobrol, bercanda. Begitu pulang, kami punya dunia masing-masing. Ani, dia punya dunianya sendiri. Ngga salah sih, mungkin akunya aja yang baperan"

Haruto tidak menyangka kalau topik obrolannya akan membuka luka Jeongwoo. Sosok yang ia kenal mudah bergaul dengan banyak orang ternyata lebih sering merasa terlupakan.

"Setelah aku rasa sudah kenal dekat, entah kenapa aku selalu memilih untuk menjauh lebih dulu. Aku takut kalau aku tersingkirkan oleh waktu. Tapi kalau aku mendekat duluan, aku selalu merasa kalau aku tidak pernah diterima dengan baik"

Jeongwoo masih terus bercerita, ia sudah tenggelam dengan pemikirannya sendiri. Tangannya masih setia meladeni dua kucing yang berbeda ukuran di pangkuannya.

Jeongwoo tidak punya teman dekat, bahkan Inhong sekalipun. Jeongwoo hampir tidak punya informasi apa-apa tentang kehidupan Inhong di luar sekolah. Teman sekelasnya yang lain juga hanya berurusan dengan kepentingan mereka masing-masing jika ingin berbicara dengan Jeongwoo.

Di awal sekolah, dirinya merasa punya teman sekelas setidaknya ada separuh dari total keseluruhan. Setelah libur musim dingin kemarin, dia sadar kalau dirinya akan menyendiri lagi.

"Woo.. " Haruto memanggilnya lembut.

"Ada aku yang jadi temanmu" Lanjut Haruto.

"Tidak perlu memaksakan. Kasta kita beda. Yang sepantaran denganku saja sulit, apalagi dengan orang kaya kamu"

Jeongwoo terbiasa dengan rasa sepinya. Sampai ia lupa kalau dia juga butuh teman yang selalu ada.

Identity || Treasure MultishipTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang