Setelah mengikuti perintah dari ayahnya untuk menutup rapat pintu dan juga jendela, Lev menaiki anak tangga menuju kamarnya yang berada di lantai dua. Sedangkan ibunya sedang menonton televisi di ruang tamu.
Lev menaruh tas sekolahnya. Mengganti bajunya, lalu menjatuhkan tubuhnya pelan di atas kasur yang nyaman. Lev menatap langit-langit kamarnya. Di luar, hujan turun dengan sangat deras. Suara petir menyambar menggelegar di telinganya.
Lev meraih ponselnya.
Kalian berhati-hatilah. Tadi, aku hampir mati karena seorang wanita gila yang tiba-tiba menyerangku. Beruntungnya, ada dua polisi datang di waktu yang tepat dan segera menembak mati wanita itu.
Ia kebingungan setelah membaca pesan yang dikirim oleh Zero. Lev tidak membalas pesan dari temannya itu. Ia akan bertanya langsung pada Zero esok hari ketika mereka menjenguk ibunya Victor yang berada di rumah sakit.
Lev menaruh kembali ponselnya. Pandangannya kembali menatap langit-langit kamarnya disertai petir yang terus menyambar. Tanpa sadar, ia tertidur.
Di lantai bawah, ketika ibunya sedang menikmati acara kesukaannya di televisi, tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu dari luar rumah. Ia segera bangkit dan berjalan mendekat ke arah pintu. Sebelum itu, ia sedikit mengintip dari lubang kecil yang ada di pintu rumahnya, melihat siapa yang tiba-tiba datang di tengah hujan yang sangat deras ini.
Seorang anak perempuan. Dengan rambut yang menutupi sebagian wajahnya. Anak itu menundukkan kepalanya. Memakai baju berwarna merah dengan jaket yang menyelimuti tubuh kecilnya. Tiba-tiba, wajahnya terangkat, pandangannya menatap lurus ke lubang kecil yang ada di pintu.
Ibu Lev tersentak kaget. Pandangannya beradu dengan anak kecil itu. Ia memundurkan langkahnya. Menjaga jarak dengan pintu yang ada di hadapannya.
"Tolong aku. Aku mohon." Anak perempuan itu memohon dari luar sembari mengetuk pelan pintunya.
Napas ibu Lev sudah tidak karuan. Ia benar-benar ketakutan ketika teringat kembali dengan pesan suaminya untuk tidak membukakan pintu untuk siapapun bahkan jika dirinya mengenali siapa orang tersebut.
Anak perempuan itu bernama Jessy. Anak tetangga di sebelah rumahnya.
"Tolong aku. Aku mohon. Tolong bukakan pintunya." Kali ini, anak itu sedikit memukul pintunya.
Ibu Lev memundurkan langkahnya lagi.
"Aku mohon. Aku mohon. Aku mohon bukakan pintunya. Aku tahu kau berada di balik pintu ini, kan."
Semakin lama, pukulan di pintu itu semakin kencang. Semakin kencang, dan semakin kencang. Ibu Lev merasa, sepertinya pintu itu akan roboh hanya karena seorang anak kecil memukulnya.
Ia berjalan meraih remote televisi lalu mematikannya. Ia berusaha untuk tidak mengeluarkan suara sedikitpun. Beberapa saat kemudian, sudah tidak terdengar lagi suara ketukan memaksa dari anak kecil yang berada di balik pintu.
Cepat-cepat ia menggeser meja yang berada tak jauh dari tempatnya berdiri. Mendekatkannya pada pintu sekadar untuk mengganjalnya.
Ibu Lev berlari menaiki anak tangga menuju kamar anaknya yang berada di lantai atas. Ia mengetuk pintunya pelan, takut anaknya terbangun karena suara ketukan pintunya.
"Lev, apa kamu sudah tidur? Bolehkah Ibu masuk?" tanyanya dari luar.
Tak ada jawaban dari Lev yang berada di dalam sana. Ia mengetuk pintu sekali lagi.
"Lev, bukakan pintunya."
Lev terbangun karena suara ibunya yang berada di luar sana. Ia mengusap matanya perlahan. Menuruni ranjang lalu membuka pintu kamarnya.
"Ada apa, Bu? Aku sudah tidur, maafkan aku," ujar Lev setengah sadar.
"Bolehkah malam ini Ibu tidur bersamamu?" tanya ibunya.
Lev mengernyitkan dahinya. Tidak biasanya ibunya ingin tidur bersamanya. Tanpa bertanya mengapa alasannya, ia mempersilakan ibunya untuk masuk dan tidur bersamanya, lalu Lev menutup pintu kamarnya.
Tidak ada yang dibicarakan antara Lev dengan ibunya. Sebenarnya, Lev ingin bertanya mengapa tiba-tiba ibunya ingin tidur bersamanya. Namun, Lev sudah merasa sangat mengantuk. Tanpa ia sadari, matanya perlahan menutup.
Malam yang panjang terasa cukup mencekam. Hujan masih turun dengan sangat deras di luar sana. Petir tak henti-hentinya bergemuruh. Tak jarang Lev terbangun karena suara petir yang cukup mengagetkan.
Lev tidur lebih cepat dari biasanya. Sepertinya, ia akan beberapa kali terbangun di malam hari. Ditambah lagi, dengan adanya suara petir yang cukup mengganggu dirinya.
•••
"Kau sedang apa, Kak?" tanya Beth, adik perempuan Zero.
Zero hanya tinggal bersama adiknya setelah kecelakaan beberapa tahun lalu yang merenggut nyawa kedua orangtuanya.
"Mengerjakan tugas." Zero berbohong agar adiknya tidak bertanya lebih jauh lagi.
"Libur sekolah sudah tiba, dan kau masih mengerjakan tugas?" tanya Beth kebingungan.
"Sudah malam, sebaiknya kau tidur saja, Beth. Dan jangan menggangguku."
"Huh!" Beth merasa jengkel pada kakaknya itu. Ia memutuskan untuk masuk kamar dan segera tidur. Tapi, ia kembali membalikkan tubuhnya dan mendekat pada Zero.
Zero menatap adiknya, "Ada apa?"
"Kakak lupa kalau aku takut pada suara petir? Di luar, hujan turun sangat deras." Beth melihat ke arah jendela. "Apa kakak bisa menemaniku sampai aku tertidur?"
"Baiklah." Zero menuruti.
Beth berjalan lebih dulu di depan Zero. Zero mengikuti adiknya dari belakang. Sesampainya di kamar, Beth langsung berbaring lalu menarik selimutnya.
Zero menutup pintu kamar Beth. Ia duduk di tepi ranjang, menemani adiknya tidur.
"Kau mau aku membacakan cerita dari buku ini?" Zero meraih sebuah buku yang berada di atas meja belajar milik Beth lalu menunjukkan pada adiknya.
"Mau!" Beth menjawab dengan semangat.
Zero mulai membacakan cerita yang ada di dalam buku itu. Ia sedikit mengeraskan suaranya agar Beth dapat mendengarnya karena di luar masih hujan.
Beth memeluk boneka kecil miliknya. Matanya perlahan menutup. Namun, ia masih sadar dan bisa mendengar ketika Zero sedang membacakan cerita untuknya.
Sembari membacakan cerita untuk Beth, Zero mengelus pelan rambut adiknya itu. Beth perlahan mulai tertidur. Zero tetap membacakan cerita itu hingga selesai. Buku cerita itu tidak terlalu tebal, sehingga tak perlu waktu banyak untuk membacanya hingga halaman terakhir.
Setelah selesai membacakan cerita untuk Beth, Zero memastikan apakah adiknya sudah tertidur atau belum. Setelah memastikan bahwa Beth sudah benar-benar terlelap, Zero diam sejenak. Pikirannya kembali mengingat pada kejadian setelah ia pulang sekolah tadi.
"Zombie?"
Apa wanita itu adalah zombie seperti yang ia lihat di film maupun game yang sering ia mainkan?
Zero menggelengkan kepalanya pelan. Zombie itu tidak nyata. Mana mungkin ada zombie di dunia ini. Mereka tidak nyata.
"Dan, sepertinya pihak kepolisian tahu lebih banyak informasi soal kejadian ini. Tapi, kenapa mereka menolak memberitahuku?"
Zero mengacak rambutnya. Sungguh membingungkan.
"Sudahlah, aku tidak perlu memikirkan hal itu. Lusa, aku akan pergi menonton bersama Lev dan juga Victor. Mungkin, itu hanya penyakit biasa." Zero mencoba menenangkan dirinya.
"Tapi, jika itu memang penyakit biasa, kenapa polisi tadi sampai menembak mati wanita itu, ya? Sungguh aneh."
KAMU SEDANG MEMBACA
ZINEMA
Mystery / ThrillerGENRE : THRILLER - ZOMBIE ⛔ DILARANG KERAS PLAGIAT ‼️ Tiga anak remaja pergi ke bioskop setelah ujian sekolah berakhir. Di tengah menikmati film, tanpa mereka sadari di luar sana telah terjadi kekacauan besar yang sangat mengerikan. Di mana, sebuah...