22. Malignancy

159 70 12
                                    

Elvio bergegas mematikan lampu. Lalu, ia kembali pada Dean yang masih sedang memperhatikan kedua zombie di luar sana.

"Kedua zombie itu memiliki gerak-gerik yang tidak seperti zombie lainnya," bisik Dean.

"Apa maksudmu? Aku tidak mengerti," balas Elvio.

"Kedua zombie itu aneh. Mereka seperti bertingkah layaknya manusia pada umumnya. Mereka bisa mengendalikan dirinya sendiri."

"Manusia setengah zombie?" sahut Elvio.

Dean menoleh pada Elvio. "Apa itu?"

"Manusia yang sudah berubah menjadi zombie. Namun, karena memiliki antibodi, mereka bisa berperilaku layaknya manusia biasa," jelas Elvio.

Tiba-tiba saja Dean menyuruh Elvio untuk menunduk karena salah satu dari dua zombie di luar sana melihat ke arah mereka. Karena kurangnya pencahayaan yang menerangi penglihatan mereka, Dean dan Elvio tidak bisa melihat dengan jelas wajah dari kedua zombie itu.

Namun, mereka masih bisa melihat bahwa di luar sana ada satu zombie perempuan dan satu zombie laki-laki.

"Apa yang harus kita lakukan?" Elvio mulai panik.

"Tetap tenang dan jangan bersuara," balas Dean.

Setelah beberapa saat berwaspada, dua zombie itu pun melangkahkan kakinya pergi. Elvio dan Dean menghembuskan napas pelan. Mereka merasa lega. Kemudian, mereka lanjut mengobrol hal-hal kecil yang tidak bermanfaat. Tidak terasa bahwa tiga jam sudah berlalu, mereka pun bergantian untuk berjaga. Kini giliran Edgar dan Jack.

Elvio dan Dean memutuskan untuk segera tidur. Mereka bersusah payah menahan kantuk selama tiga jam. Mereka segera mengistirahatkan tubuh dan pikiran mereka. Entah apa tujuan mereka besok, yang jelas mereka akan tetap melakukan perjalanan.

Edgar dan Jack mengambil pisau mereka yang berada di atas meja kayu kecil. Edgar mengatakan pada Jack bahwa ia ingin mengecek bagian belakang rumah. Jack mengizinkannya dan memperingatinya untuk tetap berhati-hati.

Edgar melangkahkan kakinya menuju halaman belakang rumah. Ia melangkahkan teman-temannya yang sedang tertidur di lantai beralaskan selimut seraya mengucap kata maaf berkali-kali di dalam hatinya.

Sesampainya di lorong kecil menuju dapur, Edgar mengecek kembali setiap jendela yang berada di sisi kanan dan kirinya.

Kemudian, ia berniat untuk membuka pintu di hadapannya. Namun, sesaat kemudian ia mengurungkan niatnya ketika mendengar suara erangan dari sesosok zombie di luar sana.

Edgar mengintip dari balik jendela di dekatnya. Percuma, tidak ada penerangan di sana. Hanya ada kegelapan yang menyelimutinya.

Ketika masih menatap lurus ke luar jendela, tiba-tiba saja ia terkejut ketika zombie itu muncul di hadapannya. Kaca jendela itu pecah akibat pukulan keras zombie itu. Edgar segera menusuk kepala zombie itu. Kemudian, ia mengelus pelan dadanya karena terkejut. Ia pun cepat-cepat kembali ke ruang utama.

"Ada apa?" tanya Jack yang mendengar suara pecahan kaca dari kejauhan. Jack dengan posisi berdiri, berniat untuk menyusul Edgar yang berada di belakang pun merasa waspada.

Napasnya tersengal-sengal karena berlari. Kedua telapak tangannya bertumpu pada kedua lututnya. Edgar mengangkat kepalanya. "Kaca di belakang pecah karena ada satu zombie di sana. Tapi, aku berhasil menghabisinya."

"Ayo, kita perbaiki kaca itu. Malam masih sangat panjang," ajak Jack.

Melihat Edgar yang masih berdiam di tempatnya, Jack menarik paksa kerah baju Edgar.

"Aku bisa berjalan sendiri!" seru Edgar memberontak.

"Cepatlah! Kau harus belajar pada cheetah bagaimana mereka bisa berlari dengan cepat," ketus Jack.

Mereka pun menuju ke tempat di mana jendela itu pecah. Karena lorong yang begitu kecil, Jack berjalan di depan, sedangkan Edgar berada di belakangnya.

Setibanya di sana, mereka segera mencari papan kayu untuk menutup pecahan jendela itu.

Jack mengumpulkan beberapa papan kayu dan menaruhnya di atas tempat mencuci piring. Sementara, Edgar masih berusaha mencari paku dan palu. Ketika berhasil menemukan dua benda itu, mereka segera bekerja sama untuk menutup pecahan jendela itu.

Sesekali mereka ribut kecil karena hal sepele. Meski begitu, pada akhirnya mereka berhasil menyelesaikan pekerjaan mereka.

"Sudah selesai," ucap Jack.

"Ayo, kembali ke ruang utama," ajak Edgar.

Mereka pun kembali ke ruang utama dan duduk di tempat di mana Elvio dan Dean duduk sebelumnya.

"Apa tidak ada kopi di sini?" tanya Edgar.

"Sepertinya ada di dapur. Kau mau minum kopi?"

Edgar menggelengkan kepalanya. "Tidak. Aku hanya bertanya. Aku lebih suka teh."

Setelahnya tidak ada percakapan apapun di antara mereka. Malam masih sangat panjang, mereka bingung apa yang harus mereka lakukan untuk membunuh rasa bosan itu.

Kenzo pun terbangun dari tidurnya. Ia mengusap matanya pelan. Lalu, ia mempertajam pandangannya. Ia melihat Edgar dan Jack sedang berjaga.

"Kau terbangun?" tanya Jack pada Kenzo.

"Sudah jelas ia terbangun, kau masih bertanya?" ketus Edgar.

"Diam kau!"

"Aku ingin pergi ke toilet," ujar Kenzo.

"Bawalah lilin ini. Di lantai atas sangat gelap." Edgar menyerahkan sebuah lilin dan korek api pada Kenzo.

Jack keheranan. "Dari mana kau mendapatkan itu?"

Edgar terkekeh. "Aku menemukannya di dapur."

Lampu ruang utama sudah mereka nyalakan ketika pergantian penjaga. Sebelumnya, Dean menyuruh Elvio untuk mematikan lampu karena di luar sana ada dua zombie.

Ketika Edgar dan Jack pergi ke belakang untuk memperbaiki jendela yang pecah, beberapa kali mereka menabrak barang-barang di dekatnya karena kurangnya pencahayaan.

Mereka hanya mengandalkan pencahayaan dari ruang utama. Semakin mereka jauh dari ruang utama tempat mereka berada saat ini, maka semakin kecil pencahayaannya.

"Kenapa aku harus ke toilet yang ada di lantai atas? Ada apa dengan toilet di lantai satu?" tanya Kenzo merasa heran.

"Entahlah, tapi airnya tidak menyala. Aku sudah mengeceknya tadi," sahut Edgar.

Kenzo mengangguk dan membakar ujung lilin itu dengan korek api. Lalu, ia pun bangkit dari duduknya dan berjalan menuju tangga.

Setibanya di depan tangga, tiba-tiba saja nyalinya menjadi kecil ketika ia mengarahkan pandangannya ke atas. Gelap gulita. Kenzo merasa takut dan jantungnya berdegup kencang.

Terlebih lagi, ia ingat bahwa ada tiga mayat zombie di atas sana. Ia dan Edgar mengecek rumah itu sebelum mempersilakan teman-temannya masuk untuk bermalam sementara.

Kenzo kembali teringat pada zombie anak perempuan yang mengagetkannya dan dengan terpaksa ia harus membunuhnya. Di lantai atas dengan ruangan yang berbeda, juga ada dua zombie. Kenzo dan dan Edgar sepakat bahwa mereka adalah orang tua dari zombie anak perempuan itu.

Kenzo kembali menghampiri Edgar dan Jack yang tengah mengobrol santai.

"Ada apa?" tanya Jack ketika melihat Kenzo kembali.

"Temani aku." Hanya itu yang bisa Kenzo ucapkan. Dugaannya benar, Edgar menjadi orang yang tertawa paling keras ketika Kenzo mengucapkan kalimat itu.

"Baiklah, aku akan menemanimu. Kau payah sekali!" ejek Edgar diselingi tawanya.

ZINEMA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang