24. Hopeless

158 71 8
                                    

Mendengar teriakan dari dalam rumah Dean, teman-temannya bergegas menyusulnya. Oliver terkejut ketika Dean menangis sambil terduduk. Rambutnya acak-acakan. Keadaan Dean begitu kacau setelah dengan terpaksa membunuh kedua orang tuanya yang telah menjadi zombie. Oliver mendekatinya dan menanyakan apa yang terjadi.

"Mereka orang tuaku. Aku membunuhnya," ucap Dean disela-sela tangisnya.

Oliver mengarahkan pandangannya pada dua zombie yang sudah tergeletak tak bernyawa di sana. Oliver menyandarkan kepala Dean pada pundaknya. "Itu semua bukan salahmu. Kau sudah menyelamatkan kita semua."

Tangis Dean terhenti sejenak ketika ia teringat pada Drake, kakaknya. "Aku harus ke lantai dua, siapa tahu kakakku ada di sana." Dean segera mengambil pisaunya yang tadi tertancap di kepala ayahnya.

Lalu, ia bergegas menaiki anak tangga dengan berani. Setibanya di lantai dua, Dean membuka semua pintu ruangan yang ada di sana. Namun, tidak ada Drake di manapun.

Dean memukul-mukul tembok rumahnya dengan kepalan kedua tangannya secara bergantian. Ia menyalurkan emosional dalam dirinya dengan cara seperti itu. Dean kembali menangis. Suara tangisnya terdengar sampai ke telinga teman-temannya yang berada di lantai bawah. Mereka segera menyusul Dean.

"Ada apa?" tanya Elvio.

"Drake, kakakku, tidak ada di sini," sahut Dean dengan rasa keputusasaan yang menyelimuti dirinya.

Elvio mendekati Dean. Kemudian, ia meraih kedua tangan temannya itu. "Tanganmu terluka," ucapnya.

Dean menarik kedua tangannya dengan kasar. "Rasa sakit di kedua tanganku tidak sebanding dengan rasa sakit ketika dengan terpaksa harus membunuh kedua orang tuaku, meski mereka bukanlah manusia lagi."

"Kemarin aku sudah berjanji untuk menemanimu mencari kakakmu. Ayo, kita lakukan hari ini," ucap Oliver dengan senyum mengembang.

"Kita tidak merasa keberatan," timpal Kenzo.

"Kita akan menemanimu. Kau tidak perlu khawatir. Semuanya akan baik-baik saja jika kita tetap bersama dan melindungi satu sama lain," ujar Edgar.

"Bagaimana dengan kalian?" tanya Dean pada Jack dan Kendrick.

Jack menaik-turunkan pundaknya. "Aku dan Kendrick ikut kalian." Jack menyenggol pelan lengan Kendrick yang berada di sebelahnya. Sesaat setelahnya, Kendrick menganggukkan kepalanya.

"Kakakmu berulang tahun kemarin, 'kan?" Oliver memastikan.

Dean mengangguk. "Aku ingin memberikannya hadiah.'

"Kau datang padanya dengan keadaan selamat itu lah hadiah yang sesungguhnya," ujar Elvio tersenyum lebar.

Dean pun kembali bersemangat dan berterima kasih pada Tuhan karena telah mengirimkan orang-orang baik dalam hidupnya.

Tanpa berlama-lama, mereka pun bergegas menuruni anak tangga dan melanjutkan perjalanan. Setibanya di luar, mereka bingung harus melangkahkan kakinya ke arah mana.

"Tanganmu perlu diobati, Dean," ucap Elvio.

Dean menggelengkan kepalanya. "Tidak perlu."

"Kita cari rumah sakit terdekat." Oliver memutuskan sepihak. Oliver tahu betul sifat Dean, temannya itu memang keras kepala.

"Sepengetahuanku, tidak jauh dari tempat kita berada sekarang ada rumah sakit," ucap Kendrick.

Jack mengangguk. "Di depan sana. Tidak jauh, kok."

Mereka sepakat untuk pergi ke rumah sakit lebih dulu untuk mengobati kedua tangan Dean yang memar dan mengeluarkan darah. Meski tidak banyak darah yang ke luar, harus tetap diobati.

Jack dan Kendrick memimpin perjalanan mereka karena mereka lah yang mengetahui letak rumah sakit itu. Sesekali mereka bercanda, melemparkan lelucon secara bergantian untuk menghibur diri di tengah-tengah dunia yang berada di ambang kehancuran.

"Benda apa yang jika diinjak akan bergerak ke manapun dan jika tidak diinjak hanya akan diam di tempat?" tanya Kenzo seraya menantikan jawaban-jawaban aneh dari teman-temannya.

"Sepatu?" tanya Elvio.

"Hampir mendekati. Tapi, bukan itu," sahut Kenzo tersenyum.

"Sandal?" Dean asal menebak.

Kenzo mengangguk bersemangat. "Benar! Jawabannya adalah sandal!"

Elvio mendorong pelan tubuh Kenzo. "Jawabanku juga bisa benar!"

"Punya lengan tapi tidak punya jari, punya leher tapi tidak punya kepala. Apakah itu?" Kini giliran Oliver yang memberikan tebak-tebakan pada teman-temannya.

"Hantu!" Edgar berseru seolah-olah jawabannya sudah pasti benar.

Oliver menggelengkan kepalanya. "Salah."

Edgar menautkan kedua alisnya, tampak berpikir sejenak. "Pakaian?"

"Lebih spesifik," pinta Oliver.

"Baju, baju, baju!" seru Elvio.

Oliver tersenyum. "Benar! Jawabannya adalah baju!"

"Harusnya aku yang menjawab!" rengek Edgar.

"Siapa cepat, dia dapat." Kenzo tertawa.

Tiba-tiba terdengar suara gemuruh dari langit, tanda hujan akan segera turun. Mereka memutuskan untuk tidak berteduh dan tetap melanjutkan perjalanan.

Sesaat setelahnya, rintikan air hujan mulai menerpa wajah mereka. Mereka mendongakkan kepalanya ke atas langit. Hujan semakin lama semakin deras. Mereka berloncatan di jalanan sepi seraya tertawa lepas.

"Yey, hujan!" seru Elvio.

Perjalanan mereka terhenti sejenak hanya untuk bermain hujan-hujanan. Setelah puas bermain, mereka kembali melanjutkan perjalanannya menuju rumah sakit.

Elvio sengaja meloncat tepat di aspal yang ada genangan air di dalamnya. Cipratan air itu mengenai baju Kenzo yang berada di sebelahnya. Kenzo pun segera mengejar Elvio yang sudah berlari lebih dulu di depan Jack dan Kendrick yang masih memimpin perjalanan mereka.

Elvio dan Kenzo masih saling mengejar. Pandangan Kenzo beralih pada sebuah ember di depan rumah seseorang. Ember itu sudah hampir penuh terisi oleh air hujan. Kenzo mengambil air itu menggunakan telapak tangannya dan mengarahkan air itu ke arah Elvio.

"Tidak kena!" Elvio meledek.

Di barisan belakang, Dean, Oliver, dan Edgar berputar-putar menikmati derasnya hujan yang turun dari langit menerpa wajah mereka.

Mereka bersyukur atas turunnya hujan karena mereka memiliki waktu untuk mengistirahatkan batin mereka sejenak setelah semua rintangan, rasa sakit, kehilangan, dan keputusasaan yang mereka lalui.

Di tengah-tengah menikmati sejuknya udara dingin yang menyelimuti tubuh mereka, mereka kembali teringat pada teman-temannya yang sudah berubah menjadi zombie. Vasta, Evan, Axton, dan Ansell.

Tanpa disadari satu sama lain, mereka meneteskan air mata. Namun, karena hujan yang begitu deras, air mata mereka terkalahkan oleh hujan itu sendiri.

Perjalanan mereka hampir berakhir. Dari kejauhan, bangunan rumah sakit itu sudah tertangkap oleh penglihatan mereka. Mereka memutuskan untuk berlari.

Setibanya di sana, mereka lebih dulu memasang sikap waspada. Jack dan Kendrick masih memimpin di depan. Mereka berjalan lebih dulu untuk menelusuri setiap sudut-sudut rumah sakit itu. 

Mereka sudah tiba di depan pintu lobby rumah sakit, namun belum melangkahkan kakinya masuk ke dalam karena di hadapan mereka ada sekumpulan zombie yang sepertinya sedang menyerang seseorang.

Mereka memundurkan langkahnya. Mereka tidak bisa melihat dengan jelas siapakah yang sedang diserang oleh para zombie itu karena para monster itu mengerumuni mangsanya.

Dean terkejut ketika ia mendengar suara teriakan Drake dari dalam kepungan para monster di hadapannya. Untuk memastikan jika tidak ada yang salah dengan pendengarannya, Dean melangkahkan kakinya.

"Itu suara kakakku," gumam Dean penuh keyakinan.

ZINEMA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang