13. First Mission : Hospital

258 108 111
                                    

Setibanya mereka di rumah sakit yang menjadi tujuan mereka sejak tadi, Caroline dan Drake turun dan mengucapkan terima kasih kepada Lev dan Zero karena telah memberikan tumpangan sepeda kepada mereka.

Situasi di bagian depan rumah sakit begitu kacau. Banyak orang meninggal dan jasadnya tergeletak begitu saja. Sepertinya karena ulah pasukan militer tadi. Entah apa alasan mereka melakukan hal itu, yang pasti itu adalah tindakan yang salah. Membunuh orang-orang yang tidak terinfeksi bukanlah solusi yang tepat.

Pandangan Drake mengarah pada seorang anak kecil berambut pirang yang berdiri di dekat pintu masuk. Drake berjalan menghampiri anak itu, berniat untuk menyelamatkannya. Anak itu membelakangi Drake. Caroline berusaha melarang Drake agar tidak mendekati anak itu. Banyak bercak darah yang menyelimuti gaun berwarna cream yang dipakai oleh anak itu. Tepat di sebelahnya, ada sebuah boneka beruang kecil berwarna coklat.

Ketika jarak Drake dan anak itu semakin menipis, Drake terkejut ketika anak perempuan itu membalikkan wajahnya. Drake tersungkur. Menatap anak itu dengan napas yang tidak beraturan. Wajahnya rusak. Bola matanya berwarna keabu-abuan. Drake mundur perlahan dengan posisi yang masih terduduk. Caroline maju untuk menyelamatkan temannya. Tanpa berpikir panjang, ia mengarahkan busur panahnya kepada anak kecil itu. Anak perempuan itu tumbang.

Caroline membantu Drake untuk bangkit. "Jangan terlalu baik."

"Aku hanya berniat menolongnya," balas Drake. "Tapi, terima kasih sudah menyelamatkanku."

Mereka melanjutkan perjalanannya. Caroline berada di depan, sedangkan Drake di belakang. Ketika mereka berada di lobby rumah sakit, ada sebuah televisi yang sedang menyiarkan berita mengenai peristiwa mengerikan yang sedang terjadi di kota Shatterdie.

"Pasifix mengatakan mengenai ciri-ciri orang yang terinfeksi virus itu, antara lain adalah keluarnya darah dari hidung, mata memerah dan merasakan pusing yang begitu hebat."

"Pasifix?" tanya Lev keheranan.

"Perusahaan Farmasi terbesar," sahut Drake.

Mereka bergegas meninggalkan lobby dan mengikuti Victor untuk menuju ruangan di mana ibunya berada. Belum tiba di tempat tujuan, lagi dan lagi halangan datang menghampiri mereka.

Di depan sana, tampak sesosok zombie yang sedang berjalan. Tiba-tiba saja, zombie itu mengarahkan pandangannya pada mereka. Sontak, mereka pun mundur. Namun, tidak dengan Drake dan Caroline.

Zombie yang mereka hadapi kali ini sepertinya berbeda dengan zombie-zombie yang lain. Drake berkali-kali memanah zombie itu, namun ia tidak kunjung mati.

Drake tersungkur karena perlawanan sengit dengan zombie itu. Caroline membantu Drake untuk bangkit. Ketika zombie itu ingin menyerang Caroline, Drake mengalihkan perhatiannya dengan meneriakinya dengan kata-kata kasar.
Zombie itu kembali menyerang Drake.

Caroline berusaha mengambil alih fokus zombie itu. Tidak sesuai perkiraan, zombie itu justru menyerang Zero yang berada di belakang Caroline. Zero jatuh tersungkur. Ia menahan zombie itu dengan memegang bahunya agar tidak tergigit.

Victor menarik belakang baju zombie itu agar menjauh dari temannya. Karena tarikan yang begitu kuat, kepalanya justru terbentur dinding rumah sakit. Pandangannya mulai mengabur. Namun, ia berusaha untuk tidak pingsan di situasi seperti ini.

"Kita tidak bisa melawannya! Cari tempat berlindung," seru Drake.

"Ikut aku ke lantai dua!" Victor berseru meski dengan suara yang sedikit lirih karena benturan tadi.

Kemudian, mereka menaiki anak tangga satu persatu dengan Victor yang memimpin di depan. Drake dan Caroline berada di belakang untuk menghambat pergerakan zombie itu.

Zero dan Lev membantu kedua temannya dengan melemparkan berbagai benda di sekitar mereka. Meski hal itu tidak bereaksi apapun bagi zombie tersebut.

"Masuk ke sini!" Victor berseru. Ia mengarahkan teman-temannya untuk berlindung sementara di ruang obat-obatan.

Cepat-cepat mereka berlari menyusul Victor yang lebih dulu tiba di sana. Tak lupa, mereka menutup pintunya dan mengganjalnya dengan barang-barang yang sekiranya bisa menahan dobrakan dari zombie di luar sana.

Mereka menarik napas dalam-dalam ketika tiba di ruangan obat-obatan karena suhunya yang cukup dingin.

Di tengah ruangan terdapat sebuah meja putih berbentuk persegi panjang dengan kursi-kursi yang mengelilinginya. Mereka mengistirahatkan diri di sana.

Zero dan Drake berkeliling ruangan itu, entah apa yang mereka cari di rak-rak yang berisi tumpukan obat-obatan.

Victor duduk seraya bersandar pada bagian kursi. Ia memegangi kepalanya yang masih terasa sakit akibat benturan tadi.

"Bolehkah aku meminta makanan?" tanya Lev.

"Tentu, Lev. Ambilah," balas Zero seraya menyerahkan tas berisi makanan ketika mereka berada di bioskop.

"Aku tidak bisa berlama-lama di sini. Aku harus menyelamatkan Kak Vienna." Victor bangkit dan berjalan ke arah pintu dengan sempoyongan.

Caroline menahannya. "Terlalu berbahaya. Kita pergi bersama, ya." 

Kemudian, mereka bersiap-siap untuk menyelesaikan tujuan mereka. Drake menyarankan kepada Zero untuk mengambil beberapa obat-obatan yang dirasa akan dibutuhkan suatu saat nanti. Zero memang berniat untuk melakukan hal itu, seperti sebelumnya ketika mereka di bioskop.

Drake perlahan membuka pintu. Ia melihat ke kanan-kiri, memastikan jika keadaan aman. Drake menyuruh teman-temannya untuk ke luar satu persatu.

Mereka menuruni anak tangga yang tadi mereka lewati. Setibanya di lobby, Drake meminta agar Victor kembali mengarahkan mereka ke ruangan di mana ibunya berada. Victor berjalan di depan bersama Drake.

Sesampainya di depan ruangan yang sejak tadi menjadi tujuan mereka, Victor mengetuk pintunya.

Seseorang yang berada di dalam ragu-ragu ingin membukakan pintu itu. Ia berjalan mendekat ke arah pintu dan mengintip dari gorden kecil yang ada di sana.

Betapa terkejutnya ia ketika melihat adiknya berada di luar sana. Tanpa berlama-lama, ia segera membukakan pintu dan menutupnya kembali sesaat setelah mereka masuk.

Keadaan Vienna sungguh kacau. Wajahnya kusam dan rambutnya berantakan. Victor mengira bahwa kakaknya itu menangis tanpa henti karena ketakutan. Mereka langsung berpelukan.

"Dokter Jacob yang melakukannya," ujar Vienna setelah melepas pelukannya pada adiknya.

Victor tidak percaya dengan apa yang ia lihat di hadapannya. Masih dengan kondisi kaki dan tangan yang terikat, ibunya telah berubah menjadi monster mengerikan.

Ibunya terus memberontak dan sesekali mengerang. Victor berjalan pelan menghampiri ibunya. Caroline menahannya. Victor menghempaskan genggaman tangan itu dengan kasar.

Matanya berkaca-kaca. Ia jatuh terduduk di lantai dengan air mata yang membasahi pipinya. Tangannya terkepal kuat.

Lev menghampiri temannya, bersimpuh di sebelahnya dan menepuk pelan pundak temannya itu. Victor menjatuhkan kepalanya di bahu Lev.

Dadanya benar-benar sesak ketika melihat seseorang yang merawatnya dengan kasih sayang sejak kecil, kini sudah tiada. Raganya memang masih bisa dilihat, namun tidak dengan jiwanya.

Di sela-sela tangisnya, Victor menyadari ada suatu cairan yang ke luar dari hidungnya. Ia mengusap pelan cairan itu dengan jarinya. Matanya terbelalak ketika melihat cairan berwarna merah berada di tangannya. Lantas ia segera mendorong Lev agar menjauh darinya.

Lev terkejut. "Ada apa?"

Victor bangkit dengan kaki yang gemetar. Ia membalikkan tubuhnya, menghadap ke teman-temannya. "Aku tidak mungkin terinfeksi," ucapnya.

ZINEMA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang