11. The Second Floor

242 107 72
                                    

Mereka pun bergegas turun ke lantai dua dengan Drake yang masih memimpin di depan. Tetap dengan sikap waspada. Mereka membentuk posisi lingkaran untuk saling menjaga satu sama lain. Lev dan Zero berada di belakang. Tiba-tiba saja Lev teringat dengan pesan yang dikirimkan oleh Zero tentang wanita yang menyerangnya.

"Kau diserang oleh seorang wanita?"

Zero mengangguk. "Wanita itu seperti ingin menggigitku."

"Dia sudah terinfeksi," gumam Lev.

Zero mengangguk. "Kemudian salah seorang polisi menembaknya di bagian kepala. Wanita itu pun mati. Wajahnya tampak menyeramkan."

"Seperti apa?"

"Banyak bercak darah di wajahnya. Berwarna hitam. Seperti zombie yang sekarang sedang kita hadapi," ucap Zero tanpa menolehkan kepalanya pada Lev.

Lantai dua tampak kosong melompong. Tidak ada siapapun kecuali mereka. Drake memerintahkan kepada teman-temannya agar mempercepat sedikit langkah mereka. Kesempatan bagus seperti ini tidak boleh disia-siakan namun tetap fokus dengan keadaan sekitar.

Langkah Lev terhenti sejenak. Ia berdiam diri dekat eskalator, sedangkan teman-temannya sudah berada jauh di hadapannya. Pandangannya mengarah ke lantai satu yang sudah dipenuhi oleh para zombie. Benar-benar pemandangan mengerikan yang seharusnya tidak dipandang.

Lev ingin menjawab rasa penasaran yang tiba-tiba muncul pada dirinya. Apakah para zombie itu bisa menaiki eskalator? Jika tidak, mereka akan aman. Setidaknya, hingga mereka tiba di basemen melalui pintu darurat. Setelah beberapa menit menunggu dari kejauhan, tiba-tiba saja ada satu zombie yang mendekat ke arah eskalator. Betapa terkejutnya Lev ternyata zombie itu mengerti teknologi.

Lev masih berada di posisi yang sama, memperhatikan zombie pertama yang kemudian disusul oleh para zombie lainnya. Eskalator perlahan membawa mereka menuju lantai dua dan Lev masih tidak berniat untuk beranjak pergi menyelamatkan dirinya.

Mereka sudah tiba di pintu darurat. Namun, Zero menyadari bahwa Lev tidak berada di sisinya. Ia segera kembali ke tempat terakhir mereka mengobrol. Setibanya di sana, Zero mengarahkan pandangannya ke arah yang sama seperti yang dilihat oleh Lev. Melihat hal mengerikan itu, Zero menyadarkan Lev dan segera menarik lengan temannya itu untuk menyusul yang lainnya.

"Bahaya," ucap Zero dengan napas terengah-engah seraya memegangi lututnya.

"Ada apa?" Drake bertanya.

"Para zombie itu bisa menaiki eskalator. Kemungkinan mereka akan menuju ke sini."

"Apa pintunya sudah bisa dibuka?" tanya Drake pada Victor dan Caroline yang masih berusaha untuk membuka pintu darurat itu.

"Sepertinya macet," kata Victor.

"Pecahkan! Cari sesuatu yang bisa memecahkan pintu ini," pinta Caroline.

Mereka melihat sekelilingnya untuk mencari benda apapun agar pintu kaca di  hadapan mereka bisa terpecahkan. Namun hasilnya nihil, karena tidak ada benda apapun yang bisa mereka gunakan untuk memecahkan pintu kaca itu, akhirnya Drake yang mengorbankan tangannya sendiri untuk memecahkan pintu kaca di hadapannya. Melihat hal itu, Victor dan Zero membantu. Lev mempertajam pendengarannya, ia mendengar ada suara erangan dari para zombie yang berada tidak jauh dari posisi mereka.  

"Mereka sudah dekat!" Lev panik. Jantungnya berdegup kencang. Ia terduduk di lantai dan menangis lagi.

"Aku akan memperlambat mereka," ucap Caroline. Ia menjauh dari pintu darurat, kemudian mengarahkan busurnya kepada para zombie itu untuk memperlambat laju mereka. Setidaknya, hingga Drake, Victor, dan Zero bisa memecahkan pintu darurat yang terbuat dari kaca itu.

Segala cara sudah mereka lakukan agar pintu kaca tersebut bisa pecah. Mulai dari mendobraknya, menembaknya dengan busur milik Drake, hingga memukulnya menggunakan panahan. Namun tidak berbuah manis. Mereka tidak putus asa dan Lev juga ikut membantu teman-temannya meski dengan rasa takut yang belum mereda.

Mereka terus mencoba segala cara yang terlintas di pikiran mereka, apapun itu. Hingga pada akhirnya usaha mereka tidak sia-sia. Pintu kaca itu bukan pecah, melainkan rusak. Drake berteriak memanggil Caroline untuk segera kembali. Teriakan Drake terdengar samar-samar oleh Caroline. Ia pun segera kembali pada teman-temannya dengan sedikit berlari mundur tanpa berhenti memanah para zombie di hadapannya.

"Tutup pintunya, Victor," ucap Caroline setibanya mereka di basemen.

"Tidak bisa! Macet!"

Drake menghembuskan napas kasar. Ia mendekat ke arah Victor dan mencoba untuk menutup pintu kaca yang sudah setengah rusak itu. Memang mustahil, setidaknya pintu kaca yang keadaannya sudah setengah rusak itu bisa menahan para zombie itu untuk sementara waktu.

Melihat ketidakmungkinan yang lebih besar, Drake memerintahkan kepada teman-temannya untuk berpencar.

"Berpencar!" seru Drake.

Mereka berlari tak menentu arah untuk mencari tempat berlindung. Zero dan Drake memutuskan untuk berlindung di atas mobil yang berbeda. Caroline dan Lev melihat di ujung sana terdapat sebuah mobil yang pintunya tidak terkunci. Cepat-cepat mereka masuk dan segera menutup kembali pintu mobilnya. Sedangkan Victor, ia masih terus berlari untuk mencari tempat yang sekiranya aman untuk berlindung sementara waktu. Akhirnya, ia memutuskan untuk masuk ke tempat pembayaran karcis yang cukup sempit. Tak lupa ia menutup jendela kecil yang berada di sisi kanan dan kiri.

Zero menyuruh Drake untuk mengubah posisinya menjadi terlentang agar para monster itu tidak mengetahui keberadaan mereka. Drake menuruti perkataan Zero.

Belum sempat bernapas lega, Lev melihat dari kaca depan mobil bahwa ada orang lain selain dirinya dan Caroline. Lebih parahnya lagi, orang itu sudah berubah menjadi zombie!

Caroline yang menyadari hal itu segera menusukkan busur panahnya ke arah kepala zombie yang diduga adalah pemilik mobil yang sedang mereka gunakan.

"Tenang. Dia sudah mati," ucap Caroline. Lev kembali membuka matanya dan bernapas lega.

"Anak itu!" Lev berteriak ketika melihat ada satu keluarga dengan dua anak kecil justru masuk ke tempat yang benar-benar sudah dipenuhi oleh para monster.

"Mau ke mana?" Lev menahan tangan Caroline yang hendak menyelamatkan keluarga itu. "Jangan. Terlalu berbahaya."

Setelah Lev mengatakan itu, ia mengurungkan niatnya. Benar apa yang dikatakan oleh Lev, terlalu bahaya jika dalam situasi seperti ini masih mengutamakan perasaan.

Tak hanya Lev dan Caroline, Drake dan Zero yang berada di atas mobil pun menyaksikan adegan mengerikan yang terjadi di hadapannya. Tidak dengan Victor, ia berlindung cukup jauh dari keempat temannya yang lain.

Drake tidak bisa hanya berdiam diri. Ia merubah lagi posisinya dari terlentang menjadi tengkurap. Ia mengarahkan busur panahnya ke arah zombie yang mendekati dua anak kecil itu. Tepat sasaran.

Namun sayangnya, kedua anak kecil itu bukannya berlari menyelamatkan diri, melainkan mereka terus menangis. Suara tangisan mereka memicu para zombie semakin agresif dan kemudian menyerang mereka.

Kedua orang tua mereka lebih dulu mati karena berusaha melindungi kedua anaknya. Drake merasa kecewa dengan dirinya sendiri yang gagal menyelamatkan mereka.

Entah sampai kapan mereka berada di sana bersama puluhan zombie. Waktu semakin berjalan. Para zombie itu sudah tidak seagresif tadi. Mereka tampak tenang. Drake masih memikirkan bagaimana caranya untuk segera pergi dari sana. Mereka tidak bisa berlama-lama di sana. Tujuan mereka masih panjang. Ia mengkhawatirkan Dean, adiknya yang masih berada di sekolah.

Tiba-tiba, satu ide terlintas di benaknya.

ZINEMA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang