27. Unwanted Things

181 74 17
                                    

Dari kejauhan terdengar suara mobil tank pasukan militer. Mereka bergegas bersembunyi di semak-semak. Namun, belum sempat menyelamatkan diri, beberapa dari mereka berhasil terkena serangan peluru dari pasukan militer itu.

Caroline, Jack, Kendrick, dan Vienna. Mereka tergeletak tak berdaya di sana. Victor histeris melihat kakaknya yang sepertinya sudah tidak bernyawa. Lev menarik paksa lengan Victor untuk segera bersembunyi karena suara mobil tank itu semakin mendekat.

Para pasukan militer pun ke luar dari mobil tank itu dengan membawa senjatanya masing-masing. Mereka mendekati empat orang yang tergeletak di hadapannya.

"Kami tahu kalian sedang bersembunyi!" teriak salah seorang dari mereka.

Mereka pun menelusuri setiap sudut-sudut di sekelilingnya. Lev menenangkan Victor agar suara tangisnya tidak terdengar oleh pasukan militer.

Victor dengan cepat mengambil paksa senapan dari Vigo dan menembak satu persatu pasukan militer itu. Teman-temannya terkejut melihat aksi Victor yang begitu nekat. Drake meminta agar mereka segera pergi dari sana dengan cara menaiki bukit dan memutari jalan untuk tiba di rumah Zero.

Lev menarik kerah baju Victor agar ia memberhentikan aksi bodohnya itu. Beberapa pasukan militer yang tersisa mulai memberikan serangan balik pada mereka. Namun, mereka bisa menghindari peluru-peluru itu karena ada banyaknya pohon yang menjulang tinggi di sekitar mereka.

Mereka terus mempercepat langkahnya untuk menaiki bukit. Setibanya di puncak, mereka beristirahat sejenak. Victor memukul Lev karena telah menghalanginya untuk menghabisi pasukan militer yang telah membunuh kakaknya.

Zero dan Dean menahan pergerakan Victor yang terus memberontak. Lev hanya diam dengan pandangan ke bawah. Ia mengerti perasaan Victor. Sebab itu, ia hanya diam ketika Victor melampiaskan kekesalannya padanya.

Victor memisahkan diri dari teman-temannya. Ia terduduk di bawah pohon yang tidak terlalu jauh. Lalu, ia menyandarkan tubuhnya ke batang pohon yang besar itu. Victor menutup matanya, sesekali ia menarik napas dalam-dalam. Ia sudah kehilangan ibunya, dan kini ia juga harus kehilangan kakaknya.

Meski matanya tertutup, di dalam hatinya masih menyimpan rasa dendam dan sakit yang teramat dalam. Untuk melampiaskan emosinya, ia memukul-mukul batang pohon di sebelahnya. Zero segera menghampiri Victor dan menyuruhnya untuk berhenti.

Victor diam sejenak. Sesaat setelahnya, air mata membasahi wajah lelaki itu. Zero menepuk-nepuk pelan pundak temannya yang tengah menangis. Setelah Victor merasa sedikit tenang, mereka mulai melanjutkan perjalanan.

Dean yang merasa bahwa kakaknya, Drake, sedang bersedih karena kehilangan temannya, Caroline, segera menyemangatinya. Kemudian, Drake tersenyum dan mengacak-acak rambut adiknya.

Sangat disayangkan Jack dan Kendrick juga ikut terkena serangan dari pasukan militer itu. Mereka sudah banyak membantu selama perjalanan di mulai.

Mereka bergegas bangkit dari duduknya dan menuruni bukit melalui arah belakang. Zero memimpin di depan bersama Victor di sebelahnya. Selama perjalanan, Lev diselimuti rasa bersalah. Ia ingin meminta maaf pada Victor, tapi sekarang bukanlah waktu yang tepat. Temannya itu butuh waktu untuk berdamai dengan keadaannya sekarang.

Kenzo menepuk pundak Lev yang tampak murung. "Minta maaf padanya ketika ia sudah merasa tenang."

Lev tersenyum mendengar ucapan Kenzo. "Terima kasih."

"Tidak ada yang salah dengan tindakanmu tadi," Elvio mencoba menenangkan Lev.

Mereka semua berasal dari sekolah yang sama, namun dengan tingkatan kelas yang berbeda. Kecuali Vienna dan Vigo, perempuan itu memilih bersekolah terpisah dengan adiknya, Victor. Sedangkan Vigo, mereka belum tahu dari mana lelaki itu berasal.

"Bagaimana dengan latihan bisbolnya?" tanya Lev.

"Tidak berjalan baik karena wabah ini," Kenzo terkekeh.

"Sudah hampir sampai. Rumahku berada di depan sana," ujar Zero.

"Penjaga gerbang sekolah kita itu sangat menyebalkan," ucap Elvio.

Lev menolehkan pandangannya ke Elvio. "Kenapa?"

"Pernah suatu ketika, aku dan Kenzo terlambat datang ke sekolah. Hanya terlambat tiga menit. Tapi, kami disuruh menghadap pada guru piket. Akhirnya, aku dan Kenzo disuruh menyiram tanaman-tanaman yang ada di sekolah."

Kenzo tertawa. Ternyata Elvio masih mengingat kejadian itu. "Setelah itu, kami baru diperbolehkan masuk ke kelas," tambahnya.

Lev tertawa lepas mendengar cerita Kenzo dan Elvio. Sesaat setelahnya, wajahnya kembali datar setelah mendengar ucapan yang ke luar dari mulut Elvio.

"Tapi, penjaga gerbang sekolah itu sudah berubah menjadi zombie," ujar Elvio.

"Kau serius?" Lev memastikan.

Kenzo dan Elvio mengangguk bersamaan. "Untuk apa kami bercanda?" ucap Kenzo.

"Katanya, kamar mandi di sekolah kita banyak penunggunya," ucap Kenzo.

"Kau pernah diganggu oleh salah satu dari mereka?" tanya Lev.

Kenzo menggeleng. "Itu hanya pembicaraan dari beberapa siswa-siswi di sekolah kita. Belum tentu benar adanya."

"Aku tidak takut hantu," ucap Elvio.

Kenzo menyenggol lengan Elvio. "Benarkah? Kau lupa ketika aku mengetuk pintu rumahmu? Saat kau membuka pintunya, tidak ada siapa-siapa. Lalu, aku mengejutkanmu dan setelahnya kau berteriak sembari menutup wajahmu."

"Diam lah!" seru Elvio memanyunkan bibirnya.

"Itu rumahku!" seru Zero.

Zero menyuruh teman-temannya untuk menunggu di luar saja. Lalu, Zero melangkahkan kakinya masuk. Perlahan, ia mendorong pintu rumahnya yang sudah tidak terkunci.

Perasaannya campur aduk disertai jantungnya yang berdegup kencang. Kemungkinan-kemungkinan terburuk bermunculan di benaknya.

Zero memeriksa setiap sudut rumahnya. Ia membuka pintu salah satu ruangan karena ia mendengar suara-suara dari dalam sana. Ia meraih gagang pintu dan membukanya.

Betapa terkejutnya Zero ketika melihat Beth sudah berubah menjadi zombie. Beth membelakangi dirinya. Zero masih terpaku dengan apa yang ada di hadapannya. Air matanya mengucur deras membasahi wajahnya.

Sesaat setelahnya, Beth membalikkan tubuhnya menghadap Zero. Kemudian, ia menyerangnya dengan brutal.

Sebelum terjadi sesuatu yang lebih rumit,
Zero berkali-kali memukul Beth yang hendak menyerang dengan tongkat bisbol yang diberikan oleh teman-teman Dean. Namun, hal itu tidak memberi pengaruh apa-apa.

Zero mengedarkan pandangannya ke sekelilingnya. Beruntungnya, ada sebuah pisau kecil di atas meja. Dengan cepat, ia meraih pisau itu dan menancapkannya ke kepala Beth. Adiknya itu pun tergeletak di lantai dengan darah yang terus mengucur dari kepalanya.

Zero menarik napas dalam-dalam. Kemudian, ia ke luar dari ruangan itu dan kembali menutup pintunya.

"Omong-omong, masakan Kakak ternyata enak juga."

Zero mengarahkan pandangannya ke arah meja makan. Ia kembali teringat pada saat-saat terakhir dirinya bersama Beth. Ia membuatkan adiknya telur mata sapi untuk sarapan. Beth mengatakan bahwa masakannya enak.

Zero tidak menyangka bahwa telur mata sapi menjadi menu masakan terakhir yang ia buatkan untuk Beth, adiknya.

Zero mencoba menguatkan dirinya sendiri. Ia menarik napas dalam-dalam dan segera melangkahkan kakinya ke luar. Ia tidak ingin berlama-lama di dalam sana. Semakin lama ia berada di sana, semakin ia merasa sakit karena telah kehilangan adiknya.

Teman-temannya keheranan ketika melihat Zero ke luar seorang diri. Mereka yang mengerti dengan apa yang terjadi, tidak bertanya apa-apa pada Zero. Raut wajah Zero sudah bisa menjelaskan semuanya.

Mereka pun melanjutkan perjalannya menuju rumah Lev. Kini, Lev, Victor, dan Zero berjalan di depan. Lev pamit pada Kenzo dan Elvio yang tetap berada di barisan belakang. Tampaknya karena obrolan kecil, mereka menjadi akrab satu sama lain.

ZINEMA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang